HAPPY EVER AFTER
Brent’s
Akhirnya waktu yang aku tunggu – tunggu
tiba. Hari ini aku pulang ke Denver. Aku sangat ingin bertemu dengan Rose.
Zach, Eddie, Drew, Ryan sudah tahu aku jadian dengan seseorang, tapi mereka
belum kenal siapa Rose itu. Kami pun check out dari bandara, menunggu koper –
koper kami, lalu setelah menunggu 15 menit, kami mendapatkan barang – barang
kami. Kami pamit bersama kru, tetapi kami berlima masih menunggu orang – orang
yang akan menjemput kami. Kemarin aku sudah menghubungi Rose, jadi sekarang aku
tinggal menunggunya.
Setelah aku menunggu kurang lebih
setengah jam, aku melihat dua orang perempuan datang menghampiri kami. Terlihat
istri Ryan dan…… Rose.
“Hai sayang…” aku berlari langsung
memeluknya. “Halo sayang, apa kabar ?” ujarnya sambil memelukku erat. Rambutnya
wangi dan cantik. “Aku baik.” Lalu aku melepaskan pelukanku. “Kau bagaimana ?”
lanjutku. “Sangat baik, apalagi ada kau..” ujarnya senang. “Itu bagus, bagus
sekali, kau bersama istri Ryan ? Berarti kau sudah mengenalnya ?” tanyaku. “Genevieve
? Benar kan ? Ya, kami tadi berbincang sedikit.” Ujarnya. “Yap, kau benar,
baiklah sekarang aku ingin mengenalkanmu dengan yang lain.” Ujarku. Dia
tersenyum, lalu kami berjalan menghampiri yang lain.
“Hi… Aku ingin memperkenalkan
seseorang.” Ujarku membuka pembicaraan. “Ahhh, aku tahu, aku tahu..” ujar Drew.
“Tahu apa ? Aku saja baru akan memulai perkenalan.” Ujarku membantah Drew. “Aku
tahu, dia pasti pacarmu, kau kan jarang sekali membawa pacarmu ketika kita
pulang tour. Hahaha..” tawa Drew renyah. “Baiklah, baiklah, kau benar..” ujarku
menyerah. “Ini dia, namanya Rose Anderson. Dia adalah teman lamaku, sangat
lama, ketika aku sekolah dasar.” Ujarku kepada semuanya. Mereka tersenyum, lalu
Zach menjulurkan tangannya untuk bersalaman, diikuti Ryan, Eddie dan Drew.
“Senang bertemu denganmu.” Ujar Genevieve. “Yap, aku juga.” Balas Rose. “Ohh,
jadi kalian berdua menunggu kami datang ya ?” ujar Ryan tersenyum kepada
Istrinya. “Yap, kau benar sayang..” ujarnya.
Setelah kami semua berkenalan dan
berbincang sebentar, Ryan pun pamit duluan diikuti Zach dan Drew. “Aku pamit,
jangan lupa seminggu lagi ada show di tv Denver. Jadi aku tunggu tiga hari lagi
untuk latihan.” Ujar Ryan. “Baiklah, terima kasih telah mengingatkan.” Ujar
Eddie. “Sampai bertemu lagi, aku pamit.” Ujarku pada Eddie setelah semua pergi.
Aku menyusul. “Brent, kau lupa sesuatu.” Ujar Eddie memberhentikan langkah
kami. Aku melepas tanganku dari genggaman Rose. “Apa sayang ?” tanya Rose. Aku
tak menjawab pertanyaannya dan langsung menghampiri Eddie. “Apa Ed ?” ujarku.
“Gitar barumu.” Ujar Eddie. Ahh, hampir saja lupa. Gitar ini buat seseorang.
Kalau sampai tertinggal bahaya. “Terima kasih Ed, aku pamit. Sampai jumpa.”
Ujarku pada Eddie lalu tersenyum dan meninggalkannya.
Rose’s
“Sudah ?” ujarku pada Brent ketika
menghampiriku membawa sebuah gitar yang dibungkus tempatnya. “Kau beli gitar ?
Ya ampun, kenapa bukan bass atau cello saja ? Lagian untuk apa ? Kau kan sudah
punya tiga.” Ujarku agak sedikit kesal. Brent pernah cerita padaku kalau dia
punya tiga gitar, sisanya Cello dan Bass. Aku bingung dia membeli gitar ini. “Sudahlah
sayang tidak apa – apa, gitarnya bagus, jadi aku beli, aku membelinya di
Inggris.” Senyumnya lalu merangkulku. “Aku bantu membawa kopermu.” Ujarku lalu
dia mengiyakan dan memberikan kopernya yang lain. “Awas hati – hati, agak
berat.” Ujarnya memperingatkan. “Kau membawa apa saja sih ?” ujarku mengeluh.
“Membawa cintamu. Hahaha.” Ujarnya bercanda. “Bisa saja, yasudah ayo kita
kerumahmu.” Ujarku lalu kami memberhentikan satu taksi. Kami pun menaikinya.
Sampailah aku dan Brent di rumah Brent. Aku
dan Brent menurunkan bawaannya dan tak lupa untuk membayar taksi yang kami naiki, kubilang pada
supir taksi untuk menunggu karena aku harus ke toko. Aku berhenti dan bilang
pada Brent bahwa aku harus ke toko ku untuk bertemu yang lain karena ada perlu,
jadi aku tak bisa masuk kerumahnya dulu. “Aku harus pamit.” Ujarku tiba – tiba
sesaat setelah semua barangnya telah diturunkan. “Kau tidak masuk dulu ?”
tanyanya. “Tidak, nanti saja, jika aku ada waktu lagi.” Aku tersenyum padanya.
