Skip to main content

OneRepublic FF Part 17



BACK TO SAN FRANCISCO FOR A WHILE

Rose’s

Harus pamit Natasha dulu. Aku tidak enak dengannya. Pamit sama Gary, James, Laurent dan Daniela. Mudah – mudahan mereka masih nerima aku setelah aku liburan seminggu dari San Franc. Oh, Dad, Aku datang. Setelah sekian lama aku kabur, oh, mungkin bukan kabur, tapi mencari kehidupan dan suasana yang baru tepatnya. Aku pun bersiap kerumah Natasha. Aku dan Natasha memang jarang bertemu, tapi kami selalu berhubungan via telepon. Pernah sesekali aku bertemu dengannya untuk menceritakan kalau aku sudah berhubungan dengan Brent, dan kali ini aku bertemu dengannya lagi dengan cerita yang berbeda.

Nat’s House.
“Kau yakin ingin pergi seminggu ? Rasanya seperti kau kabur dari Brent.” Ujarnya seketika aku sampai dirumahnya. Sambil memberikan minum padaku, dia berbicara padaku. “Iya, memang aku harus lari darinya. Aku sudah tak bersamanya lagi Nat.” ujarku dengan suara lirih. Aku tak kuat jika harus menceritakan Brent lagi. “Apa ? Bagaimana bisa ? Kau mentelantarkannya, Rose. Ada apa denganmu ?” ujarnya lagi. Aku seperti ditanyai oleh hakim pengadilan, seakan akan aku yang salah. “Bukan aku yang ada apa, tapi dengan dirinya. Dirinya tidak cerita kalau dia masih punya pacar, sedangkan kita sedang menjalani suatu hubungan. Dan ada seseorang yang memang membuatku harus meninggalkannya.” Ujarku menjelaskan.
Natasha meminum minumnya yang dipegangnya. Mukanya berubah serius lagi. “Siapa ? Berani sekali dia.” Ujarnya. “Kau tak perlu tahu, yang jelas orang itu bilang, aku harus meninggalkannya kalau tidak karir Brent tidak akan cemerlang lagi. Aku takut hal itu terjadi. Pekerjaan yang Brent geluti sekarang adalah pekerjaan impiannya. Dia sangat mencintainya.” Ujarku lalu aku mulai menangis. Natasha melihat hal itu lalu seketika memelukku. “Mungkin kepindahan seminggumu ke San Franc akan membuat kau lebih baik. Mungkin kau akan mendapat pengganti Brent disana.” Ujarnya lagi. “Aku tak akan bisa menggantikannya. Aku sudah terlanjur mencintainya, Nat.” ujarku masih terisak dengan air mata ini. “Tapi jika kau terus – menerus mengingatnya, kau akan sakit sendiri. Sudahlah, coba membuka hati untuk orang lain.” Ujarnya lagi. Aku masih berpikir dengan perkataan yang dilontarkan Nat. Nat sebenarnya ada benarnya juga. Kalau aku terus menerus terpuruk, aku sendiri yang akan menjadi gila.
Aku pun melepas pelukan Nat. “Baiklah, baiklah jika itu yang terbaik.” Ujarku mengelap mataku dari derasnya air mata ini. “Aku pamit ya Natasha. Aku berterima kasih banyak untuk segalanya yang tidak bisa aku sebutkan satu – satu. Aku janji, hanya seminggu.” Ujarku padanya. “Nah, itu lebih baik. Nanti langsung main kerumahku ya kalo sudah pulang.” Ujarnya mengingatkan. “Pasti itu Pasti.” Ujarku tersenyum. Lalu kami berdua bangkit dari duduk kami. Aku dan Nat menuju keluar pintu rumahnya. Tiket ke San Franc sudah ku pegang. Aku juga tak sabar untuk bertemu Dad. Saatnya beres – beres. Besok siang aku ke San Franc. San Franc, aku datang.

