Part
28
“Mana
Jackie, ya ?” ujar Nina sambil dirinya menengok kanan dan kiri untuk mencari
temannya itu.
“Nina…”
teriak seorang perempuan memanggilnya dari arah kanan. Dia menengok dan coba
meyakinkan pandangannya. Perempuan itu berlari kearah Nina dan memeluknya.
“Kamu
kayaknya kangen banget sama aku ?” ujar Nina meledek Jackie. Temannya datang
sendirian.
“Kamu
sendiri aja ?” tanya Nina lagi. Jackie hanya mengangguk cepat.
“Aku
bantu bawa ya. Kamu ngapain aja di Indonesia ?” Jackie bertanya lalu mengambil
tas bawaan Nina.
“Iya,
makasih ya. Aku liburan aja.”
“Hah
? Itu aja ? Tapi kenapa gak bilang aku sih mau liburan kesana ?”
“Mendadak.
Tiba – tiba mau pergi gitu aja. Aku gak pernah punya rencana. Tiba – tiba ingat
temanku yang ada disana. Dia bilang indah banget di Indonesia, ternyata benar.”
Ujar Nina sambil berjalan menuju luar bandara.
“Kamu
bilang, kamu gak mau jemput. Cepat banget berubah pikirannya. Untung aku baca
email kamu di Korea. Kalau enggak, aku gak tahu aku dijemput, kamu pasti
nungguin aku.” Ujar Nina lagi kepada Jackie. Jackie hanya tersenyum.
“Ayo,
taksinya udah nungguin tuh.” Ajak Nina. Jackie menggeleng. “Kok gak mau ?” tanya
Nina bingung. Ketika Jackie sedang menengok kanan dan kiri Nina kembali
bertanya.
“Apaan
sih kamu ? Udah ayo pulang, aku capek nih. Kamu nungguin siapa sih ?” ujar Nina
kesal. Dia benar – benar lelah, tapi sikap Jackie membuatnya kesal.
“Tunggu
sebentar. Kamu berisik, udah tahu capek, udah nurut aja sama aku.” Jackie balas
menegur Nina. Jackie tidak mau kalah.
“Nah
itu dia yang ditunggu dateng.” Ujar Jackie. Ketika itu Nina menengok kea rah
lain. Jackie menyenggol sikutnya dan seketika Nina menengok kearah Jackie
melihat.
“Hah
?” ujar Nina kaget.
“Iya,
itu dia. Ada Eddie sama Brent. Aku ajak mereka. Hihihi, maaf ya aku gak bilang
sama kamu.” Ujar Jackie pada Nina tersenyum seperti tak punya salah.
Nina
melihat Eddie dengan penuh ketegangan, rasa bersalahnya yang membuat dia
seperti ini. Nina mengedipkan matanya dan sadar bahwa ini saatnya dia
memperbaiki hubungan nya dengan Eddie. Eddie dan Brent menghampiri Nina dan
Jackie. Nina menghela nafas. Kenapa dia harus seperti ini ? pikirnya.
Seharusnya dia harus jujur pada Eddie dari dulu, tapi seandainya jujur, Eddie
dan Nina juga Steve akan berada dalam bahaya karena Joanna.
“Long
time no see..” ujar Eddie pada Nina. Nina hanya tersenyum. Eddie mengambil
koper Nina dan membantu Nina untuk membawakannya. Nina memegang tangan Eddie
memberikan kode padanya bahwa dia tidak harus membawanya, tapi Eddie menggeleng
dan melepaskan genggaman Nina. Dia tersenyum pada Nina. “Senyuman itu, adalah
senyuman yang paling aku rindukan.” Ujar Nina dalam hati. Mereka berjalan
berbarengan.
“Aku
pernah ke Indonesia, tapi… hanya menginap di hotel dan konser disana saja.
Tidak sempat berjalan – jalan.” Ujar Eddie pada Nina. Nina tersenyum.
“Pasti
indah sekali disana. Aku tak sengaja mencari artikel tentang Negara itu.
Tentang kota yang kau kunjungi disana.”
“Hmm,
tau darimana kau aku mengunjungi kota – kota itu ?” tanya Nina. Eddie hanya
menunjuk Jackie yang berjalan beriringan dengan Brent. Nina mengangguk
mengerti.
