Skip to main content

Part 26 (OneScriptFF)



Part 26

“Aku pamit dulu ya, Mister Anderson.” Ujar Eddie sambil memeluk Ayah Nina.
“Iya – iya, terima kasih sudah berkunjung kemari. Aku meminta maaf sekali jika Nina tidak ada disini. Aku juga minta maaf terhadap sikap Nina ya.” Lanjut Ayah Nina.
“Iya, tidak apa mister.”
“Eddie ?” panggil ayah Nina.
“Iya ?”
“Bisa kita duduk sebentar.” Pinta Ayah Nina. Eddie pun menurut, mereka berdua duduk bersamaan di kursi yang ada di teras rumah Nina. Suasana hari itu sedang mendung tetapi masih ada sedikit matahari yang menyinari langit.
“Begini. Ini mungkin curhatan untuk orang yang sudah tua seperti ku. Hmm, aku sudah tua Eddie, Ibu Nina juga sudah tidak ada.” Mulai Ayah Nina untuk bercerita.
“Dan….” Tanya Eddie. Ayah Nina tersenyum.
“Aku ingin bilang padamu. Jika kau kembali pada Nina, aku mohon sekali, tolonglah jaga dia dengan baik. Aku bisa melihat bahwa kau…. Kau memang untuknya. Janganlah menyerah walaupun banyak rintangan untuk mendapatkannya. Dulu, waktu aku masih berjuang untuk mendapatkan Ibunya, Ibunya susah sekali untuk diajak untuk jujur. Sama seperti Nina. Mereka lebih banyak diam.”
“Kuharap kau nantinya bisa menjaga dia dengan baik. Tak tahu kenapa, aku sebelumnya tak pernah melakukan ini. Berbicara empat mata kepada lelaki yang pernah dekat dengan Nina, oh Iya, bahkan dengan Danny yang hanya menjadi temannya.”
“Jadi, Eddie, kejarlah dia sampai dapat. Aku akan membelikanmu Guinness disalah satu bar terkenal di Dublin.” Mr. Anderson tertawa cukup keras meledek Eddie, Eddie hanya tersenyum melihatnya. Dia senang menjadi seseorang yang bisa diharapkan ayah Nina untuk menjaga ayahnya.
Akhirnya Eddie pun pamit dengan Ayah Nina, mereka berpelukan lagi. Eddie tersenyum pada ayah Nina. Mereka pun akhirnya berpisah.
***
Setelah selesai summer tour nya bersama OneRepublic, dia kembali ke Dublin untuk mengambil libur selama seminggu. Pagi itu, sekitar pukul sepuluh pagi, Danny berjalan – jalan di tengah kota Dublin untuk mencari sarapan. Danny juga masuk ke dalam salah satu café di suatu pinggir jalan kota Dublin yang cukup ramai.
Ketika sedang ingin masuk ke dalam café itu, dia tidak sengaja masuk berbarengan dengan seorang wanita. Mereka berdua hanya tersenyum, tapi Danny seperti ingat dengan perempuan itu. Perempuan itu adalah seseorang yang ditemuinya dulu pada saat pencarian Nina. Perempuan itu adalah perempuan yang dia kenal sangat asyik ketika bertemu pertama kali. Perempuan yang dulu mengajaknya berbincang dan memberikan solusi ketika mencari Nina.
“Lea…” ujar Danny memanggilnya ketika perempuan itu mendahuluinya berjalan. Perempuan itu menengok kearah Danny, namun perempuan itu hanya mengerutkan dahinya karena bingung, siapa yang memanggilnya. Jelas saja Lea tidak mengenali Danny. Danny menggunakan kacamata hitam dan kupluk berwarna abu – abunya.
“Hmm, siapa ya ?” tanya Lea setelahnya. Danny pun langsung membuka kacamata hitamnya lalu tersenyum kearah Lea.
“Ahhh, I know now. Danny… Hi…” ujar Lea langsung menjabat tangan Danny. Danny lalu membalas.
“Hi.. Lea… Maaf membuatmu tidak ingat. Haha.”