Brent’s
“Kita harus bertemu.” Ujar Rebecca yang berada di ujung telpon. “Kenapa ? Ada apa ?” ujarku bertanya. “Pokoknya aku tunggu di Civic Center Park. Jam empat sore nanti.” Ujarnya lagi. “Tapi Becca…” ujarku lalu Rebecca menutup telponnya. Aku hanya bisa memandang Iphoneku dalam – dalam. Ada apa Rebecca mencariku.
Civic Center Park.
“Ahh, akhirnya kau datang juga, duduklah.” Ujar Rebecca sesaat setelah aku datang. “Maaf terlambat, aku tadi ada urusan dengan Band ku.” Ujarku menjelaskan. “Tidak apa, aku mengerti.” Ujarnya lagi. “Ada apa memanggilku kesini ?” tanyaku. “Aku ingin membicarakan sesuatu.” Ujarnya lagi. “Apa ?” tanyaku singkat. “Aku tahu kau sedang berhubungan dengan Rose. Aku tahu dia, dia sangat cantik ya, sampai sampai kau memutuskan hubungan aku dan kau demi dia.” Ujarnya tiba – tiba membahas tentang Rose. “Rose tidak ada hubungannya dengan berakhirnya hubungan kita.” Ujarku menjelaskan. “Tidak mungkin. Tapi sekarang kau sudah putus dengannya kan ? Aku tahu hal itu. Jadi, apakah kau mau membangung hubungan kembali denganku ?” tanyanya tiba – tiba. Hey, bagaimana bisa Rebecca tahu aku sudah putus dengan Rose. Ini kan baru sehari aku putus dengannya. Ada yang tidak beres.
“Maksudmu apa ? Bagaimana kau bisa tahu ?” seketika aku bertanya. “Aku sudah menasihatinya.” Ujarnya tiba – tiba sambil menengokku. Dia menatapku dalam – dalam. “Ayolah Brent, sadarlah kalau sebenarnya dia tidak pantas untukmu.” Ujarnya lagi. “Maksudmu apa ? Jangan – jangan kau menceritakan yang tidak – tidak ya tentangku. Dengar ya, rasa cintaku terhadap Rose itu sangat dalam. Kau tidak tahu apa – apa tentang ini.” Ujarku marah padanya. “Tapi Brent, aku tahu kau tidak pantas dengannya. Kembalilah padaku maka aku akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.” Ujarnya lagi memohon. “Aku tidak mau, secara tak langsung kau membully Rose. Aku tidak suka caramu. Aku akan pergi. Selamat tinggal dan terima kasih untuk pertemuan ini.” Ujarku lalu meninggalkannya. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah Rose. Aku harus menemuinya.
BMW yang aku kendarai ku laju secara kencang. Aku langsung menuju Flat yang Rose tinggali.
“Tok, tok, tok.” Ku ketuk pintu Flat Rose, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku berinisiatif untuk menulis suatu pesan di secarik kertas yang ku bawa.
“Dear Rose Anderson. Aku Brent. Aku meminta maaf atas segala hal yang telah terjadi. Aku sebenarnya masih sangat mencintaimu, tapi aku bertanya – tanya mengapa kau ingin mengakhiri segalanya dengan cepat. Aku tahu mungkin semua ini karena Rebecca. Jujur saja, dia hanyalah mantanku, bukan siapa – siapa aku lagi. Tapi mungkin Rebecca sudah cerita yang tidak – tidak tentangku. Percayalah, aku masih sangat amat mencintaimu. Penuh Cinta. Brent.”
Aku pun melipat kerjtas itu lalu menyisipkannya lewat lubang bawah pintu. Mungkin dia sedang pergi. Aku harap dia membaca pesan itu.

Rose’s
Seperti ada yang mengetuk pintu. Aku pun terbangun dari tidurku. Aku lelah mempersiapkan keberangkatanku ke San Franc sehingga aku sampai tertidur. Aku pun melihat jam dinding kamarku yang menunjukkan pukul enam sore. Aku bangun lalu merapikan rambutku. Aku pun menuju pintu yang seperti diketuk oleh seseorang. Belum sempat aku membuka pintu, aku seperti menginjak sesuatu. Kulihat disana ada secarik kertas yang dilipat. Aku mengambilnya dan melihat – lihat kertas itu. Lalu aku membukanya. Aku pun membaca isi pesan di kertas itu.
Brent ? Brent kesini. Brent isi pesanmu dalam sekali. Brent. Aku hanya bisa mengucap seperti itu. Aku menutup mulutku terharu dengan isi surat dari Brent. Tapi aku tak bisa berbuat apa – apa. Aku takut Rebecca akan berbuat hal yang dia bilang saat bertemu denganku. Aku tak bisa.

A Day Later.
Jam ditanganku menunjukkan pukul 12 siang. Kertas yang berisi pesan Brent aku taruh di buku diaryku. Aku simpan baik – baik kertas itu. Aku tak bisa pamit dengan Brent karena alasan hati yang pasti tak kuat untuk pamit dengannya.
Pengumuman di ruang keberangkatan pesawat terdengar jelas bahwa sebentar lagi pesawat menuju San Franc akan berangkat. Aku pun berjalan membawa koper kecilku ini. Aku hanya membawa beberapa pakaian saja. Aku pun langsung teringat tentang kenanganku di San Franc. Aku pun seketika rindu akan Dad. Dad, tenang sebentar lagi aku sampai. San Franc, aku sangat rindu suasana kotamu. Aku datang sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...