Part 32
Pagi itu. Lisa sudah bangun dari tidurnya walaupun
masih harus menggunakan selang oksigen. Lisa melihat kamarnya sepi, tidak ada
orang yang menungguinya di dalam. Tak berapa lama ada orang yang membuka pintu.
Terlihat disana dua orang sedang berbincang.
“Oh yeah, here it is…” ujar Elina tiba – tiba sambil
membuka pintu.
Masuklah Elina yang datang bersama Javi. Javi
diberitahu Elina sore malam hari ketika Lisa tertidur. Javi langsung datang pagi
– paginya dan sampailah dia disana ketika Lisa telah sadar.
“Hi, Apa kabar ?” ujar Javi.
“Hi, ya beginilah aku..” Sejenak mereka berdua
terdiam.
“Aku keluar dulu ya, nikmati waktu berdua kalian..”
ujar Elina memecahkan suasana diam antara mereka berdua.
“Oh iya El, by the way, thank you ya..” ujar Javi.
“Iya sama – sama.”
Keluarlah Elina meninggalkan mereka berdua. Elina
mencoba meninggalkan karena sebenarnya masih ada rasa sakit dihatinya.
Tinggallah Javi dan Lisa di kamar itu. Lisa dan Javi
saling menunduk tak berani memulai pembicaraan karena lamanya mereka tak
bertemu. Tiba – tiba Javi bicara.
“Aku, aku masih nyimpen ini loh..” Ujar Javi membuka
pembicaraan sambil menunjukkan kalung yang diberikan Lisa pada saat perpisahan.
“Aku gak tahu kalo kamu bisa kayak gini, tapi kenapa
kamu harus mutusin aku sih ? Bukannya kamu butuh seseorang untuk nemenin kamu
disaat kayak gini..” ujar Javi lagi.
“Javi, aku….”
“Aku apa ? kamu itu butuh aku Lisa…” Ujar Javi
memotong pembicaraan Lisa.
“Aku, aku Cuma gak mau jadi benalu dan beban buat
kamu, cukup aku aja yang ngerasain.”
Mereka terdiam.
“Tapi cara kamu gak tepat tahu..” ujar Javi sambil
memegang tangan Lisa dan menunduk.
Lisa tak menjawab hanya terdiam.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi waktu Scotlandia. Elina
masih diluar duduk menunggu Lisa dan Javi berbincang. Sendiri, dengan suasana
sepi rumah sakit di pagi itu. Belum banyak orang yang datang menjenguk dan
petugas masih sibuk dengan urusannya masing – masing. Elina terdiam, merenung,
bingung apa yang harus dilakukan. Liam tak kunjung memberitahu kabarnya di
London. Membuat Elina khawatir.
Sembari ia memandangi rumah sakit tiba – tiba ada
yang mendekatinya. Dua orang pasangan suami istri. Bertanya apakah Lisa baik –
baik saja. Elina langsung berpikir bahwa mereka adalah orang tua Lisa.
“What’s happen with my daughter ?” ujar seorang Ibu.
“Hmm, hmm, she’s okay now. It’s okay Mrs…..”
Pembicaraan Elina terpotong dan Ibu itu melanjutkan pembicaraan.
“Oh iya maaf kenalkan kami orang tua Lisa. Diana
bilang temui saja perempuan yang sedang duduk di depan kamar Lisa. Dan itu kau.
Aku Kate dan ini Freddie.”
“Oh, iya Mrs. Kate, Lisa baik – baik saja. Dia
sedang dengan temannya di dalam, silahkan masuk saja.”
“Ahhh, syukurlah, terima kasih Tuhan, ayo Fred, kita
masuk sekarang.” Ajak Mrs. Kate kepada suaminya. Mrs. Kate masuk duluan dan
selanjutnya Fred, Fred berhenti sejenak untuk berterima kasih kepada Elina.
“Hmm, Elina terima kasih ya sudah menjaga anakku.”
Ujar Mr. Fred singkat.
“Iya sama – sama, kebetulan saya bisa membantu.” Mr.
Fred masuk. Elina kembali duduk.
Tiba – tiba
ketika Elina sedang terdiam dan teremenung suara lagu Mercy dari One Republic
mengalun di handphonenya. Disana tertulis. “Danny”. Seketika Elina mengangkat.
“Elina’s speaking, what’s wrong, Dan ?”
“Elina, oh thanks God, huft, I’m confused… Liam…
He…” ujar Danny sambil berbicara panic di telpon. Elina bingung apa yang
terjadi.