“Hahaha. Sudahlah tidak apa. Untung kau cepat – cepat membuka kacamata hitammu.” Ujar Lea sambil tertawa juga.
“Hmm, kau sedang apa disini ?” tanya Danny.
“Aku sedang ada tugas di Irlandia. Kebetulan sedang ada di pusat kotanya. Ahh, aku lupa, kau kan berasal dari sini ya ?” tanya Lea kembali.
“Ya, begitulah. Kalau begitu, bagaimana kalau kita sarapan bersama sambil berbincang, apa kau buru – buru ?”
“Hmm, sebentar…” ujar Lea sambil melihat jamnya. “Tidak. Aku punya waktu dua jam jika kau ingin berbincang. Setelah itu aku harus kembali ke hotel untuk pergi mencari informasi yang aku butuhkan. Aku akan bertemu narasumberku di hotel itu.” Jelas Lea.
“Hmm, okay. Mari kita pesan.” Ujar Danny, lalu mereka pun memesan sarapan bersama.
***
“Jadi, kau bertengkar dengan dia, karena kesalahpahamanmu ?” tanya Lea meyakinkan cerita yang sedang Danny ceritakan.
“Iya, maka dari itu, dia pergi lagi entah kemana. Aku dengar dari mantan kekasihnya kalau dia kembali ke Dublin.”
“Itu bagus. Kau di Dublin. Datanglah kerumahnya.” Ujar Lea memberikan nasihat.
“Aku takut jika aku menyakitinya lagi, Lea”
“Tidak. Jika kau berbicara baik – baik padanya, aku yakin dia pasti mengerti. Ayolah Danny.” Ujar Lea sambil memegang tangannya. Danny pun membeku ketika tangannya dipegang oleh tangan Lea. Dia pun menggerakkan sedikit tangannya lalu Lea mengerti kode itu.  Lea langsung melepaskannya dan tersenyum. “Maaf, Danny.” Ujarnya.
“Nina itu jika diajak bicara pelan – pelan, pasti dia akan mengerti. Aku kan sudah berteman lama dengannya.” Ujar Lea lagi setelah mereka lama terdiam.
“Aku merasa bahwa rasa ini sudah selesai.” Ujar Danny sambil menerawang jauh melihat jalanan yang kala itu ramai diluar café tersebut.
“Rasa apa ?”
“Rasa sukaku padanya.” Ujarnya sambil membernarkan posisi duduknya.
“Ahh, bagaimana bisa ?”
“Pasti bisa. Nina saja bisa. Buktinya dia punya mantan kekasih. Tak menyangka juga mantan kekasihnya adalah seorang drummer dari OneRepublic.”
“Itu pasti bisa. Kami sebagai wartawan bisa mengenal siapa saja. Nina juga wanita yang energik. Maaf bukan aku mau membuatmu cemburu. Tapi, dia lebih banyak berkerja dan aku juga jarang melihatnya murung.” Jelas Lea.
“Rasa sukaku sudah hilang Lea.” Danny menegaskan perkataannya itu.
“Hmm, aku mengerti Danny. Apa karena ini rasa bersalahmu kepadanya karena masalah kemarin ? Atau….”
“Aku sudah suka dengan orang lain.” Tegasnya lagi memotong pembicaraan Lea. Lea tersentak dengan perkataan itu.
“Iya. Kata Mark jalan yang lebih baik untuk melupakan Nina adalah suka dengan orang lain membuka hati untuk orang lain. Bukan dengan mengejarnya atau menunggunya terus. Dan itu berhasil.” Senyum Danny pada Lea. Lea hanya menghela nafas.
“Memang. Ketika kita harus melupakan seseorang, kita harus menyukai orang lain, karena kita harus membuka hati untuk orang lain. Hahaha. Aku dulu pernah merasakannya. Ahh, sudahlah. Oh iya Danny, it’s time for me to go. Terima kasih ya untuk traktirannya.” Senyum Lea pada Danny ketika dia melihat jam tangannya. Lea beranjak dari tempat duduknya. Danny ikut bangun dari tempat duduknya.
