BRENT ASKS ME FOR A DINNER
A Day Later.
Brent’s
“Kita mau kemana sayang ?” ujar Rebecca padaku.
“Kita mau ke suatu tempat. Sudahlah Rebecca, jangan terlalu agresif padaku. Aku
ini tidak suka jika setiap waktu kau memelukku seperti itu.” Ujarku padanya.
Aku tidak suka jika Rebecca sebentar – sebentar memeluk, sebentar – sebentar
ingin dicium. “Ahhh, kau ini makin tidak asik saja.” Ujarnya padaku. Biarkan
saja dia bilang begitu.
Sampailah aku di civic center park. Aku memarkirkan
mobilku. “Turun sayang.” Ujarku pada Rebecca. Tanpa bicara dia pun turun.
“Memangnya ada urusan apa kita kesini ?” tanyanya lagi. “Nanti kau akan tahu
sayang..” Mungkin ini kata sayang yang terakhir.
“Sudah, kita duduk disini saja.” Ujarku padanya.
Kacamata hitamku tak ku lepas. “Tapi disini tidak bersih sayang.” Ujarnya
mengeluh, sudah biasa dia seperti ini. Pekerjaannya yang menjadi model membuat
dia terlalu memperhatikan kebersihan. Setahun perjalanan hubunganku dengannya
tidak sehat menurutku. Aku sudah tidak tahan dengan sikap dia. Pertama kali
mengenalnya ku kira dia baik, tapi ternyata tidak. “Tidak apalah, tolonglah
mengerti aku sekali saja, Rebecca, aku ini lelah.” Ujarku. Dia pun duduk tanpa melihatku.
“Ku kira kita tidak ada kecocokkan lagi.” Ujarku padanya. “Maksudmu apa ?”
ujarnya kaget sambil menengokku. “Iya, kau terlalu posesif, terlalu agresif,
terlalu….” Aku berhenti. Dia menatapku kesal. “Terlalu apa ?” dia bertanya.
“Tidak, yang jelas, aku sudah tidak cocok lagi denganmu. Maafkan aku, aku tidak
bisa jadi yang lebih baik darimu.” Ujarku tidak langsung menyebut kata putus.
“Maksudmu, kau mau kita putus ?” tanyanya lagi. Ku kira dia mulai mengerti.
“Ya, menurutmu ?” ku balikkan lagi pertanyaannya. “Huft. Terserah padamu, aku
pergi dulu.” Ujarnya lalu meninggalkanmu. “Segitu mudahkah kau memutuskan ?”
tanyaku padanya sambil teriak padanya. “Aku akan menelponmu nanti.” Ujarnya
tanpa marah. Aneh, jangan – jangan memang dia ingin putus denganku. Ahhh, tahu
gitu tidak usah di bawa kesini, lebih baik aku pergi dengan Rose. Membuang
waktuku saja.
A Week Later.
Rose’s
Besok aku libur. Aku tertawa dalam hatiku. Tapi
sebenarnya tak bertemu teman – temanku di toko ini, hidupku sepi sekali. Tapi
sebenarnya aku senang sih dapat libur. Ketika pukul 12 waktu Colorado,
handphoneku berbunyi.
“Hello, Ini Rose, siapa ini ?” sapaku di telepon
dari nomor yang aku tidak kenal. “Hi, aku Brent.” Ujarnya padaku. “Oh, Hi
Brent, apa kabar ? Ternyata benar kau menghubungiku.” Ujarku padanya. Tak tahu
kenapa aku senang dia menghubungiku. “Hmm, aku baik, pastinya aku
menguhubungiku.” Ujarnya lagi. “Hmmm, Rose, boleh aku tanya sesuatu ?” ujarnya
lagi. Kali ini jantungku berdegup kencang. Aneh sekali. Aku mencoba tenang.
“Hmm, besok adakah waktu untukku ? Besok aku ingin mengajakmu makan malam, jika
tidak bisa, tidak apa sih.” Ujarnya padaku dan tak tahu kenapa aku seperti
ingin loncat. “Hmmm, serius ?” aku membalas. “Iya, serius, bagaimana ?”
tanyanya lagi. “Yasudah aku mau, kebetulan besok aku libur.” Ujarku membalas.
