A GIRL TELLS ME TO STAY AWAY FROM BRENT
Spring’s.
Rose’s
“Terima kasih, silahkan datang kembali.”
Seperti biasanya, aku mengucapkan salam perpisahan kepada pelanggan. Hari ini
toko cukup ramai. James, Gary, Daniela, dan Laurent sama sibuknya denganku. Oh
iya, aku jadi ingat dengan Brent. Aku rindu. Sedang apa ya dia. Gitar yang ia
berikan kemarin masih tersimpan rapi di dalam tas gitarnya. Ahh, mungkin aku
berlebihan merindukannya terus. Ujian ketika aku ditinggal olehnya untuk tour
juga sudah terlewati, tetapi kenapa ketika ia di Denver aku merindukannya sekali.
“Permisi, apa benar kau yang bernama
Rose ?” Seseorang menghampiriku. Dia adalah perempuan yang cantik, aku sampai
terpesona dibuatnya. “Iya, kau benar, ada yang bisa kubantu ?” ujarku membalas.
“Aha! Syukurlah.” Senyumnya senang. Seperti menemukan berlian saja senangnya.
“Ada yang bisa kubantu ?” aku menegurnya lagi. “Ahh, maaf, aku Rebecca.”
Ujarnya sambil menjulurkan tangannya. “Iya, senang bertemu denganmu, apa kau
ada perlu denganku ?” tanyaku lagi karena pertanyaanku dari tadi belum
dijawabnya sama sekali. Ahhh.
“Iya benar, aku ada perlu denganmu,
mungkin kau tidak tahu siapa aku, aku asisten manajer di salah satu studio
rekaman. Aku ingin berbincang denganmu, ada waktu malam ini ?” ujarnya lagi.
Asisten Manajer ? mau apa mencariku ? Memang aku ada salah, atau….
“Hmm, begini, aku hanya ada keperluan
pribadi saja denganmu, aku mohon kau datang ya berbincang denganku malam ini di
restoran sebrang jalan saja, kau bisa menghubungiku disini.” Ujarnya lagi
sambil menyerahkan kartu namanya. Kok, dia percaya sekali samapai memberiku
kartu namanya. “Memang penting sekali ya ?” tanyaku lagi. “Penting, sangat
penting. Jangan lupa datang ya, dan ya, pekerjaanmu apa disini ?” tanya lagi.
“Aku sebagai pramuniaga disini, memangnya kenapa ?” ujarku menjelaskan. “Tidak
aku hanya bertanya, terima kasih ya, terima kasih atas waktumu yang aku ganggu
sebentar. Aku pamit. Jangan lupa nanti malam pukul 7.” Ujarnya lagi sambil
melambaikan tangan lalu berbalik badan dan meninggalkanku. Aku masih memegang
kartu namanya. Tertulis disitu “Rebecca White” Asisten Manager. Interscope.
Sepertinya aku kenal perusahaan ini.
“Siapa Rose ?” tiba – tiba suara Laurent
mengagetkanku. “Hah ? Oh, dia ? Dia bilang nama dia adalah Rebecca, dia ada
perlu denganku, tapi aku tidak tahu apa ?” ujarku pada Laurent. “Oh, begitu, ku
kira siapa, aku kurang suka dengannya, dari pandangan pertamaku dia orang yang
angkuh, hati – hati Rose.” Ujarnya lagi. “Oh, baiklah, terima kasih telah
mengingatkan.” Ujarku lalu dibalas senyum dari Laurent. Aku kembali bekerja.
7 p.m
“Halo.. Aku Rebecca, kita bertemu lagi.”
Ujarnya padaku setelah aku menunggunya kurang lebih lima menit lalu dia datang
dan langsung duduk di depanku. Kami duduk berhadapan. “Yap, aku sudah
mengenalmu kok. Kau kan tadi mengenalkan dirimu di toko.” Ujarku menjelaskan.