“Lea. Aku siap jadi guidemu di Dublin. Boleh aku ikut kau untuk wawancara ?” ujar Danny memperlihatkan sikap yang tidak wajar. Dia gagap dalam bertanya kepada Lea.
“Hah ? Kau bercanda ya. Tidak usah Danny, aku sudah punya guide di hotelku.” Ujar Lea lagi.
“Lea…” panggil Danny lagi.
“Aku suka padamu…” ujar Danny lagi. Lea terdiam dengan pernyataan itu. Lea pun terdiam dan hanya memandang wajah Danny. Lea pun tak menggubris pernyataan Danny. Dia hanya pamit kepada Danny dan meninggalkan Danny di café itu.
“Lea… Lea… Aku minta maaf dengan perkataanku yang lancang itu. Aku tidak bermaksud.” Danny berteriak memanggil Lea. Tapi, Lea hanya terus berjalan meninggalkan café itu dan menuju hotelnya. Tapi, sekelebat, Danny melihat Lea tersenyum. Danny menebak – nebak apakah itu senyum suka atau senyum malu saja. Danny pun kembali duduk dan merasa terlalu bodoh untuk mengatakan perkataan itu. “Terlalu cepat, Danny. Kenapa kau begitu bodoh sih ?” Danny hanya menyesali nya sendiri.
***
 “Ahh….” Ujar Danny sambil duduk di sofa di dalam studio The Script. Mark, Glen dan Ben hanya kaget melihatnya seperti itu. Mereka hanya menengok sesekali. Mark hanya tersenyum melihatnnya.
“Aku mengatakannya, Mark.” Ujar Danny tiba – tiba. Mark tidak mengerti apa yang diceritakan Danny.
“Maksudmu ?” akhirnya Mark bertanya.
“Aku mengatakan kalau aku suka dengan Lea.” Jelas Danny.
“Lea ?”
“Iya. Lea. Wanita yang aku ceritakan. Wanita yang menjadi teman Nina ketika dia di New York. Wanita yang memberikanku penjelasan dan bantuanku ketika aku mencari Nina.” Jelas Danny lagi. Mark pun mengangguk mengerti dan membulatkan mulutnya.
“Aku terlalu bodoh.” Ujar Danny lagi. Dia pun membaringkan badannya di sofa itu dan menutup mukanya dengan bantal sofa yang berada di sofa itu juga.
Mark hanya menggeleng – gelengkan kepalanya. Glen hanya tertawa dengan apa yang dilakukan Danny. Ben tak melakukan apapun, hanya sibuk memainkan bassnya yang baru dibeli olehnya.
“Kau tidak bodoh, Danny. Kau gila.” Ujar Glen meledeknya. Glen tertawa keras puas dengan ledekannya itu. Danny membuka wajahnya dari bantal yang menutupnya.
“Ahh, sudahlah.”
“Hahaha. Maaf Danny. Benar kau tidak bodoh atau gila. Aku pernah melakukan itu.” Ujar Glen tiba – tiba.
“Hah ?” Danny langsung duduk ketika Danny bilang seperti itu.
“Iya. Dulu. Ibu Luke. Hahaha.”
“Dia merespon ?”
“Langsung. Ternyata dia memang suka padaku.” Ujar Glen mengakui.
“Ahh. Itu bagus. Lea sama sekali tidak merespon, Glen. Memang kita baru mengenal, maka dari itu aku terlalu bodoh untuk mengakuinya.” Ujar Danny memegang kepalanya. Ketika sedang berbincang dengan temannya. Iphonenya berbunyi, dia pun melihatnya dengan malas. Tapi, ketika dia tahu siapa yang menelponnya, matanya langsung terbelalak. Dia pun langsung mengangkatnya. Tapi, kemudian telepon itu mati. “Loh, kenapa Lea mematikannya ?” ujar Danny kecewa.

****
“Pasangan itu membuatku iri.” Ujar Nina sambil memperlihatkan tulisannya yang sudah selesai selama seminggu kepada Indah. Dia menunjuk pasangan yang kemarin memberikannya nasihat.
