Part 33
“God, Lisa Kritis, aku bingung aku harus gimana ?
Liam belum sadar, tapi…” Elina berujar dalam hati dan bingung apakah dia harus
balik ke Scotlandia lagi atau disini menunggu Liam.
“Danny, ya, Danny aja suruh nungguin Liam lagi.”
Ujar Elina dan langsung berbicara sama Danny.
“Danny. I need your help. Aku nitip Liam disini ya,
telpon aku pokoknya kalau Liam udah sadar. Lisa kritis di Scotlandia, aku harus
ngejar kereta hari ini lagi.”
“Tapi El, kamu baru sampe 1 jam yang lalu.”
“Gapapa Dan, ini penting…” kata – kata Elina
terputus dan dia menangis. “Ngertiin aku please, aku butuh bantuan kamu Dan..
Please..” kata Elina lagi sambil memohon.
“Alright, Alright, jangan nangis lagi tapi. Okay,
aku akan jagain Liam. Nanti aku bakal ngabarin kamu kalau dia udah sadar.” Ujar
Danny menenankan.
Berangkatlah Elina setelah mencium pipi Danny hanya
membawa tas perginya. Barang – barang Elina masih tertinggal dirumah Lisa
karena kemarin menginap. Elina menaiki taksi lagi.
Sampailah ia di stasiun London. Menunggu kereta cukup
lama. Dua puluh menit kemudian kereta sampai. Elina langsung menaikinya tanpa
pandang bulu. Dia sangat terburu – buru. Yang ia pikirkan adalah Lisa. Elina
juga tak berani menelpon Javi yang berada disana. Baginya yang penting adalah
cepat sampai rumah sakit dan menemani Lisa.
Sampailah Elina di stasiun Scotlandia. Dua jam yang
cukup lama. Turun, berlari, mencari taksi kosong dan berangkat. Elina tak bisa
diam. Menggigit jari, memainkan jari, tak bisa duduk tenang dan akhirnya
sampailah ia di rumah sakit. Berlari ke dalam dan mencari ruangan Lisa dirawat.
Tapi setelah ia sampai di rumah sakit. Javi dan Kedua orang tua Lisa menangis.
Perasaan Elina tak enak. Javi langsung melihat kedatangan Elina tak percaya
Elina merelakan dirinya meninggalkan Liam demi Lisa temannya. Elina sadar kalau
dia telah kurang memperhatikan Lisa. Tapi semua telah terlambat. Javi tiba –
tiba memeluknya.
“Dia tidur selamanya El…” ujar Javi tiba – tiba.
Seketika Elina menangis dan membalas pelukan Javi dan langsung memeluknya
dengan erat. Elina tak menjawab apa – apa. Akhirnya ia memberanikan diri,
melepaskan pelukan dan masuk ke ruangan Lisa.
Masuk dalam kamar Lisa. Ruangannya dingin. Disana
terdapat kain yang menutupi Lisa. Elina masuk dan memberanikan diri membuka
penutup wajahnya itu. Elina lepas kendali dan hampir pingsan, tapi tiba – tiba
ada yang memeganginya. Dialah Javi. “Kenapa Javi ? Kenapa aku harus deket Javi
lagi ?” ujar Elina dalam hati berbarengan gejolaknya melihat teman yang
menemaninya dia saat di kuliah dulu sudah pergi untuk selamanya.
“Aku udah punya banyak salah sama dia.” Ujar Elina
pelan.
“Udah, aku tahu kok perasaan kamu gimana. Udah ya
El, yuk kita keluar.”
Elina dan Javi keluar. Elina melihat kedua orang tua
yang masih berpelukan melihat anak keduanya telah tiada. Ya, Elina ingat bahwa
Lisa punya kakak, dan kakaknya tinggal di Boston bersama Istrinya. Tapi, Elina
belum melihat kakaknya datang. Ibu Lisa berdiri dan seketika itu Elina memeluk
Ibu Lisa.
“I’m so sorry about this Mrs. Kate. Aku turut
berduka. Aku kehilangan Lisa banget.” Ujar Elina perlahan. Seketika itu juga
Mrs. Kate makin menjadi – jadi nangisnya. Elina mengelus punggung Mrs. Kate
menenangkan. Elina sendiri juga makin menangis. Mengingat semua hal yang
terjadi hari ini padanya. Begitu berat.
“Hello, Elina ? This is Danny. Hmm… I have good news
for you. Liam sudah sadar sekarang, tapi
keadaannya masih lemah.”
“Hmmm, iya Dan ? Syukurlah kalau begitu..” ujar
Elina sambil terisak.
“Kenapa kamu ? Menangis lagi ?”
“Ia, berita buruk disini… Lisa… Lisa.. sudah pergi
untuk selamanya..” ujar Elina tambah terisak. Hari itu ia menangis terus.
“Apa ? okay, sampaikanlah turut berduka citaku pada
keluarganya. Baik – baiklah kau disana.” Ujar Danny menyabarkan.
“Iya, thanks Dan. I’ve to go. Bye..”
“Bye..” jawab Danny dan Elina mematikan telponnya.
Keesokan harinya dia dan seluruh keluarga dari Elina
beserta teman – teman dari orang tuanya datang untuk menghadiri pemakaman Lisa.
Hari itu langit seperti mewakili perasaan yang kelam dan kelabu. Mendung tapi
tak hujan. Meski Elina sudah tenang karena Liam sudah sadar setelah dari
kecelakaan itu, tapi hatinya di Scotlandia tidaklah tenang karena semua
kejadian ini begitu cepat. Elina hanya bisa menemani Lisa secara penuh dalam
waktu seminggu yang bagi dia tidak cukup.