“Hello Dan, what’s wrong with Liam ???” ujar Elina
sambil bergetar.
Sedang Elina menelpon, tiba – tiba Javi keluar dari
kamar meninggalkan Lisa. Karena Lisa telah bersama orang tuanya. Javi kaget
melihat Elina tegang dan menggigit jarinya. Tangannya sedikit gemetar dan
keluar sedikit keringat dari wajahnya.
“Kenapa ? Kamu kenapa ?” ujar Javi sambil memegang
pundak Elina. Elina tak menjawab. Hanya menyuruh Javi diam dengan tangannya.
“Iya, Liam Elina Liam, dia kecelakaan…” ujar Danny
dan Elina kaget menjatuhkan tangannya bersama handphonenya. Elina terdiam
melihat lurus tak tahu kearah mana.
Javi mencoba mengambil handphone Elina dan melihat
siapa yang sedang menelponnya. Javi pun mencoba berbicara dengan Danny.
“Hello, I’m sorry if I interrupt you. I’m Javi.
Elina’s friend. Elina kaget. Kenapa kalo boleh aku tahu ya ?”
“Oh you Javi, yeah I know you. Liam, Liam
kecelakaan, dan aku memang harus memberitahu Elina. Aku tak sengaja ada di
jalan ketika Liam kecelakaan. Kecelakaan ini beruntun. Liam tidak naik mobil,
dia sedang menyebrang. Tapi dia kena dampaknya. Dan sekarang dia sedang dalam
perawatan karena kejadiaannya barusan.” Jelas Danny ke Javi.
“Baiklah, aku akan memberitahukannya pelan – pelan,
terima kasih Danny.”
“Ya, sama – sama. Terima kasih juga Javi.” Javi
menutup telpon berbarengan dengan Danny.
Javi pun memberitahu Elina secara perlahan. Elina
hanya menunduk menangis, senangis – nangisnya. Merasa bersalah. Semua yang
dikhawatirkan Danny terjadi. Tidak tahu kenapa Danny terkadang benar.
Feelingnya selalu tepat. Elina bingung harus bagaimana. Dia hanya menangis di
depan Javi. Javi menyabarkan dan coba menyandarkan Elina di pundaknya.
“Aku mau pulang sekarang, Liam butuh aku.”
“Tapi El…”
“Gak ada tapi. I must.” Ujar Elina menegaskan.
Mereka berdua berdiri.
“Tolong sampaikan ke Lisa ya, jangan bilang kalo
Liam kecelakaan. Bilang aku ada perlu di London. Makasih ya Jav. Good Bye..”
ujar Elina lagi sambil meninggalkan Javi.
“Elina. Stop!!!” Teriak Javi. Mereka berpandangan
dan Javi menghampiri Elina. Seketika dia memeluk Elina dengan erat dan bilang..
“Hati – hati ya. Jaga jalan kamu. Apakah harus aku
mengantarmu ?”
Elina melepaskan pelukan Javi. Berpandangan.
“Gak perlu, kamu harus sama Lisa. Lisa lagi
ngebutuhin kamu banget. Udah ya Jav, aku gak kuat lagi.” Ucap Elina sambil
terisak karena tangisannya.
Elina pergi tinggallah Javi sendiri. Elina berlari
mencari taksi menuju stasiun di pusat kota Scotlandia. Menyuruh supir taksi itu
bergerak cepat. Akhirnya sampailah ia ke Scotlandia. Menunggu kereta datang
selama 15 menit. Elina bersyukur bisa dapat kereta dengan cepat. Sampai di
London. Memesan taksi lagi. Menuju ke rumah sakit pusat kota London. Taksi
berjalan ngebut dan sampailah Elina di rumah sakit.
“Danny, Danny, Danny…” Ujar Elina teriak memanggil
Danny yang kebetulan berada di lobby rumah sakit. Danny menengok.
“Hey, Elina. Ahh, Glad you’re here. Come on. Aku
anter ke kamar Liam.” Ujar Danny memeluk Elina dan menggandeng adiknya itu
menuju ruangan Liam di rawat. Di perjalanan Elina bertanya pada Danny apa yang
terjadi sambil terus menangis. Danny kasihan melihat adiknya menangis keras
seperti itu. Danny memberitahukan perlahan.