Kala itu Nina dan Indah serta rombongan tour sedang menunggu keberangkatan mereka menuju Lombok. Di minggu kedua perjalanan mereka tour, mereka bersiap dengan suasana yang berbeda, suasana yang kebanyakan terlihat dengan air lautnya.
“Lombok itu Indah sekali, Nina. Aku sarankan kau menambahkan curhatanmu di Lombok nanti ke dalam bukumu. Bukumu ini sudah menjadi buku yang sangat jujur.” Ujar Indah memberikan laptop Nina yang di pegangnya sehabis membaca karya Nina.
“Hmm, aku percaya, kemarin di hotel, aku sempat mencari Lombok itu dimana dan ada apa saja. Terutama mencari informasi tentang tempat yang akan kita datangi.” Senyum Nina sambil mematikan laptopnya.
“Aku senang, selama disini kau bisa tersenyum. Aku ingat pertama kali kau datang, mukamu itu lesu dan kusut.”
“Memang benar dulu Ibuku bilang, kita itu butuh waktu sendiri, kita itu butuh waktu untuk bersenang – senang lari dari hidup. Mencari solusi yang baik untuk memperbaiki hidup kita yang terganggu.” Lanjut Indah.
“Aku setuju dengan perkataan Ibumu. Cara yang benar inilah yang aku ambil. Walau aku tahu, teman – temanku di Dublin dan di Amerika mencariku. Oh iya, sebentar ya, aku mau menelpon Jackie temanku di LA.” Ujar Nina meminta izin sebentar kepada Indah.
“Hello…” sapa Nina kepada Jackie.
“Nina….” Ujar Jackie di seberang telepon. Jackie senang sekali ketika Nina menelponnya.
“Apa kabar kamu ?” sapa Jackie lagi. Nina tersenyum mendengar suara Jackie yang sepertinya senang sekali.
“Aku baik sekali. Kalau kau bagaimana ? Aku sedang ingin berangkat ke Lombok.” Ujar Nina memberitahu.
“Aku baik sekali. Baik sekali ketika kau menelponku seperti ini. Oww, jangan lupa oleh – olehmu ya. Toko rotimu makin ramai. Max kemarin merekrut orang lagi untuk bekerja di tokomu. Dia bilang sudah memberitahumu lewat email ?”
“Iya. Aku sudah mengabarinya lagi supaya menerima saja orang itu bekerja di toko rotiku. Aku juga senang mendengarnya.” Ujar Nina senang.
“Nina. Ayo, kita harus masuk ruang check in, sebentar lagi kita berangkat.” Ujar Indah dengan suara berteriak memanggil Nina. Indah juga harus mengurusi peserta tour yang lain.
“Ohh, iya, baiklah Indah, aku datang. Jackie, sudah dulu ya, aku harus berangkat sekarang. Bye.. Muaccchhh..” ujar Nina lalu menutup teleponnya dan menyegerakan diri untuk ikut Indah dan rombongan lain yang siap berangkat ke Lombok.
***
Nina, Indah, dan rombongan tour lain sudah sampai di Lombok, mereka bersiap untuk pergi ke pulau Gili Trawangan. Disana banyak pantai yang bagus dan udara yang bersih. Ada beberapa pulau lagi nanti selain Gili Trawangan. Inilah saatnya Nina berkunjung ke pantai. Setelah dia merasakan suasana perkotaan di Jakarta dan pegunungan di Malang, saatnya dia bermain dengan ikan dan birunya laut di pantai Gili Trawangan.
Setelah menempuh jarak waktu perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, dia sampai di pulau itu. Pertama kali menginjakkan kaki disana, dia sangat senang, menghirup udara yang berbeda dari biasanya.
“Kau benar, indah sekali seperti namamu. Hahaha.” Ujar Nina sambil tertawa. Nina sudah tahu arti nama Indah, maka dari itu dia menyandingkannya.
“Terima kasih. Ayo kita menuju ke tempat penginapan kita. Nanti sore kita akan menyelam.” Senyum Indah. Nina bilang “Okay” kepada Indah dan tersenyum padanya.
