WOW! I GET A GOOD JOB
Terima kasih Tuhan, pekerjaan ini sangat membuatku
senang dan nyaman. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan senyaman ini bekerja.
Mungkin karena pekerjaan ini tidak jauh – jauh dari masalah music. Jelas saja,
aku bekerja di toko music, yang menjual peralatan music. Sebenarnya toko ini
cukup lengkap untuk alat – alat musiknya. Tapi, kenapa agak sedikit sepi ya, ya
mudah – mudahan saja tambah ramai selama aku bekerja disini.
“Terima kasih telah datang di toko kami, semoga anda
puas.” Ucapku pada pelanggan yang baru saja aku layani. Hari ini cukup ramai
ternyata. Pelanggan banyak mencari alat music terbaru yang baru datang. Ataupun
sekedar untuk menanyakan barang pesanannya sudah datang atau belum. Di tempatku
ini ada lima orang pegawai. Ada, James, Aku, Daniela, Laurent, dan Gary. “Hufft,,
ramai sekali hari ini.” Ucapku James ketika aku sedang memberikan barang kepada
pelanggan. “Bersyukurlah kalau ramai James.” Ujarku. “Yap, kau benar, aku
sangat bersyukur dengan hal ini.” Ujarnya sambil menulis kwitansi untuk
pelanggan. Sambil kami sedikit berbincang dengan James dan pelanggan, aku
memikirkan sesuatu yang janggal dihatiku. Aku merindukan Dad.
“Terima kasih. Kami sudah ingin tutup, mohon maaf
miss..” Ujarku lalu pelanggan itu pun meminta maaf dan pergi. Aku menutup toko
ini bersama yang lain. “Biar kubantu memasang penutup ini” ujar Gary. Dia
membantu mengangkat, tapi sebenarnya aku kuat, mungkin Gary tidak tega saja.
“James mana ?” tanya Gary padaku. “Hmm, dia sudah pamit terlebih dahulu tadi,
dia menitip padaku untuk menutup toko ini, mungkin dia lupa untuk pamit
padamu.” Jawabku padanya. “Kau pulang kearah mana Rose ?” dia bertanya. “Aku ?
Aku sih dekat, Lake wood, 6th Avenue.” Jawabku. “Ohh, bolehkah kita
pulang bersama ?” ketika dia bertanya, Daniela dan Laurent pamit secara bersamaan.
“Kami pamit ya, terima kasih Gary dan Rose untuk hari ini..” Ujar mereka lalu
mereka berlalu. Aku mengambil tasku dan lalu menjawab pertanyaan Gary. “Baiklah
ayo kita pulang bersama. Memangnya rumah kita searah ya ?” ujarku lalu bertanya
padanya. “Ya lumayan lah, lagian aku juga ingin tahu flat kau.” Ujarnya lagi.
“Baiklah, ayo.” Kami pun berjalan berdua, bercengkrama bersama. Ternyata Gary
orang yang hijrah juga dari Los Angeles. Tapi kenapa harus hijrah ya ? Toh Los
Angeles itu kan kota yang ramai penuh selebriti, aku saja ingin kesana. Aku
juga bilang pada Gary untuk sesekali mengajakku kesana. Dia bilang “iya”.
“Nah ini dia flatku. Mau masuk dulu ?” ujarku.
“Tidak terima kasih. Aku pamit ya, selamat malam Rose.” Ujarnya, lalu aku
melambaikan tangan dan mengucapkan selamat malam padanya. Gary baik. Dia
terbuka sekali padaku. Aku juga senang dengan semua orang yang menjadi
partnerku di tempat kerja baruku.
Brent’s
“Hello, honey, tolonglah aku, aku sedang ingin
melihatmu, tolonglah nyalakan skypemu.” Ujar pacarku yang berada di ujung
telpon sana. “Tapi bukan sekarang waktunya, sayang, aku sedang bekerja, aku
sedang ingin tampil sebentar lagi.” Kataku menenangkan. “Tapi, aku ingin
sekarang, titik.” Ujarnya lagi. “Aku tidak bisa sayang..” ujarku lagi.
“Sudahlah.” Tut.. tut.. tut.. Telponnya diputus. Aku lelah dengan hubungan ini.
“Hey, Brent, siapkan cello mu, ayo, lima menit lagi
kita tampil.” Ujar Drew mengingatkanku. Astaga. Aku harus maksimal malam ini.
Ahh, sudahlah aku ingin melupakan pacarku dulu. Aku sudah bosan, lelah dengan
dia. “Kau kenapa Brent ?” tanya Zach. “Rebecca, dia menelponku, ingin sekali
berbicara padaku lewat skype. Aku bilang aku tak bisa.” Jawabku. “Ya sudahlah,
lupakan dia sejenak.” Ujar Zach lagi. “Aku lelah dengan hubungan ini Zach. Dia
selalu memaksaku, apa – apa aku harus menurutinya. Sedangkan dia tidak pernah
ingat padaku.” Ujarku mengeluh pada Zach, terkadang aku juga curhat padanya.
“Okay, Okay, aku mengerti apa yang kau rasakan, kita akan berbicara lagi nanti,
setelah show ini, okay ?” ujar Zach sambil memegang pundakku mencoba
menenangkanku. Aku pun membawa cello dan bass ku ke panggung. Para crew
membantuku. Syukurlah manggung malam ini lancar – lancar saja. Aku bersyukur
dan senang. Aku juga memang harus professional dalam bekerja.
“Sekarang, ceritakan masalahmu padaku.” Ujar Zach
membuka pembicaraan. “Jadi begini, pacarku ini sangat keras kepala. Sedangkan
aku, aku seperti terbelenggu berhubungan dengannya. Aku lelah Zach.” Jelasku.
“Okay, jadi mau kau bagaimana ?” tanya Zach. “Aku ingin putus saja.” Jawabku
singkat. “Jika itu yang terbaik dan tidak mengganggu pekerjaanmu. Jujur Brent,
aku sudah melihat bahwa hubunganmu tak sehat lagi dengannya.” Ujar Zach sambil
meminum Bir yang ada di meja tempat kami berbincang. “Baiklah, sepertinya lebih
baik seperti itu.” Ujarku. Lalu kami melanjutkan perbincangan dengan lain
topic. Ryan, Eddie dan Drew datang bergabung.
Comments
Post a Comment