“Aku gak sengaja lewat disana, jalanan macet, gak
biasanya. Aku bingung, gak tahu kenapa aku tuh ada keinginan untuk turun. Aku
turun dan ternyata semua ini terjadi. Kata saksi Liam sibuk sama hapenya. Aku
gak tahu yang dihubungi siapa. Korbannya gak Liam aja. Emang pelaku yang mulai
duluan itu katanya mabuk dan ngantuk. Semua udah diurusin polisi. Liam kena
luka di perut karena jatuh terus kena pecahan beling dari kaca mobil yang
rusak. Kepalanya berdarah sedikit tapi gak parah.” Ujar Danny perlahan. Elina
makin menangis dan hanya bisa mendengarkan penjelasan dari Danny.
“Udah dong, aku gak kuat liat kamu gini terus, doain
Liam aja, nah itu dia, udah selesai diurusin sama tim medis. Mau masuk ?
Beneran ?” ujar Danny lagi gak kuat melihat keadaan Elina yang menangis dan
merasa bersalah. Elina mengangguk mengiyakan kalau ia memang ingin masuk ke
dalam.
Di dalam. Liam tertidur. Elina masuk dibantu oleh
Danny. Danny melepaskan pegangannya dan mempersilahkan Elina masuk. Elina
takut. Elina hanya memainkan jarinya. Tangannya berkeringat melihat Liam
terpejam dan berbaring di tempat tidur ruangan itu. Perasaan bersalah Elina
makin menjadi. Bersalah karena tak memperdulikan Liam di hari – hari kemarin.
Elina berdiri dan terdiam. Dua menit kemudian Elina memberanikan diri untuk
memegang tangan Liam. Agak dingin. Elina coba menggegam sedikit erat.
“Aku minta maaf.” Ujar Elina singkat sambil mengelap
air matanya. Matanya sudah merah semerah – merahnya. Elina duduk dibangku.
Mencoba melihat Liam. Mencoba kuat. Dia takut kehilangan Liam. Dia berpikir
untuk tidak akan bandel lagi. Mencoba untuk lebih memahami Liam.
Elina menunduk dan tidak berbicara. Tiba – tiba dia
menyanyikan lagu “Love You Lately” secara perlahan. Supaya Liam mengerti apa
yang di katakan Elina.
“Bangun ya my “the man who can’t be moved” I need
you here. Please..” sambil sedikit terisak.
“Aku minta maaf untuk yang kemaren, aku begitu
bodoh. Aku gak percaya sama orang yang udah sayang banget sama aku dan aku
memungkiri itu padahal cinta kamu gak akan pernah pudar dan tulus sama aku.”
Elina meneruskan.
“Aku gak mau kehilangan kamu. Aku janji deh aku
bakal nebus kesalahan kamu.” Elina menyudahi mencium kening Liam. Keluar dengan
tangisan yang lebih dalam.
Elina keluar kamar duduk di lobby depan kamar Liam
dirawat. Terduduk diam. Danny menghampiri Elina.
“Udah dong, aku gak liat ada Elina disini.” Ujar
Danny tiba – tiba.
“Elinanya lagi gak disini, sekarang another Elina.
Gak tahu yang mana. Elina yang sedih se sedih sedihnya. Gak kuat dengan semua ini.”
Jelas Elina datar.
“Udah ya udah..” Ujar Danny sambil memeluknya.
“Aku salah ya, Dan. Aku jadi sebel sama diriku
sendiri.” Ujar Elina memandang kakaknya itu.
“Makasih ya udah nyelametin Liam. Aku gak tahu harus
ngelakuin apa untuk nebus semua ini.” Ujar Elina lagi.
“Iya sama – sama. Yaudah, yang penting sekarang kita
doain yang terbaik aja ya buat Liam. By the way kamu kok tadi sama Javi ?”
“Huffttt, temenku sakit. Lisa. Sakitnya cukup parah
juga. Makanya aku tadi nangis kejer banget. Bingung mau ninggalin Lisa apa
engga, tapi untuk ada orang tua Lisa sama Javi.”
“Ohh gitu.” Ujar Danny singkat. “Cepet sembuh ya
buat Lisa.” Belum sempat Elina menjawab “Amin” telepon masuk ke handphonenya.
“Javier” tertulis disana.
“Hello.. Elina’s speaking. Kenapa Javi ?”
“Elina, gawat El, Lisa..”
“Lisa kenapa ???” Javi panic. Elina panic. Elina
menggigit jarinya. Bingung apa yang terjadi dengan Lisa. Dari suara Javi, ini
bukan berita yang bagus. Pikir Elina. “Lisa kamu kenapa ??” Ujar Elina sambil
menangis.
Comments
Post a Comment