Part
21
“Mark…”
panggil Danny. Mark sedang asyik bermain dengan gitarnya. The Script sekarang
tengah menggarap album keempatnya.
“Ya
?”
“Aku
ingin ke New York siang ini. Aku ingin menyusul Nina.” Ujar Danny. Hatinya tak
tertahankan lagi untuk mengungkapkan isi hatinya.
“Hah
? Are you crazy ?”
“Gak.
Aku gak gila kok. Benar. Siang ini. Makanya itu aku ingin pamit padamu. Aku
sudah membeli tiketnya kemarin.” Jelasnya.
“Hmm..”
Mark hanya menghela nafas.
“Mark…”
ketika suara hening, Glen masuk ke dalam ruangan rekaman. Dia memanggil Mark
dan memecahkan suasana tenang saat itu.
Mark
mendongak dan bertanya. “Ada apa Glen ?”
“Hmm,
aku ingin izin keluar sebentar ya. Ada yang perlu aku tangani dengan Luke.
Mungkin aku akan kembali sore hari.” Ujar Glen. Mark mengangguk.
“Glen..
Tunggu. Aku ingin pamit padamu, aku ingin pergi ke New York siang ini. Maaf ya
aku baru pamit hari ini.” Ujar Danny pada Glen. Glen terdiam. Ketika dia hanya
berbicara dengan Mark lewat pintu, akhirnya dia masuk ke dalam ruangan itu dan
menutup pintunya.
“Hmm,
ada apa ke New York ? Tidak terlalu mendadak ?” tanya Glen heran.
“Dia
ingin bertemu Nina.” Ujar Mark datar yang masih sibuk mencari nada untuk lagu
yang sedang dibuatnya. Danny hanya melihat Mark heran. Seharusnya Danny lah
yang menjawab pertanyaan itu, bukan Mark. Apa itu berarti Mark mengizinkannya
untuk ke New York, mengizinkannya untuk pergi mengakui perasaannya pada Nina.
“Oh,
baiklah kalau begitu. Salamku untuk Nina ya.” Senyum Glen lalu dia bergegas
pergi menemui Luke.
“Jadi,
lebih baik kau bersiap – siap sekarang. Hati – hati ya di New York nanti.” Ujar
Mark setelah Glen pergi meninggalkan mereka berdua. Danny tersenyum senang, dia
pun memeluk Mark dan langsung pamit padanya.
***
Tujuh jam perjalanan telah dilalui Danny. Ia
pun langsung bergegas menuju apartemen Nina dulu. Dengan hanya membawa satu tas
ransel, dirinya mencari Nina untuk berjuang menyatakan cintanya.
“Permisi…
Nina… Nina… Apakah kau di dalam ?” Danny mencoba mengetuk pintu apartemen Nina
berkali kali, namun tak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah itu.
“Nina..
It’s me Danny.” Teriak Danny lagi memanggil. Apartemennya sepi. Danny mengamati
di sekelilingnya, berharap ada orang yang bisa diminta penjelasan tentang
apartemen ini.
“Ahh.
Itu dia, semoga dia bisa dimintai penjelasan.”
“Hmm,
permisi. Aku Danny, aku sedang mencari orang yang tinggal di apartemen itu, kau
tahu kemana orangnya sekarang ?” tanya Danny pada seorang wanita yang
kelihatannya seperti pemilik apartemen itu.
“Ohh,
Nina ? Dia sudah lama sekali pindah dan sampai sekarang apartemennya masih
kosong, belum ada orang lagi yang menyewanya, memangnya kau mau menyewanya ?”
tanya wanita itu kepada Danny.
“Ohh,
tidak tidak. Aku adalah teman Nina. Aku sedang mencari dirinya, tapi ternyata
dirinya sudah pindah.”
“Hmm,
boleh aku tahu dimana lagi aku harus mencari informasi tentang keberadaannya ?”
tanya Danny pada wanita yang kira – kira sudah berumur 60 tahun itu. Wanita itu
mengangguk dan masuk ke dalam apartemennya, kemudian setelah dua menit di
dalam, dirinya kembali keluar menemui Danny.
“Ini.
Hanya ini yang bisa kuberikan padamu. Nina bekerja disitu. Kau bisa datang
kesana untuk menemuinya mungkin.” Ujar Wanita itu. Danny tersenyum senang. Ia
pun berterima kasih sekali pada wanita itu dan pergi meninggalkannya menuju
tempat kerja Nina.
