Skip to main content

Part 27 (OneScriptFF)



Part 27

“Hi Bro..” ujar Brent ketika Eddie baru masuk ke studio OneRepublic di Denver. Brent tersenyum senang ketika temannya itu datang dari Irlandia.
“Oleh – olehmu ?” tanya Brent lagi. Dia sedang meledek Eddie.
“Oleh – oleh apa ? Aku tidak membawa apapun.” Akhirnya Eddie berbicara.
“Maksudku, oleh – oleh ceritamu dengan Nina. Kau bertemu dengannya ?” tanya Brent lagi.
Eddie pun duduk di kursi yang berada di belakang Drumnya. Ia sesekali menabuh drumnya tak berirama. Brent yang bingung melihatnya, ikut memainkan cello nya yang sedang ia pegang. Lalu, Eddie pun memberhentikan permainannya.
“Aku tidak bertemu dengannya. Dia sama sekali tidak ada di Dublin. Ia sedang liburan ke Indonesia.” Jelas Eddie. Brent menghentikan permainannya juga. Ia kaget mendengar bahwa Nina sedang pergi ke Indonesia.
“Indonesia kan jauh sekali. Aku ingat kita harus berangkat 24 jam kesana. Maksud dia apa pergi ke sana. Mau lari darimu ?”
“Dia tak mungkin seperti itu. Kupikir dia hanya ingin menyendiri saja. Dia pasti merasa sangat bersalah.”
“Apa hanya itu cerita darimu ketika di Dublin ? Kalau kau tidak bertemu Nina, kenapa kau menginap cukup lama ?”
“Aku bertemu ayahnya. Ayahnya sangat baik dan membuatku ingin berbincang dengannya. Jadi aku sengaja mengambil waktu dua hari.” Jawab Eddie. Eddie kembali memainkan drumnya, kali ini dia memainkan lagu What You Wanted. Brent mengangguk tanda mengerti, ia pun ikut mengiringi Eddie.
***
“Siapa ? Lea ?” ujar Mark yang mendengar sedikit ocehan kecewa Danny ketika menutup teleponnya tadi.
“Ia. Tapi, tiba – tiba dia mematikannya.” Ujar Danny kecewa. Ia pun mencoba untuk menghubungi Lea kembali. Berkali – kali dia menghubungi Lea tapi tidak ada jawaban.
“Sudahlah, mungkin dia masih takut dan ragu untuk menghubungimu karena kejadian tadi. Lagi pula, nanti malam masih ada waktu kan.” Sambung Glen.
“Ia. Tapi hatiku sama sekali tidak tenang. Dia juga pasti bekerja tidak tenang gara – gara aku yang memulainya.” Danny menarik nafas dan bersandar di sofanya.
“Sudahlah. Jangan terlalu merasa bersalah. Kau tidak sepenuhnya salah, hanya salah waktu saja. Bukan waktu yang tepat. Wajar saja kau ingin mengakui rasamu itu.” Mark coba menenangkannya.
“Hmm, betul itu. Tapi, Danny, ketika kau suka pada Nina, kenapa tak bisa secepat itu mengatakan perasaanmu ?” Glen menjebak Danny dengan pertanyaan. Danny terdiam dan sejenak berpikir.
“Karena aku tidak mau melakukan hal itu lagi. Aku takut akan terjadi hal yang sama.”
“Maksudnya ?” tanya Glen bingung.
“Aku tahu aku salah sekali pada Nina. Memperlakukannya seperti itu, padahal dia sangat mencintaiku. Tapi, karena itu aku sadar bahwa jangan sekali kali kau menyia – nyiakan perasaan. Aku pun juga salah dalam hal itu.” Jelas Danny bijak. Glen mengangguk.
“Okay. That’s nice. Kau sudah mengerti.” Lanjut Glen.
***
“Maksudnya Danny apa ya ? Kok bisa – bisanya dia ngomong gitu sama aku. Aku mau telpon tapi gak nyambung – nyambung, apa iya dia matiin telponnya.” Ujar Lea yang merasa was – was setelah dia wawancara narasumbernya. Setelah kejadian tadi pagi, dia selalu memikirkan perkataan Danny. Bisa – bisanya Danny punya perasaan padanya. Padahal dirinya dan Danny itu baru kenal.
