Part
13
“Aku
sudah sampai kok. Kamu dimana ?” Alex berbicara sedikit berteriak di lobby
bandara di kota San Francisco. Dia menengok ke kanan dan ke kiri untuk
menemukan orang yang sedang di tunggunya.
“Aku
ada di belakangmu.” Balas orang yang sedang di teleponnya. Dia menengok kea rah
belakang dan mengumbar senyum bahagia. Senyum yang sangat ia rindukan akan
kehadiran orang itu. Orang yang dia beri senyum juga memberikan senyum
terbaiknya. Ya, hanya lelaki itu yang dia kenal di America. Alex nekat pindah
ke Amerika karena ingin keluar dari kekangan orang tuanya dan mengembara
mencari hal yang baru.
“Long..
Long… Long… time no see..” Alex lari memeluk orang itu. Memeluknya dengan
sangat erat. Lelaki itu juga membalas dengan pelukan yang erat dan hangat.
Udara musim semi kala itu sangat pas sekali dengan pertemuan bahagia mereka.
“Apa
kabar kau Brent ?” sapaan manis itu dilontarkan Alex kepada lelaki yang
menerimanya kembali setelah mereka putus selama lima tahun lebih. Selamat itu,
Brent dan Alex bisa saja tidak berhubungan sama sekali, sampai suatu saat Alex
menghubunginya dalam suara tangis yang sangat keras untuk meminta bantuan
Brent.
“Aku…
Aku sangat baik, melihat kau seperti ini, aku jadi merasa lebih baik lagi.”
Brent membalas dengan gombalan, seperti tidak ada kesalahan yang dilakukan Alex
ketika mereka putus dulu. Brent sepertinya sudah melupakan kesalahan Alex yang
dulu memutuskannya dengan alasan tidak bisa berhubungan jarak jauh. Tapi, kali
ini mungkin Alex akan bisa menjalani hubungan itu karena ia memutuskan untuk
tinggal lebih lama di Amerika.
“Tapi
kenapa harus ke Amerika ?” pertanyaan itu menekan Alex. Dia diam sebentar lalu
menjawab. “Aku tidak punya orang yang kukenal selain di Negara ini. Tapi, aku
juga sangat berterima kasih kau mau menerimaku disini.” Ujarnya lega karena
bisa menjawab pertanyaan Brent.
“Yasudah,
ayo kita menuju Flat yang sudah kucarikan untukmu.”
“Hah
? Kau benar – benar mencarikan flat untukku ?” ujar Alex kaget mendengar
pernyataan Brent. Brent hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu dia membantu Alex
membawa barang – barang miliknya. Tanpa disadari Brent berjalan sambil
merangkul Alex, Alex hanya tersenyum dan melihat wajah Brent yang mengarah ke
depan.
***
“Jadi
kita harus pindah minggu depan. Aku akan ada project album baru dan harus
menyelesaikannya disana.”
“Tapi
haruskah kita pindah ke Denver ? Bagaimana dengan Flatku ?”
“Itu
gampang, nanti aku akan bantu carikan. Aku hanya tidak tega meninggalkanmu
disini sendiri. Aku ingin kau dekat aku, ya, walaupun tidak satu tempat
tinggal, tapi aku bisa memantaumu terus.” Ujar Brent sambil menyuap suapan
terakhir sandwich yang dipesannya. Lalu ia meminum soda yang dipesannya juga.
Alex hanya mengangguk mendengar hal itu. Dalam hatinya dia sebenarnya malas
untuk pindah lagi, tapi apa yang dikatakan Brent memang benar karena dia orang
baru yang tinggal di Amerika.
***
“Jadi
ini adalah Alexandra dan ini adalah Mark. Alex, Mark adalah temanku yang
menawariku pekerjaan untukmu seperti yang kuceritakan kemarin.” Senyum Brent
pada Alex. Alex mengangguk dan menggapai tangan Mark untuk bersalaman.
“Salam
kenal. Senang bertemu dengan mu.” Senyum Alex pada Mark. Mark tersenyum juga
pada Alex. Brent bercerita kalau Mark bisa menawarinya pekerjaan di salah satu
kantor berita terkenal di Denver. Mark adalah salah satu karyawan yang sudah
punya pangkat di kantor berita itu, jadi dia bisa bantu memasukkan Alex untuk
bekerja disana.