***
Setelah
menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya dia sampai di tempat kerja Nina.
Di kantor berita di pusat kota New York. Dia langsung masuk ke dalam dan
mencari tahu tentang keberadaan Nina.
“Ahh,
permisi, aku ingin bertanya. Aku sedang mencari karyawan yang bernama Nina
Alexandra Anderson. Apakah dia ada ?” tanya Danny pada Receptionis yang sedang
berjaga. Receptionis itu mengangguk dan langsung menekan tombol telepon ruangan
Nina. Setelah menunggu perbincangan receptionis itu, akhirnya Danny mendapat
penjelasan bahwa Nina tidak bekerja lagi di tempat itu.
Tanpa
disadari, percakapan Danny dengan receptionis itu di dengar oleh salah satu
rekan Nina, yaitu Lea. Lea sedang ada urusan juga di bagian receptionis dan tak
sengaja mendengar percakapan itu. Lea pun menyadari bahwa dirinya kenal Nina
dan mencoba member penjelasan pada Danny.
“Hmm,
kau sedang mencari Nina ?” tanya Lea tiba – tiba. Danny langsung menengok
dirinya.
“Iya,
kau kenal dia ?”
“Kenal
sekali. Dia dulu satu ruangan denganku, tapi dia sekarang sudah pindah. Tapi,
boleh aku tahu namamu siapa ? Kenapa kau mencari Nina juga ?” Lea pun penasaran
dibuatnya.
“Oh
sudah pindah. Tapi, Nina tak memberitahukanku. Oh iya, aku Danny, temannya Nina
dari Dublin. Aku ingin mencarinya karena aku ada urusan penting dengannya. Kami
sudah tak berhubungan beberapa bulan lalu. Sepertinya Nina ingin menghindar
dariku.” Ujar Danny dengan memasang tampang kecewa.
“Danny
? Oh. Jadi kau yang bernama Danny. Aku sudah sering mendengar cerita tentangmu
dari Nina. Lebih baik kita berbincang saja di kedai kopi di depan situ. Ada
banyak hal juga yang harus kujelaskan padamu. Kau ada waktu ?” tanya Lea sambil
menunjuk ke kedai kopi yang terlihat dari dalam gedung kantornya itu. Memang
Lea juga harus menjelaskan tentang kepindahan Nina. Dia juga harus bertanya
dengan Danny mengapa ia tak diberitahu Nina.
“Oh.
Boleh. Ide yang bagus. Mari.” Ujar Danny. Mereka berdua langsung bergegas
menuju kedai kopi untuk menjelaskan semua permasalahan antara Danny dan Nina.
****
Nina
sedang sibuk membereskan apartemennya karena dia harus pindah hari ini. Nina
sudah memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya dan memulai hidup yang baru.
Los Angeles, adalah tempat yang ia pilih untuk memulai kehidupan baru itu. Dia
sudah memutuskan hal ini, karena dia punya salah satu teman yang bilang bahwa di
Los Angeles kau bisa melakukan apa saja, disini pula hawanya selalu hangat dan
temannya sudah mencarikan apartemen yang tempatnya sangat menenangkan.
Ketika
sedang sibuk membereskan dan mencoba mengosongkan apartemennya itu, dia
menemukan bunga mawar yang berada di atas meja makannya. Rangkaian bunga mawar
itu adalah pemberian Eddie yang masih ia rawat. Dia harus meninggalkannya untuk
melupakan Eddie, lagi pula, bunga itu sudah terlihat layu karena sudah seminggu
setelah kejadian penculikannya tidak ia rawat. Ia masih trauma.
Semua
sudah beres, Nina bergegas keluar dari apartemennya itu. Barang – barangnya
sudah berangkat terlebih dahulu, dibawa dengan menggunakan jasa angkut barang.
Dia mengunci apartemen itu rapat, mengunci semua kenangan indah bersama Eddie
dan teman – temannya. Setelah itu dia memberikan kunci itu pada pemilik
apartemen dan mengucapkan banyak terima kasih pada pemilik apartemen itu.