Lea yang sangat memikirkan hal itu, karena Lea ingat bahwa Danny adalah tambatan hati Nina. Nina begitu suka pada Danny sampai Nina masih menyimpan foto Danny pada saat kuliah dulu sampai sekarang. Nina yang selalu cerita padanya tentang masalah hatinya, tapi sekarang, perkenalan yang tak terduga yang membuat Danny jatuh cinta pada Lea.
Lea belum bisa menjawab, karena Lea sama sekali tidak punya perasaan terhadap Danny. Maka dari itu, dia ingin menelpon Danny lagi untuk meminta pertemuan dengannya untuk membahas hal ini.
“Kalau belum diangkat, lebih baik aku tanya Nina dulu.” Ujar Lea pada diri sendiri. Dia lebih bingung lagi untuk menjelaskan kepada Nina.
“Tapi… Nina nanti marah atau tidak ya ?” Lea tambah bingung.
“Yasudah, lebih baik aku jujur padanya.” Akhirnya Lea memutuskan untuk memberitahukan hal ini pada Nina.
“Haloo. Nina ini aku Lea. Kau masih ingat padaku tidak ?” ujar Lea ketika sambungan teleponnya tersambung.
“Lea ? My friend. Aku masih ingat pasti, kamu adalah teman kerjaku paling lama.” Nina pun senang ketika di telepon oleh Lea.
“Ada apa ?” tanya Nina. “Kamu gak biasanya nelpon aku.” Lea terdiam dengan pertanyaan Nina. Lea bingung harus jawab apa.
“Aku ada sesuatu yang mau aku kasih tahu. Ini menyangkut Danny.” Ujar Lea yang akhirnya jujur.
“Danny ?” Tanya Nina. Nina menghela nafas. Suara itu makin membuat Lea tertekan. “Kenapa dia ?” Nina bertanya.
“Sulit untuk memberitahuku. Ini… Ini menyangkut diriku juga.” Ujar Lea.
“Hah ? Kau dengan Danny ? Kenapa ? Ayolah Lea. Tidak usah malu. Jangan anggap aku seperti orang lain. Cerita saja. Biaya telepon mu juga mahal nanti. Karena aku sedang di luar Amerika.”
“Hah ? Oke. Oke. Begini. Danny bilang padaku… Kalau… Kalau… Kalau dia suka padaku, Nina. Aku tak percaya akan hal itu padahal kami baru kenal.”
“Hah ? Kau kapan ketemu dia ? Kau tidak pernah cerita padaku.”
“Iya maaf, Nina. Waktu itu dia meminta padaku untuk memberitahu keberadaanku, sampai akhirnya kami berbincang berdua cukup lama. Dia meminta nomorku dan ternyata aku bertemu lagi dengannya tadi pagi. Tak terkira, dia mengatakan kalau dia suka padaku.” Jelas Lea.
Nina terdiam tak menjawab lama. Dirinya sedang berpikir, ada – ada saja yang terjadi pada dia dan temannya Lea.
“Nina ? Nina ? Kau diam ? Kenapa ? Kau marah padaku ya ?”
“Tidak, aku tidak marah padamu. Aku malah kaget mendengar hal itu, makanya aku diam. Hmm, Danny tidak biasanya seperti itu. Aku kaget dia melakukan hal itu padamu.” Ujar Nina menjawab pertanyaan Nina tadi.
“Kau kaget, apalagi aku. Dan sekarang aku bingung harus bagaimana.” Tanya Lea.
“Sudahlah, diamkan saja dulu. Kalau Danny serius pasti dia akan menghubungimu lagi. Aku yakin itu. Danny, pasti serius dalam suatu hal.” Senyum Nina membalas pertanyaan Lea. Walau ada sedikit perasaan mengganjal, dia harus menenangkan temannya itu. Jelas dia harus mengalah, karena Nina saat ini sudah tidak ada perasaaan lagi terhadap Danny. Dia sudah terlalu lama menyimpan perasaan itu.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya atas saranmu. Tapi apakah ia aku harus menunggu ?”