“Aku
antar kau sampai apartemen. Jackie dan Brent akan naik mobilnya sendiri. Mereka
ingin berjalan – jalan.” Ujar Eddie memasukkan koper Nina ke dalam bagasi
mobilnya. Nina juga memasukkan tas yang lain ke dalamnya. Kala itu dia menurut
saja dengan Eddie.
Nina
melambaikan tangan kepada Jackie dan Brent, kemudian mereka berpisah. Nina
masuk ke dalam mobil Eddie diikuti Eddie selanjutnya.
Lima
belas menit di dalam mobil mereka terdiam. Padahal setengah jam perjalanan
lagi, mereka baru sampai. Hambar sekali keadaan di mobil saat itu. Eddie mencoba
menyalakan radio di dalam mobilnya. Tak sengaja, radio itu menyetel lagu
Breakeven dari The Script. Perasaan Nina semakin tidak enak. Apakah ini saatnya
dia harus jujur ?
“Aku…
Aku minta maaf ya Eddie atas segala hal yang telah aku lakukan padamu, yang
membuat hubungan kita renggang.” Akhirnya Nina mengucapkan kata maaf yang telah
disimpannya cukup lama kepada Eddie.
“Hmm…”
Eddie hanya berdeham. Dentuman jantung Nina semakin keras. Entah kenapa, Nina
takut Eddie marah. Nina membuang mukanya melihat keluar jendela mobil Eddie.
Kala itu cuaca cukup mendung, hampir hujan.
“Aku
sudah memaafkanmu. Aku tahu sebenarnya apa yang terjadi.” Ujar Eddie padanya.
Nina menghela nafas. Ada rasa tenang yang muncul dalam hatinya.
“Joanna
memang terlalu kurang ajar. Aku mungkin tak sadar menerimanya sebagai
kekasihku.”
“Tahu
darimana kalau Joanna yang salah akan hal ini.”
“Dia
ditangkap seminggu yang lalu bersama ayahnya. Ternyata ayahnya adalah buronan
dan punya bisnis obat – obatan. Wow. Tak mengira aku. Aku terperangah mendengar
berita itu.” Ujar Eddie yang mengeluarkan ekspresi kagetnya. Nina hanya
menerawang jauh ke jalanan yang ada di depannya. Eddie sudah tahu penyebab
masalahnya, ternyata Joanna juga adalah anak dari Joan Lorenzo. Sepanjang
perjalanan Eddie menceritakan penangkapan Joanna. Dirinya juga tak percaya
selama ini berita yang dia cari adalah berhubungan satu sama lain. Jikalau dia
masih bekerja sebagai jurnalis, mungkin dialah orang yang memberitakan hal itu.
“Seharusnya
kau yang memberitakan kejadian itu. Aku senang melihatmu sedang bekerja sebagai
jurnalis. Seperti tidak mau diganggu.” Ujar Eddie yang seperti membaca
pikirannya.
“Oh
iya, aku merindukan rasa roti dan kue yang kau buat di tokomu. Kau mau kesana
atau tidak ?” ujar Eddie lagi. Karena sepanjang perjalanan Nina hanya diam.
Nina hanya tersenyum lalu menjawab. “Aku ingin ke apartemen ku saja. Karena aku
masih lelah. Perjalanannya cukup panjang. Jadi aku mau istirahat dulu.” Ujar
Nina pada Eddie.
“Ohh,
baiklah. Jika itu maumu.” Ujar Eddie lalu dia mengencangkan laju mobilnya.
***
“Terima
kasih sebanyak – banyaknya ya. Sebenarnya masih banyak yang harus aku jelaskan
padamu, tapi maaf aku…”
“Tidak
usah.. Tidak apa.. Aku mengerti kok. Tenang saja.”
“Kau
mau masuk dulu ?” tanya Nina pada Eddie. Eddie hanya tersenyum.
“Tidak
usah. Kasihan dirimu, kau lelah.” Ujar Eddie lalu melambaikan tangannya kepada
Nina. Kemudian dia membalikkan badannya. Belum jauh Eddie pergi, Nina
memanggilnya.
“Eddie…”
panggil Nina. Eddie membalikkan badannya lalu Nina langsung mendekapnya erat.