“Oh iya, aku lupa. Baiklah, supaya tidak lama – lama, aku langsung ke pokok
permasalahan saja ya.” Ujarnya sambil menaruh kedua tangannya di atas meja.
“Ada apa memang ?” ujarku bertanya. “Kau
kenal Brent kan ?” tanyanya tiba – tiba. Aku terdiam sejenak, mau apa dia
bertanya tentang Brent. “Yap, aku mengenalnya.” Ujarku singkat. “Bagus. Brent
itu sebenarnya adalah pacarku.” Ujarnya lagi. Aku tersedak ketika meminum white
wine yang ada di mejaku. “Hey, kau kenapa batuk, kau tidak apa – apa ?” ujarnya
bertanya padaku ketika aku sedang mengelap mulutku. Maksudnya apa ? Apa yang
akan dia bicarakan malam ini. Hatiku terus bertanya – tanya. Jantungku berdegup
kencang.
“Aku tidak apa. Maksudmu apa ya tadi ?
Brent pacarmu ?” tanyaku lagi. “Iya, kudengar kau sangat dekat dengannya ya ?
Brent selalu memention dirimu di twitternya, apa kau punya hubungan yang
pribadi ?” tanyanya lagi. Aku terdiam lagi. Aku bingung harus menjawab apa.
“Aku hanya teman.” Ujarku singkat. “Teman ? Sesering itukah Brent harus mentweet
tentang dirimu. Akhir – akhir ini Brent sangat jarang bertemu denganku,
termasuk ketika dia tour. Dia tak pernah menelponku via skype.” Ujarnya
menjelaskan. “Serius, aku hanya teman.” Ujarku lagi meyakinkan. Aku terpaksa
bohong. Sehabis pertemuan ini aku akan minta penjelasan dari Brent.
“Hmmm, aku beritahu kau ya. Aku dan
Brent sudah pacaran dua tahun. Tolong kau jauhi dia. Jangan menganggu hidupnya.
Hidupnya sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan diriku. Kau ini hanya
seorang hmm, yeah, seperti yang kau bilang di toko tadi. Kurang pantas berteman
dengan Brent.” Ujarnya santai. Aku sakit hati sekali mendengar pertanyaannya.
Aku hanya bisa terdiam. Aku tak kuat. Aku ingin menangis. “Asal kau tahu ya,
Brent itu bisa terkenal sekarang karena diriku. Aku lah yang
merekomendasikannya untuk meyakini Ryan agar dia bisa jadi bagian dari
OneRepublic lewat ayahku.” Ujarnya lagi.
“Tapi kan kau pacaran dengannya baru dua
tahun, sebelum itu dia memang sudah terkenal kan.” Ujarku agak samar. Aku
menahan tangisanku. “Aku kan sudah bilang, aku merekomendasikan lewat ayahku,
lalu kami bertemu, Brent suka padaku, aku juga, lalu kami baru jadian.” Ujarnya
lagi dengan wajah yang tak berdosa. Aku tertunduk.
“Jangan menunduk saja. Jauhi dia. Dia
tidak pantas berteman denganmu. Jangan ganggu hidup dia lagi. Okay ? Atau dia
mungkin tidak akan terkenal lagi karena dia bermain dengan wanita macam kau.”
Ujarnya agak keras. Apa lagi ini Tuhan ?
“Baiklah. Terima kasih atas jamuan
makannya. Aku akan menjauhi dia, tapi tolong jangan menghina pekerjaanku.
Terima kasih.” Aku pun marah dan pergi meninggalkannya. Aku keluar dari
restaurant itu sambil menangis terisak. Brent kau jahat tak memberitahukan ini
padaku. Kau sangat jahat. Aku hanya bisa berbisik di keheningan malam musim
semi ini. Seharusnya musim semi adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi
bagiku ini tidak sama sekali.