Nina terdiam lagi. “Tidak harus. Jika sampai waktu lama tidak ada respon darinya lagi, sudahlah, tidak usah ditanggapi serius. Lagian coba aku tanya, memang kau suka padanya ?”
Lea sekarang yang terdiam. “Hmm, aku suka padanya karena dia baik saja, tidak ada perasaan lebih.” Lea menjawab jujur. Memang tidak ada perasaan lebih, karena Lea baru mengenal Danny, Danny baik padanya jadi Lea suka padanya, itu saja.
“Yasudah. Tidak usah dipikirkan. Kalaupun Danny benar – benar suka padamu, dia akan menemuimu lagi dan bilang dia benar suka padamu. Danny bukan tipe orang yang sembarangan memilih perempuan, pada saat Alex saja dia tidak peka. Sudahlah, aku doakan supaya ada jalan yang terbaik untukmu ya. Bye Lea.” Nina menutup teleponnya. Lea samar – samar mendapat jawaban dari Nina. Berarti dia harus menunggu dulu, menunggu respon dari Danny setelah itu baru dia akan mendapat jawaban yang sebenarnya dan bisa menjawab rasa suka dari Danny tersebut.

****
“Iya, aku pulang hari ini, mungkin besok malam aku baru sampai.” Ujar Nina ketika dia ingin pulang kembali ke Los Angeles. Disambungan teleponnya dia sedang berbincang dengan Jackie.
“Perlu dijemput tidak ?” tanya Jackie.
“Tidak perlu, nanti aku naik taksi saja dari LAX.”
“Sudah dulu ya. Aku mau siap – siap. Tidak enak ada Indah juga. Sampai bertemu besok ya.” Nina menutup teleponnya dan kembali berbincang dengan Indah.
“Jackie ?” tanya Indah. Nina mengangguk.
“Oww. Jadi apa rencanamu selanjutnya ketika sampai disana ?”
“Harus jujur. Harus menyelesaikan semua urusan dan kembali melanjutkan hidupku sebagai tukang roti.” Nina tersenyum menjawab pertanyaan Indah.
“Bagus. Itu baru Nina yang kukenal. Jangan lupa ya, kirimkan aku buku yang kau tulis.”
“Tenang saja. Hmm, Indah terima kasih ya sudah menemaniku sepanjang liburan ini. Aku sangat – sangat mendapat banyak pelajaran di sini. Negara ini Indah sekali. Sekali kali aku akan berkunjung kesini lagi, ya walaupun cukup jauh, tapi terbayar dengan pemandangannya.”
“Iya, sama – sama Nina. Kau juga ya. Ajak aku nanti ketika aku liburan ke Los Angeles. Aku ingin kenal siapa sih Eddie dan Danny. Hahaha…” Indah tertawa renyah.
“Hmm.. Kau kan sudah sering mendengar lagu dan menonton video mereka di tv, tidak usah lah aku memperkenalkannya. Oh iya, menurutmu saranku terhadap Lea beberapa hari kemarin salah tidak ? Aku takut jika aku salah bicara.” Muka Nina berubah menjadi serius.
“Tidak – tidak.. Kau benar, kok menurutku. Lagian Danny ada – ada saja ya. Bisa dia seperti itu. Tapi, memang tidak usah khawatir Nina, mereka kan sudah dewasa. Mereka pasti tahu jawaban yang sebenarnya.” Indah tersenyum pada Nina yang membuat Nina menjadi tenang.
Sedang asyiknya mereka berbincang, panggilan pesawat Nina yang akan segera berangkat pun berbunyi. Nina harus segera berangkat sekarang yang akan transit nanti di Korea kemudian berlanjut ke Amerika. Perjalanan panjang akan ditempuh Nina. Kejujuran yang dia siap keluarkan di Amerika nanti sudah siap ia susun sedemikian rupa. Nina pamit kepada Indah, temannya yang menemaninya di kala terjatuh dan membuatnya senang. Kenangan akan beragam nasihat yang ia dapatkan di Negara itu ia akan pegang teguh. Juga karangan bukunya yang siap ia berikan ke penerbit dan ia berharap sekali buku itu bisa mendapat izin terbit. Nina pun duduk di dalam pesawat berdoa yang terbaik dan siap bertemu dengan kehidupan yang sebenarnya.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...