Selesailah pemakaman hari itu. Orang – orang berlalu
dan Elina memberikan satu tangkai mawar putih di atas batu nisan Lisa. “You’ll
always in my heart” ujar dia pelan. Javi membantu dia bangun dan berjalan
menuju mobil keluarga yang sengaja disediakan untuk para pelayat. Elina
menghampiri keluarga Lisa. Memeluk Orang tua dan kakak Lisa juga istrinya dan
memeluk Diana. Elina ingin ikut kerumah Lisa untuk mengambil barang – barangnya
yang tertinggal disana.
Sampailah ia dirumah Lisa. Elina meminta izin ke
kamar Lisa untuk terakhir kali setelah dari kamarnya mengambil barang –
barangnya. Elina hanya bersedih melihat kamar Lisa yang sudah rapi. Setelah
menutup pintu kamar Lisa, tiba – tiba dibelakangnya muncul seseorang. Dia
adalah Diana. Diana memberikan sebuah gelang kepada Elina dan berkata bahwa
gelang itu adalah gelang yang memang ingin sekali diberikan Lisa untuknya.
Elina menangis lagi. Tapi tak terlalu dalam. Dia mengelap air matanya,
berterima kasih pada Diana dan memeluknya.
Elina pamit kepada seluruh keluarga, berterima kasih
dan meminta maaf. Javi ikut dengan Elina juga pulang ke London. Javi sudah
bilang ke Elina kalau dia juga ingin menjenguk Liam. Berangkatlah mereka siang
itu pukul 2 siang.
Sampailah mereka di London dan langsung menuju rumah
sakit tempat Liam dirawat. Menaiki taksi berdua dengan Javi. Di perjalanan
hanya diam yang menghiasi mereka. Elina terus melamun sejak perjalanan dari
Scotlandia, sesekali dia melihat gelang yang diberikan Diana dari Lisa.
“Semua pasti ada hikmahnya kok..” ujar Javi tiba –
tiba sesampainya dirumah sakit sambil membukakan pintu taksi untuk Elina.
“Kamu kok bisa ngomong gitu sih, masih bisa tenang,
kamu kan tahu, Lisa pernah sekali ngisi hati kamu..” ujar Elina datar.
“Aku tahu kok, tapi kan kalo misal aku nangis terus
kayak kamu, Lisa pasti gak bakal tenang disana, aku coba ikhlasin kepergian
dia, aku gak memungkiri, aku kehilangan banget.” Balas Javi.
Masuklah mereka berdua. Langsung menuju ruangan
Liam. Danny duduk di Lobby. Danny melihat kedatangan Elina dan Javi. Danny
langsung memeluk Elina dengan erat dibalas dengan pelukan Elina. Saling
berpandangan. Danny kasihan melihat mata Elina yang lebam bulat karena menangis
terus. Danny mengelus rambut Elina. Elina hanya menunduk. Masuk ke kamar Liam
dan Elina mendapati Liam masih tertidur saat itu. Javi masuk dan memegang
tangan Elina. Danny menunggu diluar.
Elina seperti ditahan untuk melepas tangan dari
Javi. Elina pasrah dan hanya melihat betapa pucat muka Liam saat tertidur untuk
istirahat hari itu. Elina pun keluar bersama Javi. Danny pamit untuk pulang
karena ada urusan dengan The Script. Elina berterima kasih sama danny.
“Hey, Danny, thanks for everything yang gak bisa aku
sebutin satu – satu ya. Aku minta maaf kalo aku ngerepotin kamu.” Ujar Elina
sambil memeluk danny erat.
“Iya gapapa, kamu gapapa kan aku tinggal ?”
“Iya, gapapa kok, hati – hati ya, aku udah cukup
sedih hari ini.”
“Iya, good bye my dear, hey, Javi, nitip Elina ya.”
Ujar Danny ke Javi.
“Iya tenang aja Dan, aku akan menjaganya.” Jawab
Javi sambil memegang pundak Elina. Danny pergi dan berlalu menuju parkiran.
Tinggalah mereka berdua diluar untuk menunggu Liam.
Liam sedang tertidur jika mereka di dalam Elina takut akan mengganggu Liam.
“Javi, Tuhan gak adil banget buat aku hari ini, aku
udah kehilangan teman aku yang belum bisa aku bahagiain, dan Liam yang gak aku
maafin Cuma karena masalah sepele dan akhirnya jadi kayak gini. Aku bodoh
sekali.” Ujar Elina tiba – tiba.
“Jangan bilang gitu. Tuhan pasti adil. Dan pasti ada
hikmah dibalik semua ini. Aku yakin itu. Kamu harusnya bersyukur, Lisa bisa
tenang gak usah menderita lagi, sedangkan Liam masih bisa selamat.” Ujar Javi
menenangkan.
“Iya, mungkin memang aku yang terlalu mendramatisir
semua ini. Lisa pasti sudah tenang disana, dan disini aku hanya bisa
mendoakannya.” Balas Elina.
“Yaudah sekarang kita harus terus maju, jangan terus
terpuruk, kamu jangan nangis terus.” Ujar Javi sambil menggenggam tangan Elina.
Elina tersenyum kepada Javi.
“Eh, El, aku mau ngomong sama kamu..” ujar Javi
lagi.
“Ngomong apa ? Ngomong aja…” ujar Elina sambil
memandang Javi dan mencoba tersenyum.
“Aku………. Aku suka sama kamu Elina Luke O’donoghue.”
Elina kaget dan reflek lalu melepas genggaman Javi. Elina bingung dan tidak
menatap Javi lagi. Hanya duduk diam menggenggam tangannya sendiri. Pasif. “Apa
lagi ini ya Tuhan..??” ujar Elina dalam hati.
Comments
Post a Comment