“Kau
bisa mengirimkan CV mu besok atau lusa. Lewat Email atau memberikan langsung
hard copy nya kepadaku lusanya. Kau tinggal menghubungiku disini.” Ujar Mark
sambil memberikan kartu namanya kepada Alex. Alex meraih kartu nama itu dan
membaca sebentar. Tertulis ‘Mark De Niro Smith’ salah satu kepala wartawan di
kantor berita tersebut. Alex sedikit melihat wajah Mark dan menerka – nerka.
Mark hanya tersenyum ketika Alex memandanginya. Alex salah tingkah dan
tersenyum pada Mark lagi.
“Baiklah.
Malam ini akan aku kerjakan CV nya. Kalau tidak besok atau lusa seperti yang
kau bilang tadi, aku akan mengirimkannya. Terima kasih sekali ya atas
bantuanmu.”
“Sama
– sama. Kupikir kau harus berterima kasih pada Brent. Dia baik sekali
mencarikan pekerjaan untukmu.” Ujar Mark. Alex menengok pada Brent, dia hanya
tersenyum pada Alex.
“Terima
kasih ya. Aku berhutang banyak padamu.” Ujarnya pada Brent. Brent hanya
mengangguk dan tersenyum.
***
“Bagaimana
pekerjaannya ?” ujar Brent. Sudah satu bulan Alex bekerja di kantor berita
tempat Mark pekerja. Brent menanyakan hal itu karena takut bahwa Alex tertekan
disana.
“Lumayan.
Mungkin baru satu bulan aku belum mendapatkan rasa nyamanku ya. Ahh, tapi
tenang saja aku akan mencobanya.” Senyum Alex pada Brent.
“Hmm,
kalau kau tidak betah disana, aku akan mencarikan lagi di tempat yang lain.”
Ujar Brent memberikan bantuan.
“Tidak..
Tidak usah, itu akan hanya merepotkanmu. Tidak, aku tidak apa – apa.” Senyum
Alex menenangkan Brent.
“Ohh,
baiklah kalau begitu. Bisa kau ganti baju sekarang ? Aku ingin mengajakmu ke
suatu tempat.”
“Kemana
?”
“Sudah
cepat ganti baju sana. Dandan yang cantik ya.” Ujar Brent. Alex mengangguk lalu
menuju kamarnya untuk mengganti pakaian.
***
“Alex…”
“Iya…”
ujar nya setelah mereka lama berbincang. Suasana menjadi hening, sepertinya
Brent ingin mengucapkan sesuatu pada Alex.
“Kita
kan sudah bersama lagi, bagaimana kalau kita… Kita….” Kalimat Brent
menggantung, dia malu untuk mengakui sesuatu padanya.
“Kita
apa ?? Ayolah jangan buat aku penasaran.”
“Kita…
Bisakah kita mencoba untuk menjalani hubungan bersama lagi ?” Suasana tiba –
tiba hening, Alex tak bisa menjawab secara cepat kala itu.
“Tapi…”
“Kumohon…”
ujar Brent sambil memegang erat tangan Alex. Ternyata Brent masih menyimpan
perasaan pada Alex setelah sekian lama.
“Brent…
Baiklah… Kita akan coba untuk membangun semua dari awal lagi.” Alex tersenyum
menjawab permintaan Brent. Brent
tersenyum lebar, senang mendengar jawaban Alex yang sesuai harapannya.
“Hi
Eddie ada apa menelponku ?” Nina mengangkat teleponnya dengan segera. Dia
senang sekali ketika Eddie menelponnya.
“Iya,
aha, apa kabar kau disana ?” senyum Eddie ketika teleponnya sudah diangkat oleh
Nina.
“Aku..
Aku sangat baik, bagaimana dengan dirimu ?”
“Aku
juga sangat baik. Bagaimana pekerjaanmu ? Jangan terlalu lelah, nanti kau
sakit.”
Nina
tersenyum mendengar nasihat Eddie. “Lancar, semua lancar. Iya kau tenang saja,
ada lampu peringatan setiap 4 jam sekali untuk diriku karena memerlukan
istirahat sejenak. Haha..” Nina tertawa renyah.
“Hahaha.
Bisa saja kau ini. Apakah kau masih di New York ?”
“Tidak
Eddie, aku sudah pindah. Aku sudah pindah dari kantorku di New York dua bulan
yang lalu. Aku pindah ke Washington D.C. Memangnya kenapa ?” tanya Nina. Tak
tahu kenapa dia mau memberitahukan keberadaannya pada Eddie, tidak ketika ia
bersama Danny.