***
Hari
berganti sore. Matahari tenggelam di pusaranya. Memang benar apa kata teman
Nina, bahwa apartemen Nina itu menenangkan. Dia bisa melihat sunset dari
jendelanya. Tidak banyak yang tinggal disitu. Masih jarang, hanya saja, suara
bising kendaraan diluar agak sedikit menganggu. Nina menghabiskan hari –
harinya dirumah saja. Dia sudah tinggal disana selama dua pekan. Hanya duduk,
masak, tidur, baca buku, mendengarkan music dan begitu seterusnya yang
dilakukannya. Satu waktu Nina merasa bosan dan berniat untuk pergi ke café malam
itu. Temannya bilang akan ada pertunjukkan sebuah band baru di café langganan
temannya itu.
Ia
pun mengiyakan penawaran temannya itu. Sekitar pukul 7 malam ia bersiap – siap
untuk pergi bersama teman wanitanya yang bernama Jaqueline atau biasa dipanggil
Jackie. Jackie adalah teman kenalannya sesama jurnalis. Kebetulan Jackie
tinggal di Los Angeles dan merasa akrab dengan Nina.
“Permisi..
Nina.. Sudah siap ?” Jackie mengetuk pintu Nina dengan sedikit berteriak
memanggilnya.
“Ia,
sebentar lagi. Masuk saja dulu.” Balas Nina.
“Hi.
Sedang apa sih ? Hey, you look gorgeous.” Ujar Jackie memuji.
“Terima
kasih. Ini aku sedang mengganti nomor ku yang lama dengan yang baru. Nomor
handphoneku yang lama sudah rusak.” Nina berbohong pada Nina. Kenyataannya Nina
ingin mengganti nomornya agar tidak ada orang yang mencarinya lagi. Ia benar –
benar ingin melupakan masa lalunya yang baru saja terjadi.
“Oww
begitu. Tapi, kalau ayah ibumu dan keluargamu ingin menelpon bagaimana ?”
“Nanti,
setelah pulang dari café aku akan menghubungi mereka. Sudahlah, ayo kita
berangkat.” Ujar Nina tersenyum pada Jackie. Jackie balas tersenyum, lalu
berangkatlah mereka berdua ke café yang mereka janjikan.
***
“Mana
band nya ? Kok belum tampil ?” ujar Nina tidak sabaran.
“Sabar.
Itu para personilnya sedang sound check.” Jackie menunjuk kearah para personil
yang sedang mempersiapkan kebutuhan band mereka.
“Oww..
Apa nama band tadi ? Aku lupa.”
“Monarch.
Monarch band.”
“Band
baru ya ? Aku baru dengar.”
“Iya,
kata temanku sih, musiknya elektro pop. Aku juga tidak tahu. Coba nanti kita
dengarkan saja.” Ujar Jackie sambil meneguk minuman yang ada di meja mereka
berdua.
***
Nina
sedang asyik dengan Iphone barunya, mendownload beberapa aplikasi yang
dibutuhkan, sampai akhirnya band yang ingin mereka saksikan tampil.
“Terima
kasih semua, ini dia lagu pertama kita The Fatalist” ujar sang vokalis setelah
dirinya memperkenalkan bandnya. Mereka pun memulai memainkan lagu itu.
“Gimana
enak tidak ?” tanya Jackie pada Nina yang masih asyik dengan Iphonenya.
“Lumayan
enak. Aku suka kok. Beda ya dengan music kebanyakan.” Nina masih asyik dengan
Iphonenya, sampai akhirnya dia penasaran dan melihat band itu secara langsung.
Nina kaget bukan kepalang ketika dia tahu bahwa dua orang personilnya sangat ia
kenal. Satu adalah Brent dan Brian. Dua orang lainnya ia tak kenal. Band itu
memang terdiri dari empat orang personil.
“Aku
seperti mengenal lelaki yang sedang memainkan bass itu.”
“Hmm..
Ia aku juga tahu. Itu bassist OneRepublic. Aku juga baru tahu bahwa dia yang
ada dalam band ini.”
“Nah,
benar kan kataku.”
Sepanjang
show, Nina hanya memperhatikan Band itu bermain. Sesekali meminum beer yang di
pesannya.
“Itu
adalah lagu terakhir kami. Terima kasih atas perhatian kalian.”
***
“Nina…
Nina kan.. Tunggu..” ujar Brent ketika dia tahu bahwa yang keluar dari toilet
wanita adalah Nina. Brent sangat kaget kala itu. Dia memanggil Nina lalu
langsung mengajaknnya mengobrol dan duduk bersama teman – teman dari band
Monarch.
“Nina.
Ini adalah temanku Brennan dan Joel, kalau Brian kau sudah mengenalnya kan.”