“Ahhh, akhirnya, terima kasih ya Rose…” ujarnya terlihat senang nada suaranya. “Iya
sama – sama. Sampai bertemu besok, Brent.” Ujarku senang. “Iya, sampai ketemu
juga.” Dia pun menutup telponnya.
Keesokan hari, di malam sabtu.
“Maaf membuatmu menunggu, Rose. Aku sedang ada
urusan dengan yang lain.” Ujarnya padaku, setelah aku menunggu kurang lebih 15
menit dari jadwal awal kami. “Iya tidak apa, duduklah Brent, kaulah yang punya
acara malam ini.” Ujarku menenangkan. Dia duduk. Sementara aku sudah punya
minum, lalu aku menanyakannya. “Maaf ya, aku pesan duluan, kau tidak pesan ?”
“Baiklah, aku sedikit lapar, kau tidak makan ?” tanyanya. “Aku menunggumu
Brent. Jadi aku hanya memesan minum saja.” Jelasku. “Oh begitu baiklah, disini
ada makanan yang enak, aku akan memesankan untukmu.” Ujarnya manis. Dia
memanggil pelayan dan aku asik dengan minumanku. Setelah 30 menit berbincang
aral melintang tak jelas akhirnya makanan kami datang, kami pun menikmatinya.
“Enak sekali makanannya.” Ujarku memuji. “Kau benar,
tempat ini sering aku datangi, pemandangannya yang membuat aku senang kesini.”
Jelasnya. “Hmm, aku juga senang pemandangannya.” Ujarku membalas. “Kau, sendiri
tinggal di Denver ?” tanyanya tiba – tiba setelah dia mengunyah makannanya. “Yap,
kau benar. Aku tinggal sendiri. Flat ku tak jauh dari Golden music.” Jelasku
padanya. “Okay, memangnya kenapa di tempatmu yang lama ? San Frans ya ? Itu
kota yang indah menurutku, aku pernah kerumah nenekku disana.” Ujarnya. Aku
kaget. Ternyata dia ada saudara disana. “Hmm, kau punya nenek disana ? Ku kira
nenekmu tinggal di California.” “Yap, nenekku pindah, Rose.” Jelasnya lagi.
Kami pun membicarakan tentang keluarga kami, teman kami, dan ketika aku pindah
kesini. Aku tidak berani cerita tentang kenapa aku pindah kesini. Aku tak kuat
menceritakannya, syukurlah Brent mungkin mengerti dan tidak menanyakannya lagi.
“Sudah ?” tanyanya padaku. “Hmm, sudah..” kubalas.
“Baiklah, ku antar kau pulang.” Ujarnya manis. Dia bangun dari tempat duduknya.
Tinggi, tinggi sekali. Tak sadar aku betapa tingginya Brent. Sama seperti Zach
temannya. “Oh iya, aku mau bilang, kau cantik malam ini.” Ujarnya tiba – tiba
sambil tersenyum manis padaku. Maksudnya apa ini ? Aku tersipu malu, aku hanya
menunduk. “Hahaha, kau lucu ketika malu seperti itu.” Senyumnya lagi. “Sudahlah,
ayo kita pulang.” Ujarku tiba – tiba memutuskan pembicaraan yang membuatku malu
seratus persen. Kami menaiki mobil Brent. Mobil Brent adalah BMW. Aku tertegun.
Setelah kurang lebih satu jam, sampailah kami di
flatku. “Terima kasih ya tumpangannya dan terima kasih banyak juga atas makan
malamnya.” Ujarku padanya lewat kaca mobil. Dia tersenyum ( lagi ). Hari ini
Brent penuh senyum. “Sama – sama, tak usah bosan – bosan, jangan lupa
meneleponku ya.” Ujarnya lagi. “Jika aku ingat dan belum tertidur, aku sedikit
lelah, hehehe.” Jawabku sambil terkekeh. Dia pun pamit dan melambaikan tangannya.
Hmm, malam ini adalah malam pertama aku berkencan dengan seorang pria di
Denver, Colorado. Perfect. Tiba – tiba terbesit pikiran untuk menelepon Dad,
aku pun masuk ke flatku, mengambil teleponku dan menelpon Dad. Di Suara Dad,
terdengar sedih sekali.
Comments
Post a Comment