“Maaf ya sayang.” Aku mencium pipinya lalu dia menatapku lekat – lekat. “Iya
tak apa.” Ujarnya sambil memegang pipiku. Aku pun tersenyum lalu berbalik
menuju taksi. “Rose…” panggil Brent. “Jangan lupa telponku ya ketika sudah
sampai dan besok aku ingin bertemu kau di Civic Center Park. Jadi tolong datang
ya jam lima sore.” Ujarnya. “Akan aku usahakan sayang, terima kasih..” ujarku
lalu menutup pintu taksi. Aku menengoknya lagi ketika taksi itu mulai berjalan.
Aku membuka jendela taksi itu dan melambaikan tanganku. Dia membalas.
A Day later.
Rose’s
“Aku minta maaf aku telat.” Ujarku pada
Brent. Brent terlihat murung memangku dagunya dengan tangannya. “Akhirnya kau
datang juga. Satu jam, Rose, kau telat satu jam.” Ujarnya agak sedikit kesal.
“Aku minta maaf, boleh aku duduk ? Aku lelah sekali.” Ujarku. Aku memang lelah
baru saja sampai. Kami berdua diam. “Muachhh..” tiba – tiba Brent mencium pipi
kananku. “Apa ? Kau tidak marah ?” ujarku kaget. Aku menengoknya sambil
tersenyum. “hahahhaha..” tawanya. “Jangan tertawa, tak lucu, aku lelah kesini,
kau malah pura – pura marah.” Ujarku kesal. “Yasudah aku minta maaf…” ujarnya
berubah serius. Lalu dia mengambil sesuatu. Dia mengambil gitar yang di bawanya
kemarin setelah pulang dari Europe tournya. Aku ingat sekali bentuknya. Dia
lalu membukanya lalu memangku gitarnya lalu memainkan lagu yang sangat aku
kenal “You’re beautiful. James Blunt.” Ujarku padanya di tersenyum lalu
memberikan gitarnya padaku. “Ini untukmu, aku membelinya di Inggris memang
untukmu. Bentuknya sangat cantik, mirip denganmu.” Ujarnya tiba – tiba. Aku
tersipu malu. “Tapi kan..” belum selesai bicaraku dia memotong. “Ssstt, tidak
apa, aku harap ini bisa jadi penggantiku pada saat aku tour.” Ujarnya lagi.
“Hmm, baiklah….” Ujarku singkat. Aku memperhatikan lekat – lekat gitar itu. Ku
lihat bermerek “Gibson”. Pasti harganya mahal aku sudah bisa menebaknya. Aku
melihat Brent lalu dia tersenyum. Dia senang pasti aku menerimanya.
Brent’s
“Kau hanya bilang “Baiklah”, Rose ?”
ujarku bertanya. Dia senang atau tidak saja aku tak tahu. “Muaaaccchhh.”
Ciumnya di pipi kiriku. Aku memandangnya lekat – lekat. “Terima kasih sayang,
aku akan menjaganya dengan baik.” Ujarnya sambil tersenyum manis. “Jangan hanya
di jaga atau di simpan ya, aku ingin kau memainkannya.” Ujarku meminta. “Mainkan
apa ?” tanyanya. “Apa saja…” ujarku. Aku menunggunya. Melihat dia sedang
berpikir untuk memutuskan lagu apa yang akan dia nyanyikan dengan gitarnya.
“Ini saja..” dia belum menjawab pertanyaanku lagu apa, lalu dia memainkan lagu
dari bandku berjudul “Won’t Stop”. Setelah beberapa lirik dia menyanyikannya,
aku tersenyum. “Sempurna.” Aku bilang padanya. “Terima kasih.” Balasnya.
“Ku pikir memang aku juga tidak akan
berhenti mencintaimu.” Ujarku tiba – tiba, seperti akan pergi jauh dari Rose.
Aku merasa dialah perempuan yang selama ini aku cari. “Setelah sekian lama ?
Pasti ada perempuan lain sebelum aku yang lebih kau cintai, Brent.” Ujarnya
meragu. “Tidak, tidak, itu benar, kok. Aku jujur dari dalam hatiku.” Ujarku
mengelak. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.” Ujarnya menengokku lalu
tersenyum. “Happy Ever After, aku harap itu yang nanti kita dapatkan.” Ujarku
lagi. “Tapi, banyak sekali rintangan di depan kita untuk mewujudkan kata yang
barusan kau bilang itu, hubungan kita tak semudah sebuah kata itu yang kau
lontarkan hanya dalam satu atau dua detik. Tapi semua hal ini akan terjadi
berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun, tergantung kita, kuat atau tidak.”
Ujarnya menjelaskan. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuhnya lalu memeluknya. Musim
semi sebulan lagi datang. Aku harap bisa menghangatkan hubungan kami juga. “Aku
harap begitu, tinggal kita kan yang mau atau tidak.” Ujarku melanjutkan. “Aku
mencintaimu, Brent. Apa iya kau juga sedalam perasaanku ?” ujarnya bertanya
padaku dengan suara yang serius. Dia menggengam tanganku. “Sangat. Melebihi
apapun. Aku sangat mencintaimu. Mudah – mudahan kita bisa mempertahankan ini
semua. Amin.” Ujarku lalu memeluknya sangat erat.
Comments
Post a Comment