Nina memeluk Eddie dengan erat, erat sekali seperti terakhir kalinya Nina
memeluk Eddie.
“Aku
minta maaf sebesar – besarnya. Maafkan aku bahwa aku tidak bisa terbuka dan
jujur padamu. Maafkan aku karena aku terlalu malu untuk bercerita padamu.
Terlalu malu bahwa kaulah yang selama ini menyayangiku dengan tulus dan
menerimaku apa adanya.” Ujar Nina dengan kalimat pengakuan salah yang beruntun.
Eddie tersenyum dengan apa yang dilakukan Nina. Ia pun membalas pelukan Nina
dengan sama eratnya.
“Aku
bahagia kau bisa mengakui hal ini. Ini adalah hal yang mudah kan ? Maksudku,
aku dulu adalah kekasihmu, tidak usah takut untuk kehilangan ku. Mungkin memang
ada pilihan yang sulit sampai kau harus memutuskanku.” Eddie membalas pengakuan
Nina. Eddie melepas pelukan itu.
“Itu
karena aku takut kau hilang dari hidupku selamanya. Karena aku takut, Steve dan
aku mati kala itu.”
“Steve
? Temanmu yang kau ceritakan waktu itu juga terlibat dengan Joanna ?” tanya
Eddie bingung.
“Ia.
Ahh, ceritanya panjang. Aku tidak bisa cerita sekarang.” Tiba – tiba air mata
Nina menggenang di matanya dan dikeluarkannya lalu membasahi wajahnya.
“Tidak
usah menangis. Semuanya sudah kembali. Kau tidak perlu takut.” Ujar Eddie
menenangkan Nina.
“Terima
kasih. Aku tunggu kau besok di tokoku ya. Karena ada banyak hal yang ingin aku
ceritakan.” Ujar Nina.
“Yasudah,
aku pulang dulu ya. Tidurlah yang tenang, tidak usah menangis lagi.” Ujar Eddie
lalu memeluk Nina lagi. Nina sangat sangat tenang kala itu. Walaupun belum
semua hal yang harus di jelaskan dia bicarakan pada Eddie. Nina melambaikan
tangannya, Eddie pamit terhadap Nina. Nina menutup pintu apartemennya lalu
langsung berbaring di tempat tidurnya dan langsung tertidur cepat.
****
Angin
musim gugur semilir menusuk kulit Lea yang sedang berjalan menuju sebuah
restoran bergaya ala Italia. Dia kala itu sedang berada di New York, kota yang
tidak pernah tidur. Bulan ini adalah bulan September. Setelah sampai dia menuju
tempat duduk yang sudah dijanjikan oleh seseorang. Seseorang yang dulu mengakui
kalau dia suka pada Lea. Lelaki yang terkenal karena menjadi vokalis sebuah
band.
“Hi
Danny, maaf aku terlambat.” Sapanya. Kala itu adalah saatnya Lea mendengar
penjelasan dari Danny. Danny menghubunginya lagi dan dia bilang bahwa dia ingin
menjelaskan semuanya. Kebetulan Danny sedang ada urusan dengan band dan staf
untuk konser The Script.
“Hi.
Tidak kok. Hmm, sebetulnya iya, hanya lima menit, tapi tidak apa.” Senyum manis
Danny pada Lea.
“Maaf
ya, aku baru ada waktu hari ini. Aku…”
“Sssttt,
sudah tidak apa. Tidak usah minta maaf.” Ujar Lea memotong pembicaraan Danny.
Danny tersenyum lagi.
“Aku
juga minta maaf jika aku membuatmu menunggu. Oh iya, kau mau pesan apa ? Pesan
saja dulu.” Ujar Danny lagi. Setelah pelayan datang dan mencatat pesanan Lea,
Danny kembali melanjutkan pembicaraannya.
“So…”
“So…
what ?” tanya Lea tak mengerti.
“Aku
minta maaf kalau kelakuan aku tempo lalu kurang mengenankan di hati kamu. Aku…
Aku sadar akan hal itu.” Ujar Danny lagi. Lea hanya tersenyum, kebetulan pesanan
Lea datang, pembicaraan mereka terputus lagi.