“Ohh,
tapi tidak terlalu jauh ya.” Eddie berbicara sendiri, bukan kea rah Nina.
“Memangnya
kenapa Eddie ???” tanya Nina penasaran.
“Hahaha.
Tidak – tidak, sebetulnya aku ingin bertemu denganmu, kebetulan sekali aku akan
manggung tak jauh dari tempat itu, sebuah acara festival.” Ujar Eddie
memberitahu.
“Oh
begitu. Wah, hebat sekali. Pasti acara itu seru. Kau ingin bertemu denganku ?
Memang ada perlu apa ?”
“Kau
ini banyak sekali bertanya ya. Hahaha. Baiklah, bagaimana kalau kita bertemu di
salah satu restoran dekat kantormu ? Kau yang tahu nama restoran itu, jadi kau
yang memutuskan tempatnya.” Jelas Eddie.
“Oh
baiklah kalau begitu. Aku punya tempat yang bagus. Disana adalah restoran
Indonesia yang sangat enak, sekalian kau bisa mencicipi masakan Asia yang
khas.” Ujar Nina bersemangat, Nina senang sekali karena dia tahu bahwa dia akan
bertemu Eddie lagi. Sepertinya dia menyimpan sedikit perasaan suka pada Eddie.
“Baiklah,
aku setuju, sampai ketemu malam besok ya, hmm, tapi betul kan kau tidak ada
jadwal untuk malam hari besok ?” tanya Eddie lagi untuk meyakinkan Nina.
“Sebentar
ya aku lihat dulu.” Nina membuka note book nya, memilah – milah apakah ada
jadwal liputan untuk malam besok.
“Ahh,
kebetulan sekali jadwalku kosong dari jam 8 malam. Walaupun telat, tapi kita
masih bisa makan malam disana.” Senyum Nina senang. “Yes” ujarnya dalam hati.
“Sampai
ketemu besok ya kalau begitu. Bye Nina…” Eddie tersenyum di seberang telepon.
Dia senang karena akan bertemu tambatan hatinya lagi. “Bye, see you tomorrow”
balas Nina. Eddie menutup telepon itu. Dia siap untuk hari esok, siap untuk
mengatakan perasaannya pada Nina.
***
“Aduh,
kenapa harus ada traffic jam disaat seperti ini ?” Nina gelisah dengan
jadwalnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 15 malam, itu artinya dia telat 15
menit dengan janjinya bersama Eddie.
“Aduh,
angkatlah Eddie, aku tidak enak denganmu.” Ujarnya lagi karena berkali – kali
menelpon Eddie tapi tidak menerima jawaban juga. Akhirnya dia mengirimkan mail
box kepada Eddie. “Semoga dia membukanya segera.”
Setelah
10 menit berkutit dengan kemacetan, akhirnya Nina sampai di tempat ia
berjanjian, padahal dekat dengan kantornya, tapi ternyata dia ada panggilan di
hotel dekat gedung putih. Alhasil dia harus bolak balik dari tempat kerjanya,
ke hotel itu, dan kembali ke daerah tempat kerjanya lagi.
“Surprise…
Maaf ya aku sangat telat.” Ujar Nina tersenyum kecut. Eddie sudah lama mungkin
menunggunya. Tidak ada tanggapan darinya. Eddie hanya diam melihat
kedatangannya.
“Duduklah,
kau mau pesan apa ?” ujar Eddie dingin. Tebakan Nina benar bahwa Eddie marah
padanya.
“Hmm,
nanti saja, aku tidak terlalu lapar. Aku minta maaf sekali ya Eddie. Aku tidak
tahu kenapa jalanan hari ini tidak bisa ditebak, macet dimana – mana. Memang
tadi aku dengar kalau ada konferensi penting di gedung putih, dan jalanan dekat
kantorku kena akses penutupan jalan.” Nina coba menjelaskan duduk
permasalahannya pada Eddie. Eddie tetap tidak berkutit. Eddie lalu memanggil
pelayan untuk memesan makanan.
“Tidak
usah minta maaf. Pesan saja dulu apa yang ingin kau pesan.” Ujar Eddie masih
dengan gelagat dingin. Nina menuruti apa kata Eddie ia pun memesan makanan apa
yang ingin dia pesan. Caranya untuk memperkenalkan makanan yang enak di
restoran itu pun gagal karena kesalahannya sendiri. Hening sangat lama antara
mereka berdua. Nina sangat merasa tidak enak kala itu.
