Part 9
“Jadi
ketika itu adalah perasaan yang sangat aku ingin lupakan.” Ujar Diana teman
satu kampus Nina. Nina hanya terduduk mendengar cerita dari Diana itu. Nina tak
percaya ada lelaki yang tega menyakiti Diana. Kurang baik apa temannya itu.
“Tapi,
hidup harus terus berjalan. Aku tidak mau melihat kau terus menangis seperti
ini. Lupakanlah Roy, Diana !!!” ujar Nina menasihati temannya itu. Diana sudah
jatuh berkali – kali, sudah disakiti Roy berkali – kali, tapi Diana tak pernah
bisa pindah ke orang lain.
“It’s
time to look for another guy.” Ujar Nina lagi.
“I
agree with you, but I couldn’t do that, Nina.” Ujar Diana seperti ingin
menyerah.
Pada
saat mereka berdua sedang berbincang, bunyi suara telepon genggam Nina
membuyarkan segalanya. Nina pun mengambil teleponnya itu dari tasnya lalu
mengangkatnya.
“Halo,
Ini Nina. Ada apa Dan ??” ujar Nina
“Hi,
bisa kita ketemu siang ini ?” ujar Danny membalas.
“Hmm,
okay, di tempat biasa aja ya.” Balas Nina. Mereka berjanjian di taman dekat
rumah mereka. Tempat dimana mereka pertama kali bertemu. Tempat itu menjadi
tempat “Nongkrong” mereka berdua saat ini karena menurut mereka cukup nyaman
dan dekat dengan rumah mereka.
Sampailah
Nina di taman itu, tapi ternyata Danny belum datang. Dia melihat jam tangannya
berwarna abu – abu methalic, mungil, pas sekali ditaruh ditangannya. Jam
menunjukkan pukul lima sore.
“Mana
si Danny ?” ujarnya.
Sekitar
sepuluh menit kemudian, datanglah Danny dengan wajah tersenyum dan sumringah.
Bahagia sekali kelihatannya dia. Seperti sedang mendapatkan sebongkah emas.
“Hi…”
ujarnya lalu langsung duduk disamping Nina.
“Hi…
Bahagia sekali kamu ? Kenapa ? Cerita dong..” balas Nina.
“Hahaha.
I’m so… happy today.”
“Please
tell me why are you so happy ?”
“Aku
berhasil ngajak Alexandra kencan lagi. Sabtu ini.” Ujar Danny sambil menerawang
jauh melihat awan.
“Sabtu
ini ? Berarti dua hari lagi. Hmm, okay, baiklah…” Nina menunduk lemas. Dia kira
akan mendapatkan berita bahagia yang lain, tapi ternyata dia mendapatkan berita
yang membuatnya sakit hati. Nina terus berbicara dalam hatinya, kenapa tak dia
saja yang diajak Danny untuk kencan ? Ahh, tidak mungkin, mana mungkin Danny
suka sama Nina.
“Nina,
gimana ?” senggol lengan Danny pada Nina.
“Apanya
?” Tanya Nina bengong.
“Hah
? Apanya ? Kamu gak dengerin aku ngomong ?” Danny kesal dan memalingkan
wajahnya.
“Ahh,
enggak kok. Aku dengerin kamu. Yaudah, be ready for Saturday. Aku akan doain
kamu ya supaya lancar kencannya. Kan kamu udah pernah kencan sama dia.”
“Tapi,
Nina…”
“I
have to go, Danny. Sebenarnya mamaku tadi udah nelpon. Mamaku udah nyariin aku
buat bantu dia. Aku gak tahu bantu dia apa, tapi sepertinya penting. I’m so so
sorry..” ujar Nina lalu membereskan barang bawaannya.
“And
Good luck for your date.” Ujarnya lagi tersenyum pada Danny. Danny mencoba
untuk menghentikannya. Tapi, Nina terlihat terburu – buru sekali.
“Kenapa
sih dia pergi, aku kan mau minta bantuan ke dia. Aku kan pengen nembak Alex.”
Ujar Danny lalu dia menyusul Nina untuk pulang kerumah juga.
“Sampai
sekarang aku gak tahu kenapa aku harus bohong sama dia karena kejadian itu.”
Ujar Nina dalam hati. Dia duduk dibangku paling pojok untuk bersantai di Minggu
sore, menikmati sore hari di kota New York yang setiap harinya pasti padat.
“Halo,
Ada apa Leo ?” ujarnya pada temannya yang berada diujung telpon.
“Halo,
Nina ? Okay, aku butuh kamu untuk wawancara besok, bisa tidak kita bertemu di
Café dekat kantor kita.” Balas Leo.
“Oh,
memangnya Lauren kemana ? Bukankah besok bagian Lauren untuk wawancara ?”
“Hmm,
Lauren harus pergi ke Philadelphia karena orang tuanya sedang sakit disana,
sakit keras katanya, ayahnya, bagaimana bisa tidak ?”
“Hmm,
jam berapa Leo ?”
“Sekitar
jam Sembilan pagi, aku akan mewawancarai atlet panah yang akan ikut olimpiade
dua tahun lagi. Untuk izin tenang saja, aku sudah mengizinkamu hari ini, dan
bos bilang kau bisa membantuku.” Jelas Leo.
“Oh,
baiklah kalau begitu, bisa kau kirim bahan pertanyaannya ? Kirim saja ke
emailku malam ini, aku akan mempelajarinya.” Ujar Nina. Leo diujung telepon
sana mengiyakan dan Nina menutup teleponnya malam itu.
“That’s
what journalist do. Gak ada kata untuk istirahat sehari dua hari, tapi
sepertinya tahun depan aku akan mengambil cuti.” Ujar Nina pada dirinya
sendiri.
“Ping…”
bunyi handphone Nina ketika ada sms datang.
“Hi
Nina, apa kabarmu ? Aku hanya ingin memberitahumu saja kalau besok aku akan ada
di New York, aku akan tampil di Today Show. Bisa kita bertemu sore harinya ?”
ujar sms itu, ternyata sms itu datang dari Eddie.
“Hah
? Eddie sms aku ? Bertemu ? Baiklah aku iyakan saja. ‘baiklah Eddie, tapi jam
berapa ya ?’” ujar Nina membalas.
“Sekitar
jam 5 sore. Apa kau sibuk pada jam itu ?” Nina berpikir sejenak lalu membalas
lagi sms dari Eddie.
“Baiklah,
aku akan langsung menemuimu sepulang kerja. Sampai ketemu besok ya J”
balas Nina lalu dia memasukkan handphonenya ke dalam tas lalu bergegas pulang.
“Hmm,
Nina kemana ya ? Kok teleponku tak diangkat – angkat, mungkin saja dia lelah
dan tidur. Baiklah aku akan mengirim sms saja untuknya.” Ujar Danny ketika dia
sedang mencoba menghubungi Nina sahabatnya itu. Tapi mungking kali ini, Nina
bukanlah sahabat lagi untuknya, mengingat Danny memiliki perasaan pada Nina.
“Nina,
aku sedang ada di New York, aku akan konser di Central Park lagi, mungkin tidak
kita bisa bertemu hari sabtu, aku akan konser disana besok, hari Jumat, balas
smsku ya, terima kasih J” Danny mengklik tombol send. Sms itu
sudah terkirim dan Danny pun kembali melanjutkan memainkan keyboard yang ada di
hadapannya mencoba untuk membuat lagu yang akan dimasukkan di album terbarunya
nanti.
Comments
Post a Comment