“Jadi,
jawaban kamu apa ?” tanya Danny secara langsung. Lea terdiam. Kejadian kala
Danny bilang bahwa dia suka pada Lea kembali teriang lagi. Lea belum bisa
menjawab. Perasaannya masih ragu, dia pun tidak mengira bahwa Danny akan
mengatakan kalau dia suka pada Lea. Cinta yang mustahil ketika orang bisa suka
pada pandangan pertama.
Lea
sama sekali menganggap Danny sebagai teman biasa, tapi lama – kelamaan memang
Lea menilai Danny sebagai orang yang baik. Sebelum pertemuannya kali ini, dia
dan Danny memang berhubungan intens, entah telepon, pesan singkat, ataupun
email. Bercerita banyak hal dan suka duka kehidupan mereka. Tapi, untuk
menjawab pertanyaan ini, Lea masih ragu, masih ada trauma tersendiri. Lea
trauma dengan hubungan jarak jauh, yang kala itu gagal dia lakukan, tidak
tahunya sang lelaki berhubungan dia wanita lain.
“Aku
masih ragu, Danny. Jujur saja, aku masih ragu.” Lea menguatkan pendapatnya.
Danny menunduk sejenak lalu menatap mata Lea. Danny memegang tangan Lea lembut,
mencoba menguatkan Lea.
“Aku
dulu… Aku dulu pernah punya trauma untuk pacaran jarak jauh.” Akhirnya Lea
berusaha jujur pada Danny. Danny mengangguk.
“Aku
tahu. Pasti sulit menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, aku berusaha sekuat
tenaga untuk menjaga hubungan ini kalau misal kamu nerima aku.” Sepertinya
ucapan Danny kepada Lea tulus. Lea sedikit yakin dengan perkataannya karena Lea
sudah banyak mendengar cerita dari Nina.
“Tapi,
bagaimana dengan Nina ?” Lea mengalihkan pembicaraan. Soal Nina adalah salah
satu hal yang penting.
“Kau
memang belum tahu ? Nina itu, Nina itu sudah lama punya kekasih dan dia
sepertinya bahagia sekali dengan kekasihnya itu. Itulah yang membuatku berani
menyatakan perasaan ini karena aku tidak mau kejadian dengan Nina terulang
lagi. Lagian, tidak bagus juga memendam perasaan terlalu lama.” Danny
melepaskan genggaman tangannya dengan Lea. Dia tersenyum lagi membuat hati Lea
semakin bingung.
“Jadi,
aku ingin bertanya dengan mu, jawablah dengan jujur dari lubuk hatimu yang
paling dalam. Apakah kau juga suka padaku ?” Akhirnya danny menekankan
pertanyaan itu. Lea memejamkan matanya sejenak, bertanya pada hati nya. Apakah
harus dia menerima danny ? Apakah harus dia menjalani hubungan dengan Danny ?
Lea
langsung membelalakkan matanya. Ia ingat dengan pernyataan Nina yang
menasihatinya kemarin. Bahwa sanya Danny yakin dengan dirinya, Danny akan
menghubunginya lagi dan itu terjadi. Lea pun menarik nafasnya dan menjawab
dengan yakin.
“Iya,
aku menerimamu, Danny.” Ujar Lea. Lea menjawab dengan mata yang berkaca – kaca.
Danny tersenyum manis kepada Lea. Akhirnya penantian jawaban yang di tunggu –
tunggu datang juga.
“And
I’m sitting with you and I’m glowing…” Danny menyanyikan salah satu lagunya
sambil memegang tangan Lea. Hari itu bahagia untuk mereka berdua.
***
“Saatnya
aku pulang.. Jaga dirimu baik – baik ya. Aku akan secepatnya kembali ke
Amerika.” Ujar Danny.
“Suatu
hari nanti, kau harus ikut aku tinggal di Dublin.” Ujar Danny lagi sambil
mengecup kening Lea lembut.
“Iya,
akan aku usahakan. Jangan lupa kabari aku jika kau sudah sampai di tempatmu
ya.” Jawab Lea kepada Danny. Danny mengangguk dan memegang pipi Lea dengan
kedua tangannya. Tersenyum sebelum pergi meninggalkan Lea yang sudah menjadi
kekasihnya kala itu, mencium bibir Lea lembut dan melambaikan tangannya
memasuki ruangan check in bandara. Lea melebarkan senyum terbaiknya juga.
Comments
Post a Comment