Part
11
“Kalau
kau suka yang itu, ambil saja, aku akan membayarinya.” Ujar Brent kepada
Alexandra ketika Alexandra tertegun melihat lukisan bunga tulip dengan bingkai
ukuran kecil. Lukisan itu sangat indah sehingga membuat Alexandra tertegun. Dia
ingat akan suatu hal.
“Warna
tulip di lukisan itu seperti bunga yang waktu itu kau belikan padaku.” Ujar
Alexandra sambil memandang ke wajah Brent. Brent tersenyum akan tanggapan itu.
Alexandra
mengambil lukisan itu dan memberikan pada kasir. Brent memberikan bayaran kepada
kasir sesuai harga yang tertera pada lukisan itu. Petugas kasir membungkusnya
dengan kertas coklat dan membungkusnya dengan hati – hati, setelah itu dia
memberikannya kepada Alexandra, dan dia membalas senyuman petugas kasir itu.
Mereka
berdua keluar dari toko peralatan lukisan itu. Brent tersenyum senang saat
menggandeng Alex yang berhasil menambah koleksi lukisannya itu karena dibelikan
oleh Brent lagi.
“Terima
kasih ya…” ujar Alex. Brent menggangguk.
Tapi
senyum Alex berhenti ketika ia melihat sosok lelaki mirip sekali Danny. Dia
menunduk dan dia mengingat bahwa dirinya baru putus dengan pria itu semalam,
dia makin merasa bersalah karena dia malah bersenang – senang dengan kekasih
yang aslinya kala itu.
“Kau
kenapa ?” celetuk Brent mengagetkan lamunan Alex. Alex langsung mendongak
melihat wajah Brent yang lucu dengan rambutnya yang masih ikal.
“Tidak,
aku tidak apa. Aku hanya bingung, mau ditaruh dimana lukisan yang kau berikan
ini. Karena ku pikir, galeriku sudah penuh.” Ujar Alex menyembunyikan rasa
bersalahnya itu.
“Hmmm,
kita akan melihatnya sekarang, sebelum besok aku kembali ke Amerika sayang…”
ujar Brent sambil mengelus rambut Alex yang lurus, lembut, dan panjang. Alex
membalasnya dengan senyuman lebar, tapi dalam lubuk hatinya sekarang adalah dia
memikirkan rasa bersalah yang besar kepada Danny.
“Kamu
benar Nina, dia udah punya seseorang.” Ujar Danny duduk lemas disamping Nina.
Nina hanya menghela nafas atas apa yang barusan di sebut Danny. Toh, Nina juga
melihat kejadian Alex menggandeng laki – laki itu.
“Tapi,
aku yakin dia akan menyesal, Danny.” Ujar Nina bijak dan santai.
“It’s
impossible. Alex kelihatan bahagia banget sama laki – laki itu.”
“Lihat
saja nanti. Jadi, sekarang apa yang kau mau lakukan ?”
“Aku
gak tahu, Nina. Sepertinya sekarang aku mau pulang aja..” ujar Danny lalu
mengambil tas besar berwarna hitamnya. Dia bangun dari tempat duduknya, tetapi
dia berhenti sejenak.
“Kamu
mau ikut aku pulang nggak ?” tanya Danny menengok ke arah Nina.
“Jelas
dong. Tunggu sebentar…” Nina pun ikut beranjak dengan repotnya dengan barang
bawaannya. Dia masih sibuk membaca novel Sherlock Holmes dan memegang es
krimnya yang tak kunjung habis. Danny pun langsung berinisiatif untuk
membantunya, danny tersenyum lucu melihat kelakuan Nina yang terlihat seperti
anak kecil.
“Ngapain
ketawa ? Gak ada yang lucu, Danny. Tapi, makasih ya udah bantuin aku. Let’s go
home..” ujar Nina dan mereka berdua pun beranjak untuk pulang bersama.
