Skip to main content

OneRepublic FF Part 9



BRENT ASKS ME FOR A DINNER
A Day Later.
Brent’s
“Kita mau kemana sayang ?” ujar Rebecca padaku. “Kita mau ke suatu tempat. Sudahlah Rebecca, jangan terlalu agresif padaku. Aku ini tidak suka jika setiap waktu kau memelukku seperti itu.” Ujarku padanya. Aku tidak suka jika Rebecca sebentar – sebentar memeluk, sebentar – sebentar ingin dicium. “Ahhh, kau ini makin tidak asik saja.” Ujarnya padaku. Biarkan saja dia bilang begitu.
Sampailah aku di civic center park. Aku memarkirkan mobilku. “Turun sayang.” Ujarku pada Rebecca. Tanpa bicara dia pun turun. “Memangnya ada urusan apa kita kesini ?” tanyanya lagi. “Nanti kau akan tahu sayang..” Mungkin ini kata sayang yang terakhir.
“Sudah, kita duduk disini saja.” Ujarku padanya. Kacamata hitamku tak ku lepas. “Tapi disini tidak bersih sayang.” Ujarnya mengeluh, sudah biasa dia seperti ini. Pekerjaannya yang menjadi model membuat dia terlalu memperhatikan kebersihan. Setahun perjalanan hubunganku dengannya tidak sehat menurutku. Aku sudah tidak tahan dengan sikap dia. Pertama kali mengenalnya ku kira dia baik, tapi ternyata tidak. “Tidak apalah, tolonglah mengerti aku sekali saja, Rebecca, aku ini lelah.” Ujarku. Dia pun duduk tanpa melihatku. “Ku kira kita tidak ada kecocokkan lagi.” Ujarku padanya. “Maksudmu apa ?” ujarnya kaget sambil menengokku. “Iya, kau terlalu posesif, terlalu agresif, terlalu….” Aku berhenti. Dia menatapku kesal. “Terlalu apa ?” dia bertanya. “Tidak, yang jelas, aku sudah tidak cocok lagi denganmu. Maafkan aku, aku tidak bisa jadi yang lebih baik darimu.” Ujarku tidak langsung menyebut kata putus. “Maksudmu, kau mau kita putus ?” tanyanya lagi. Ku kira dia mulai mengerti. “Ya, menurutmu ?” ku balikkan lagi pertanyaannya. “Huft. Terserah padamu, aku pergi dulu.” Ujarnya lalu meninggalkanmu. “Segitu mudahkah kau memutuskan ?” tanyaku padanya sambil teriak padanya. “Aku akan menelponmu nanti.” Ujarnya tanpa marah. Aneh, jangan – jangan memang dia ingin putus denganku. Ahhh, tahu gitu tidak usah di bawa kesini, lebih baik aku pergi dengan Rose. Membuang waktuku saja.

A Week Later.

Rose’s
Besok aku libur. Aku tertawa dalam hatiku. Tapi sebenarnya tak bertemu teman – temanku di toko ini, hidupku sepi sekali. Tapi sebenarnya aku senang sih dapat libur. Ketika pukul 12 waktu Colorado, handphoneku berbunyi.
“Hello, Ini Rose, siapa ini ?” sapaku di telepon dari nomor yang aku tidak kenal. “Hi, aku Brent.” Ujarnya padaku. “Oh, Hi Brent, apa kabar ? Ternyata benar kau menghubungiku.” Ujarku padanya. Tak tahu kenapa aku senang dia menghubungiku. “Hmm, aku baik, pastinya aku menguhubungiku.” Ujarnya lagi. “Hmmm, Rose, boleh aku tanya sesuatu ?” ujarnya lagi. Kali ini jantungku berdegup kencang. Aneh sekali. Aku mencoba tenang. “Hmm, besok adakah waktu untukku ? Besok aku ingin mengajakmu makan malam, jika tidak bisa, tidak apa sih.” Ujarnya padaku dan tak tahu kenapa aku seperti ingin loncat. “Hmmm, serius ?” aku membalas. “Iya, serius, bagaimana ?” tanyanya lagi. “Yasudah aku mau, kebetulan besok aku libur.” Ujarku membalas. “Ahhh, akhirnya, terima kasih ya Rose…” ujarnya terlihat senang nada suaranya. “Iya sama – sama. Sampai bertemu besok, Brent.” Ujarku senang. “Iya, sampai ketemu juga.” Dia pun menutup telponnya.

