Skip to main content

OneRepublic FF Part 14



HAPPY EVER AFTER

Brent’s

Akhirnya waktu yang aku tunggu – tunggu tiba. Hari ini aku pulang ke Denver. Aku sangat ingin bertemu dengan Rose. Zach, Eddie, Drew, Ryan sudah tahu aku jadian dengan seseorang, tapi mereka belum kenal siapa Rose itu. Kami pun check out dari bandara, menunggu koper – koper kami, lalu setelah menunggu 15 menit, kami mendapatkan barang – barang kami. Kami pamit bersama kru, tetapi kami berlima masih menunggu orang – orang yang akan menjemput kami. Kemarin aku sudah menghubungi Rose, jadi sekarang aku tinggal menunggunya.
Setelah aku menunggu kurang lebih setengah jam, aku melihat dua orang perempuan datang menghampiri kami. Terlihat istri Ryan dan…… Rose.
“Hai sayang…” aku berlari langsung memeluknya. “Halo sayang, apa kabar ?” ujarnya sambil memelukku erat. Rambutnya wangi dan cantik. “Aku baik.” Lalu aku melepaskan pelukanku. “Kau bagaimana ?” lanjutku. “Sangat baik, apalagi ada kau..” ujarnya senang. “Itu bagus, bagus sekali, kau bersama istri Ryan ? Berarti kau sudah mengenalnya ?” tanyaku. “Genevieve ? Benar kan ? Ya, kami tadi berbincang sedikit.” Ujarnya. “Yap, kau benar, baiklah sekarang aku ingin mengenalkanmu dengan yang lain.” Ujarku. Dia tersenyum, lalu kami berjalan menghampiri yang lain.
“Hi… Aku ingin memperkenalkan seseorang.” Ujarku membuka pembicaraan. “Ahhh, aku tahu, aku tahu..” ujar Drew. “Tahu apa ? Aku saja baru akan memulai perkenalan.” Ujarku membantah Drew. “Aku tahu, dia pasti pacarmu, kau kan jarang sekali membawa pacarmu ketika kita pulang tour. Hahaha..” tawa Drew renyah. “Baiklah, baiklah, kau benar..” ujarku menyerah. “Ini dia, namanya Rose Anderson. Dia adalah teman lamaku, sangat lama, ketika aku sekolah dasar.” Ujarku kepada semuanya. Mereka tersenyum, lalu Zach menjulurkan tangannya untuk bersalaman, diikuti Ryan, Eddie dan Drew. “Senang bertemu denganmu.” Ujar Genevieve. “Yap, aku juga.” Balas Rose. “Ohh, jadi kalian berdua menunggu kami datang ya ?” ujar Ryan tersenyum kepada Istrinya. “Yap, kau benar sayang..” ujarnya.
Setelah kami semua berkenalan dan berbincang sebentar, Ryan pun pamit duluan diikuti Zach dan Drew. “Aku pamit, jangan lupa seminggu lagi ada show di tv Denver. Jadi aku tunggu tiga hari lagi untuk latihan.” Ujar Ryan. “Baiklah, terima kasih telah mengingatkan.” Ujar Eddie. “Sampai bertemu lagi, aku pamit.” Ujarku pada Eddie setelah semua pergi. Aku menyusul. “Brent, kau lupa sesuatu.” Ujar Eddie memberhentikan langkah kami. Aku melepas tanganku dari genggaman Rose. “Apa sayang ?” tanya Rose. Aku tak menjawab pertanyaannya dan langsung menghampiri Eddie. “Apa Ed ?” ujarku. “Gitar barumu.” Ujar Eddie. Ahh, hampir saja lupa. Gitar ini buat seseorang. Kalau sampai tertinggal bahaya. “Terima kasih Ed, aku pamit. Sampai jumpa.” Ujarku pada Eddie lalu tersenyum dan meninggalkannya.

Rose’s

“Sudah ?” ujarku pada Brent ketika menghampiriku membawa sebuah gitar yang dibungkus tempatnya. “Kau beli gitar ? Ya ampun, kenapa bukan bass atau cello saja ? Lagian untuk apa ? Kau kan sudah punya tiga.” Ujarku agak sedikit kesal. Brent pernah cerita padaku kalau dia punya tiga gitar, sisanya Cello dan Bass. Aku bingung dia membeli gitar ini. “Sudahlah sayang tidak apa – apa, gitarnya bagus, jadi aku beli, aku membelinya di Inggris.” Senyumnya lalu merangkulku. “Aku bantu membawa kopermu.” Ujarku lalu dia mengiyakan dan memberikan kopernya yang lain. “Awas hati – hati, agak berat.” Ujarnya memperingatkan. “Kau membawa apa saja sih ?” ujarku mengeluh. “Membawa cintamu. Hahaha.” Ujarnya bercanda. “Bisa saja, yasudah ayo kita kerumahmu.” Ujarku lalu kami memberhentikan satu taksi. Kami pun menaikinya.
Sampailah aku dan Brent di rumah Brent. Aku dan Brent menurunkan bawaannya dan tak lupa untuk  membayar taksi yang kami naiki, kubilang pada supir taksi untuk menunggu karena aku harus ke toko. Aku berhenti dan bilang pada Brent bahwa aku harus ke toko ku untuk bertemu yang lain karena ada perlu, jadi aku tak bisa masuk kerumahnya dulu. “Aku harus pamit.” Ujarku tiba – tiba sesaat setelah semua barangnya telah diturunkan. “Kau tidak masuk dulu ?” tanyanya. “Tidak, nanti saja, jika aku ada waktu lagi.” Aku tersenyum padanya. “Maaf ya sayang.” Aku mencium pipinya lalu dia menatapku lekat – lekat. “Iya tak apa.” Ujarnya sambil memegang pipiku. Aku pun tersenyum lalu berbalik menuju taksi. “Rose…” panggil Brent. “Jangan lupa telponku ya ketika sudah sampai dan besok aku ingin bertemu kau di Civic Center Park. Jadi tolong datang ya jam lima sore.” Ujarnya. “Akan aku usahakan sayang, terima kasih..” ujarku lalu menutup pintu taksi. Aku menengoknya lagi ketika taksi itu mulai berjalan. Aku membuka jendela taksi itu dan melambaikan tanganku. Dia membalas.