Ujar Brent sambil sedikit tertawa untuk lebih menghangatkan suasana. Nina sama
sekali tidak canggung bertemu Brent, bahwa sanya dia tahu Brent adalah teman
Eddie.
“Hi.
Aku Nina.” Ujar Nina langsung memperkenalkan diri. Mereka semua berjabat tangan
dengan Nina.
“Hi.
Cantik sekali dia Brent.” Brennan memuji Nina. Nina tersipu malu akan perkataan
Brennan.
“Hahaha.
Bisa saja kau Brennan. Bahaya dia sudah ada yang punya. Dia adalah pacar
Eddie.” Ujar Brent sambil tertawa. Nina menunduk lemas, dia langsung teringat
Eddie lagi, Brent belum tau ternyata kalau dirinya telah putus dengan Eddie.
“Brent,
bisa kita bicara sebentar ?” Nina bertanya. Keadaan berubah menjadi keheningan.
Brent meminta izin pada teman – temannya untuk bicara pada Nina.
***
“Aku
sudah tidak bersama Eddie lagi. Memangnya dia tidak memberitahumu ?” tanya Nina
sambil menahan air matanya.
“Hmm..”
Brent menghela nafas, “Tidak. Dia hanya berubah jadi pendiam saja.” Lanjut
Brent.
“Oh.
Tidak biasanya. Tipikal Eddie itu suka bercerita.” Akhirnya air mata itu
mengalir membasahi wajah Nina. Nina pun tahu akan hal itu dan langsung
mengelapnya dengan sapu tangan yang sama dengan yang diberikan ayahnya.
“Hmm,
hey sebentar. Kau dapat darimana sapu tangan itu ?” tanya Brent heran.
“Ini.
Aku beli. Aku beli yang sama dengan punyaku yang waktu itu jatuh. Susah sekali
mencarinya, memangnya kenapa ?” tanya Nina heran juga. Brent pun mengeluarkan
Sapu tangan yang ternyata sama dengan yang dimilikinya.
“Do
you know what I mean ?” tanya Brent dengan memasang tampang penuh tanda tanya.
“Maksudnya
?”
“Aku
menemukan ini jatuh di suatu jalan di New York. Aku menabrak seorang wanita,
dan….”
“Dan
wanita itu adalah aku ? Hey… Tabrakanmu itu kuat sekali tahu…” ujar Nina
memotong penjelasan Brent. Mereka tertawa bersamaan.
“Hahaha.
Syukurlah kau bisa tertawa lagi.” Ujar Brent selanjutnya. Nina menghentikan
tawanya, mengelap air matanya yang masih tersisa. Membuka senyumnya lagi
setelah seminggu penuh tidak ada yang bisa membuatnya tertawa bahkan tersenyum.
“Terima
kasih ya. Sapu tangannya simpan saja. Tapi, Brent, boleh ku ajukan satu
permintaan ?” tanya Nina serius.
“Ada
apa ? Baiklah akan kusimpan ini.”
“Tolong
jangan beritahukan Eddie kalau kau bertemu aku. Dan tolong beritahukan teman –
temanmu juga ya. Itu saja. Terima kasih.”
“Kenapa
harus disembunyikan Nina ? Kasihan Eddie. Oh iya, kau belum beritahukanku
tentang mengapa kau putus dengan Eddie.” Pinta Brent.
“Ahh,
sudah, alasannya biar aku saja yang simpan. Mengenai putusnya, aku belum siap
cerita sekarang.”
“Hmm,
Baiklah kalau begitu. Tapi harus ada imbalannya dong.” Ujar Brent bercanda.
“Hey,
apa maksudmu ? Kau jahat.” Ujar Nina sebal.
“Hey,
aku hanya… hanya ingin meminta nomor telepon temanmu dan namanya. Temanmu yang
sedang duduk dan berbincang dengan pemilik café itu.” Ujar Brent sambil
menunjuk Jackie. Kebetulan Jackie menengok Nina dan Brent. Mereka berdua
tersenyum.
“Ahh..
Baiklah. Namanya Jackie, dia adalah temanku. Ini nomor teleponnya cepat catat.”
Ujar Nina sambil tertawa. Nina tahu bahwa Brent sedang single, dan ternyata
Brent jatuh hati dengan Jackie. Nina bersyukur sekali bertemu Brent malam itu,
karenanya dia bisa tersenyum lagi.
Comments
Post a Comment