“Surprise…”
Eddie mengeluarkan sesuatu dari bawah meja dan tersenyum senang melihat bahwa
cara untuk mengerjai Nina sangat berhasil.
“Hah
?” Nina hanya bengong apa yang dilakukan Eddie.
“Hahaha.
Kau lucu sekali. Kau tidak perlu meminta maaf. Aku juga baru datang sepuluh
menit sebelum kau datang, aku juga telat kok.” Ujar Eddie senang, karena ia
berhasil kala itu. Ia mengeluarkan suatu kotak berwarna merah muda dan
diberikannya kotak itu pada Nina. Nina menerimanya dengan senang hati.
“Kau
ini jahat sekali. Aku sebal dengan kau..”
“Hahaha,
tapi aku senang karena aku berhasil. Aku minta maaf ya, sekarang buka hadiah
itu.”
“Hmm,
baiklah, memangnya ini apa ?”
“Buka
saja..” ujar Eddie yang masih tersenyum atas caranya mengerjai Nina. Dia heran
karena Nina tidak marah sama sekali.
Nina
membuka hadiah itu dan tersenyum ketika melihat isinya. Isinya adalah gelang
bunga, bunganya berwarna putih yang berada diantara ikatan gelang tersebut.
“Aku
bantu untuk memakaikan ya..” ujar Eddie lembut.
“Hah
? Baiklah…” Nina hanya mengiyakan bantuan Eddie. Dia mengangguk pelan. Dia
mengulurkan tangan kanannya dan Eddie melingkarkan gelang itu di tangan Nina.
Nina tersenyum dengan apa yang dilakukan Eddie.
“Bagus…”
ujar Eddie. Tapi Eddie tak segera melepaskan genggaman tangannya di tangan
Nina.
“Eddie…
Hmmm..” Nina agak kaku dengan apa yang di lakukan Eddie.
“Nina…
Apa kau mau menjadi pacarku ?” ujar Eddie tiba – tiba. Nina kaget bukan main
dengan perkataan Eddie. Nina semakin gugup karena dia bingung harus menjawab apa
?
“Tapi…”
“Apakah
kau menerimaku sebagai pacarmu ?” tanya Eddie untuk meyakinkan Nina. Nina
menarik nafas. Dia mencoba berpikir sejenak. Mungkin ini adalah pemberian Tuhan
yang diberikan kepadanya sebagai cara agar dirinya bisa cepat melupakan Danny. Nina
memejamkan matanya sejenak dan mengangguk pelan. Dia membuka matanya dan mantap
menjawab.
“Baiklah,
aku menerimamu sebagai pacarmu.” Ujar Nina segera. Eddie tersenyum sangat
senang menjawab jawaban itu, lalu dia mencium lembut tangan Nina.
Malam
itu malam yang indah untuk mereka berdua. Nina dan Eddie resmi berpacaran. Nina
berdoa agar ini berjalan awet, karena dia percaya bahwa ini jalan Tuhan
untuknya agar tidak terus – terusan sakit hati akan cinta lamanya.
“Tidur
yang nyenyak ya.” Ujar Eddie, malam itu ia mengantarkan Nina menuju flatnya.
“Iya,
terima kasih ya untuk hari ini dan hadiahnya.” Ujar Nina tersenyum malu. Hening
menghampiri mereka. Tiba – tiba Eddie mencium kening Nina lembut.
“Terima
kasih.. Kau hati – hati ya.” Nina tambah tersenyum senang karena kecupan itu.
Dia masuk ke flatnya dan menutup pintu lalu melambai kea rah Eddie. Eddie
membalikkan badannya dan tersenyum lega. He has a girlfriend, now.
***
“Haduh,
dimana sapu tanganku ?” Nina mengeluarkan seluruh isi tasnya untuk menemukan
sapu tangan biru miliknya, dia panic karena sapu tangan itu adalah pemberian
ayahnya.
“Hah.
Tidak ada…” Dia menghela nafas dan duduk dipinggiran tempat tidurnya, mencoba
mengingat dimana ia menaruh sapu tangan itu.
“Ahhhh….”
Dia langsung ingat. Sapu tangan itu jatuh ketika ia menabrak seseorang ketika
ia ingin bertemu Eddie untuk kedua kalinya. Lelaki itu tidak ia kenal,
bagaimana ia bisa menemukan lelaki itu. Kali itu dia hanya menghela nafas,
menyerah karena tidak mungkin lagi menemukan lelaki itu.
Comments
Post a Comment