A Day later.

Rose’s
“Aku minta maaf aku telat.” Ujarku pada Brent. Brent terlihat murung memangku dagunya dengan tangannya. “Akhirnya kau datang juga. Satu jam, Rose, kau telat satu jam.” Ujarnya agak sedikit kesal. “Aku minta maaf, boleh aku duduk ? Aku lelah sekali.” Ujarku. Aku memang lelah baru saja sampai. Kami berdua diam. “Muachhh..” tiba – tiba Brent mencium pipi kananku. “Apa ? Kau tidak marah ?” ujarku kaget. Aku menengoknya sambil tersenyum. “hahahhaha..” tawanya. “Jangan tertawa, tak lucu, aku lelah kesini, kau malah pura – pura marah.” Ujarku kesal. “Yasudah aku minta maaf…” ujarnya berubah serius. Lalu dia mengambil sesuatu. Dia mengambil gitar yang di bawanya kemarin setelah pulang dari Europe tournya. Aku ingat sekali bentuknya. Dia lalu membukanya lalu memangku gitarnya lalu memainkan lagu yang sangat aku kenal “You’re beautiful. James Blunt.” Ujarku padanya di tersenyum lalu memberikan gitarnya padaku. “Ini untukmu, aku membelinya di Inggris memang untukmu. Bentuknya sangat cantik, mirip denganmu.” Ujarnya tiba – tiba. Aku tersipu malu. “Tapi kan..” belum selesai bicaraku dia memotong. “Ssstt, tidak apa, aku harap ini bisa jadi penggantiku pada saat aku tour.” Ujarnya lagi. “Hmm, baiklah….” Ujarku singkat. Aku memperhatikan lekat – lekat gitar itu. Ku lihat bermerek “Gibson”. Pasti harganya mahal aku sudah bisa menebaknya. Aku melihat Brent lalu dia tersenyum. Dia senang pasti aku menerimanya.

Brent’s

“Kau hanya bilang “Baiklah”, Rose ?” ujarku bertanya. Dia senang atau tidak saja aku tak tahu. “Muaaaccchhh.” Ciumnya di pipi kiriku. Aku memandangnya lekat – lekat. “Terima kasih sayang, aku akan menjaganya dengan baik.” Ujarnya sambil tersenyum manis. “Jangan hanya di jaga atau di simpan ya, aku ingin kau memainkannya.” Ujarku meminta. “Mainkan apa ?” tanyanya. “Apa saja…” ujarku. Aku menunggunya. Melihat dia sedang berpikir untuk memutuskan lagu apa yang akan dia nyanyikan dengan gitarnya. “Ini saja..” dia belum menjawab pertanyaanku lagu apa, lalu dia memainkan lagu dari bandku berjudul “Won’t Stop”. Setelah beberapa lirik dia menyanyikannya, aku tersenyum. “Sempurna.” Aku bilang padanya. “Terima kasih.” Balasnya.
“Ku pikir memang aku juga tidak akan berhenti mencintaimu.” Ujarku tiba – tiba, seperti akan pergi jauh dari Rose. Aku merasa dialah perempuan yang selama ini aku cari. “Setelah sekian lama ? Pasti ada perempuan lain sebelum aku yang lebih kau cintai, Brent.” Ujarnya meragu. “Tidak, tidak, itu benar, kok. Aku jujur dari dalam hatiku.” Ujarku mengelak. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.” Ujarnya menengokku lalu tersenyum. “Happy Ever After, aku harap itu yang nanti kita dapatkan.” Ujarku lagi. “Tapi, banyak sekali rintangan di depan kita untuk mewujudkan kata yang barusan kau bilang itu, hubungan kita tak semudah sebuah kata itu yang kau lontarkan hanya dalam satu atau dua detik. Tapi semua hal ini akan terjadi berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun, tergantung kita, kuat atau tidak.” Ujarnya menjelaskan. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuhnya lalu memeluknya. Musim semi sebulan lagi datang. Aku harap bisa menghangatkan hubungan kami juga. “Aku harap begitu, tinggal kita kan yang mau atau tidak.” Ujarku melanjutkan. “Aku mencintaimu, Brent. Apa iya kau juga sedalam perasaanku ?” ujarnya bertanya padaku dengan suara yang serius. Dia menggengam tanganku. “Sangat. Melebihi apapun. Aku sangat mencintaimu. Mudah – mudahan kita bisa mempertahankan ini semua. Amin.” Ujarku lalu memeluknya sangat erat.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...