***
“Aku ingin disini selamanya.” Ujar Nina ketika menikmati Sunset sore itu. Duduk berdua berdampingan dengan Indah. Sore itu memang indah sekali. Sunset di pantai jarang sekali di rasakan oleh Nina. Dia selalu merasakan sunset di perkotaaan, lewat jendela kantor, tapi tak pernah menikmatinya.
“Tidak bisa, kau punya kehidupanmu sendiri.” Ujar Indah menasehati. Nina pun berbaring di pasir putih di pantai itu. Melihat langit jingga bercampur dengan awan putih dan langit biru. Perpaduan yang sulit untuk di jelaskan.
“Benar.” Singkat Nina.
“Aku akan menikah bulan depan.” Ujar Indah. Nina pun langsung kembali duduk karena kaget mendengar berita itu.
“Menikah ? Bulan depan ? Sedangkan kau masih sibuk mengurusi para peserta tour. Kau tidak mempersiapkan diri ?” tanya Nina dengan pertanyaan beruntun.
“Iya. Aku masih mau bekerja dulu. Persiapannya udah cukup mateng kok, tinggal persiapan mental aja.” Senyum Indah pada Nina.
“Oww, begitu ya. Hmm, aku iri sama kamu. Aku saja masih dalam pencarian.”
“Jangan terlalu lama mencari Nina. Kalau ada orang yang sayang sama kamu, kamu harus hargai dia dan coba menerima dia.” Ujar Indah. Nina hanya tersenyum mendengarnya dan kembali berbaring disana.
“Besok kita lihat sunrise ya. Disini lengkap Nina. Jangan lupa besok juga kita jalan – jalan untuk membeli oleh – oleh.” Ujar Indah lagi memberitahu. Nina mengangguk mengerti kemudian melanjutkan menikmati sore yang indah itu.
***
“Nina, ayo bangun…” ujar Indah sambil sedikit berteriak untuk membangunkan temannya itu.
“Sunrise. Mau lihat sunrise, tidak ?” tanya Indah lagi. Nina masih saja tertidur. Dia terlalu lelah.
“Hmm, apa sih ?”
“Yasudah. Aku tunggu di pantai saja ya. Sampai jumpa.” Ujar Indah lalu menuju pintu, membukanya dan menutup pintu meninggalkan Nina.
Nina masih saja tertidur di tempat tidurnya. Jam disana menunjukkan pukul setengah lima pagi. Ia pun melihat jam dengan samar – samar. “Sepagi ini kah.” Ujarnya sambil terpejam sedikit.
“Huahhh..” Nina menguap lalu berganti pakaian dengan pakaian yang cukup rapi. Untungnya saja kemarin Indah sempat mengajak ke pantai yang katanya akan menampilkan sunrise yang indah, karena itu, Nina bisa pergi sendiri kesana. Semalam Nina tidur jam satu malam, menyelesaikan tulisannya untuk bab terakhir, yang bercerita perpisahan di Lombok.
Omong – omong soal perpisahan, ini adalah dua hari terakhir dirinya berada di Lombok bersama Indah. Bersama rombongan tour yang lain yang sangat baik kepada dirinya. Dia tidak akan pernah lupa juga dengan John dan Mary pasangan yang memberinya nasihat.
“Maaf ya aku telat.” Ujar Nina menggoda Indah.
“Ahh, akhirnya kau datang. Kupikir kau tidak mau melihat sunrise di pantai ini.” Senyum Indah. “Sebentar lagi, itu sudah terlihat warna orange dan biru yang bercampur jadi satu.”
“Indah.” Ujar Nina. Nina pun duduk untuk menikmatinya.
“Terima kasih ya sudah mau menemanikan dua minggu ini. Sangat berkesan. Aku akan merindukan ini semua.” Ujar Nina lagi.
“Iya. Sama – sama. Jangan lupa padaku ya.” Ujar Indah sambil menengok Nina. Nina tersenyum dan merangkul temannya itu.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...