Brent’s
“If I lose my self tonight… uhuuu…
uhuuu…” lirik terkhir selesai. Akhirnya latihan hari ini selesai untuk
persiapan tour America ku dengan OneRepublic. Tapi kenapa perasaanku tidak enak
ya. “Hey Brent, jangan diam saja, kita sudah selesai, makan yuk. Kita ingin ke
restaurant Italia, mau ikut ?” ujar Zach mengakhiri lamunanku. “Eh Hey,
restoran Italia ? Baiklah aku ikut.” Ujarku pada Zach sambil tersenyum. “Kau
tidak apa – apa Brent ?” tanya Zach agak khawatir. “Tidak.. Tidak.. Aku tidak
apa..” ujarku. “Mari kita berangkat.” Ujar Ryan merangkulku. Kami mengikutinya
dari belakang, menaiki mobil Ryan dan berangkat.
Sampailah aku di Restoran Italia yang
berjarang 2 km dari studio latihan kami. Cukup ramai hari itu. Banyak sekali
orang yang datang. Beberapa orang tersenyum pada kami berlima. Mungkin mereka
tahu bahwa kami adalah OneRepublic. Jelas. Kita kan sedang di Denver.
“Silahkan Ryan, mau pesan apa ?” sapa
salah seorang karyawan disitu. Wah, karyawan ini pasti kenal kami. “Ahh, kami
butuh kursi untuk lima orang.” Ujar Ryan sambil tertawa dan merangkul karyawan.
“Baiklah, sebelah…… Sini.” Ujarnya sambil mencari tempat duduk untuk kami. “Terima
kasih.” Ujar Drew. Kami pun menuju tempat duduk yang ditunjukkan pelayan
restoran itu. Mereka memberikan kami buku menu setelah kami duduk. “Silahkan.”
Ujar salah satu pelayan restoran itu. “Terima kasih.” Ujar Eddie.
Aku memesan Fettucini dengan bumbu khas
Italia di restoran itu. Aku melihat sekeliling sebentar dan seperti mengenali
seseorang yang juga duduk di restoran itu bersama seorang lelaki. Mungkinkah itu..
Ahh, mungkin itu hanya perasaanku saja. “Sudah ?” suara Ryan mengagetkanku.
“Hah, sudah.” Lalu aku menyerahkan buku menu itu. “Kau kenapa Brent ? Daritadi
bengong terus.” Tanya Eddie. “Aku tak apa.” Ujarku. “Sudah, jujur saja.” Ujar
Drew melanjutkan. “Hmmm… Perasaanku hari ini hanya tidak enak saja.” Ujarku.
“Oww ku kira.. Yasudah, tidak usah dipikirkan, makan saja yang banyak.” Ujar
Zach sambil tertawa. “Baiklah kau benar.” Senyumku padanya.
Hapeku berbunyi tiba – tiba ketika aku
sedang makan. Aku melihat di handphoneku tertulis nama “Rose”. Seketika aku
mengangkatnya. “Halo.. Ada apa sayang ?” ujarku. Aku melihat teman – temanku
tersenyum padaku ketika aku mengangkatnya. “hehehe.” Aku terkekeh. “Tolong
besok bertemu aku siang hari jam 1 siang, sekalian kita makan siang.” Ujarnya
sambil sedikit terisak. Jantungku berdegup. “Kamu kenapa sayang ?” ujarku lagi.
Seketika itu juga telpon ditutup oleh Rose. Aku langsung melihat handphoneku
yang hanya terpasang wallpaper foto kami berdua. Ada apa dengan Rose ? Dia
menangis. Salahku apa.
Aku pun langsung menghentikan makanku
dan pamit kepada semua. “Aku harus pergi, ada yang tidak beres dengan Rose.”
Ujarku panic. “Hey, kenapa ? Tenang dulu Brent.” Ujar Ryan menenangkanku.
“Tidak bisa. Terima kasih ya, aku minta tolong bayarkan dulu, nanti pasti aku
ganti.” Tanpa memperdulikan ucapan yang lain dari teman – temanku. Aku pergi ke
flat Rose dengan segera. Rose, ada apa denganmu ?
Comments
Post a Comment