Keesokan hari, di malam sabtu.
“Maaf membuatmu menunggu, Rose. Aku sedang ada urusan dengan yang lain.” Ujarnya padaku, setelah aku menunggu kurang lebih 15 menit dari jadwal awal kami. “Iya tidak apa, duduklah Brent, kaulah yang punya acara malam ini.” Ujarku menenangkan. Dia duduk. Sementara aku sudah punya minum, lalu aku menanyakannya. “Maaf ya, aku pesan duluan, kau tidak pesan ?” “Baiklah, aku sedikit lapar, kau tidak makan ?” tanyanya. “Aku menunggumu Brent. Jadi aku hanya memesan minum saja.” Jelasku. “Oh begitu baiklah, disini ada makanan yang enak, aku akan memesankan untukmu.” Ujarnya manis. Dia memanggil pelayan dan aku asik dengan minumanku. Setelah 30 menit berbincang aral melintang tak jelas akhirnya makanan kami datang, kami pun menikmatinya.
“Enak sekali makanannya.” Ujarku memuji. “Kau benar, tempat ini sering aku datangi, pemandangannya yang membuat aku senang kesini.” Jelasnya. “Hmm, aku juga senang pemandangannya.” Ujarku membalas. “Kau, sendiri tinggal di Denver ?” tanyanya tiba – tiba setelah dia mengunyah makannanya. “Yap, kau benar. Aku tinggal sendiri. Flat ku tak jauh dari Golden music.” Jelasku padanya. “Okay, memangnya kenapa di tempatmu yang lama ? San Frans ya ? Itu kota yang indah menurutku, aku pernah kerumah nenekku disana.” Ujarnya. Aku kaget. Ternyata dia ada saudara disana. “Hmm, kau punya nenek disana ? Ku kira nenekmu tinggal di California.” “Yap, nenekku pindah, Rose.” Jelasnya lagi. Kami pun membicarakan tentang keluarga kami, teman kami, dan ketika aku pindah kesini. Aku tidak berani cerita tentang kenapa aku pindah kesini. Aku tak kuat menceritakannya, syukurlah Brent mungkin mengerti dan tidak menanyakannya lagi.
“Sudah ?” tanyanya padaku. “Hmm, sudah..” kubalas. “Baiklah, ku antar kau pulang.” Ujarnya manis. Dia bangun dari tempat duduknya. Tinggi, tinggi sekali. Tak sadar aku betapa tingginya Brent. Sama seperti Zach temannya. “Oh iya, aku mau bilang, kau cantik malam ini.” Ujarnya tiba – tiba sambil tersenyum manis padaku. Maksudnya apa ini ? Aku tersipu malu, aku hanya menunduk. “Hahaha, kau lucu ketika malu seperti itu.” Senyumnya lagi. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Ujarku tiba – tiba memutuskan pembicaraan yang membuatku malu seratus persen. Kami menaiki mobil Brent. Mobil Brent adalah BMW. Aku tertegun.
Setelah kurang lebih satu jam, sampailah kami di flatku. “Terima kasih ya tumpangannya dan terima kasih banyak juga atas makan malamnya.” Ujarku padanya lewat kaca mobil. Dia tersenyum ( lagi ). Hari ini Brent penuh senyum. “Sama – sama, tak usah bosan – bosan, jangan lupa meneleponku ya.” Ujarnya lagi. “Jika aku ingat dan belum tertidur, aku sedikit lelah, hehehe.” Jawabku sambil terkekeh. Dia pun pamit dan melambaikan tangannya. Hmm, malam ini adalah malam pertama aku berkencan dengan seorang pria di Denver, Colorado. Perfect. Tiba – tiba terbesit pikiran untuk menelepon Dad, aku pun masuk ke flatku, mengambil teleponku dan menelpon Dad. Di Suara Dad, terdengar sedih sekali.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...