“Penyesalan
selalu datang belakangan. Penyesalan akan perasaan itu jangan jadi penyesalan
lagi, sebaiknya kau nyatakan perasaanmu itu padanya, Dan.” Ujar Mark bijak yang
lagi – lagi asik meneguk satu kaleng Guinness.
“It’s
easy as you say. Permasalahannya, kita itu sibuk di dunia masing – masing. Kita
gak bisa setiap hari ketemu…” ujar Danny yang tengah berpikir. Dua tangannya di
kepalkan menjadi satu. Menerawang jauh kea rah yang tak tentu. Lurus ke depan
tapi tak tentu. Seperti perasaannya kala itu.
“Tapi,
mau sampai kapan lagi ?” Glen menyusul ikut berbincang bersama kedua temannya
itu.
Danny
menghela nafas, bingung harus menjawab apa. Dia sadar, memang ini semua
kesalahannya. Tapi, tidak semua kesalahannya, suatu hari Danny berpikir bahwa
dia yakin, Nina itu menyimpan perasaannya kepada Danny.
“I’m
gonna miss you Lea…” Nina memeluk teman satu lantainya Lea. Mereka cukup dekat,
dekat dalam hal teman saja. Lea selalu mengajak Nina untuk makan siang bersama,
sejak saat itu mereka dekat. Lea adalah seorang wanita yang cukup tinggi,
melebihi tinggi Nina. Rambutnya hitam kecoklatan tergerai lurus dan panjang.
Matanya berwarna abu – abu terang, alis matanya lentik, cantik untuk seorang
wanita seperti Lea. Lea suka sekali memakai blus panjang dan celana hitam atau
Jeans. Bagi Nina, Lea adalah teman yang cocok untuk dimintai solusi tentang
masalah sepatu hak tinggi yang selalu Nina coba pakai. Hampir setiap hari Nina
melihat Lea memakainya, membuat Nina terlihat anggun.
Nina
sedang sibuk membereskan barang – barang yang ada dikantornya untuk dipindahkan
ke Washington D.C. Cukup banyak yang harus dibereskannya. Ketika sedang asyik
membereskan barang – barangnya, Nina tak sengaja menjatuhkan kotak bekas tempat
sepatu yang dulu ia beli. Kotak itu dipenuhi dengan foto, kertas dan pernak –
pernik kesukaannya. “Huft..” dia menghela nafas karena ia malas untuk
membereskannya.
Tapi
ketika ia serius membereskan isi kotak itu, tiba – tiba Nina terhenti pada
suatu foto. Foto ketika dirinya dan temannya Danny berfoto bersama di taman
tempat biasa mereka berkumpul. Seketika itu juga Nina langsung teringat kenangannya
ketika bersama Danny. Semuanya indah, indah sekali sampai mereka terpisahkan
karena mereka harus mengejar keinginan mereka masing – masing.
Nina
berhenti membereskan barang – barangnya. Duduk sebentar merenung merindukan
temannya yang paling special itu. Apa sampai sekarang Danny belum bisa menebak
perasaan sukanya ? Padahal mereka sudah berpisah cukup lama, tapi perasaan itu
muncul lagi ketika Nina harus bertemu dengan Danny beberapa waktu lalu. Semua
kenangannya menyala kembali, bagaikan lampu yang lama mati lalu dinyalakan
dengan orang yang sama. Tombol On dalam hati Nina sudah aktif kembali. Nina
hanya merenung duduk di pojok mejanya itu.
“Hey
Nina, ada apa ?” ujar Lea menghampirinya. Lea mengamati sekeliling meja Nina.
Lea menemukan apa yang membuat temannya itu termenung dekat meja kerjanya.
“Jadi
ini yang membuat kamu diam?” ujar Lea lalu menyerahkan foto Nina bersama Danny.
“Menurutmu
haruskah aku bilang padanya bahwa aku akan pindah ke D.C?” tanya Nina pada Lea.
Karena Nina hanya berpikir dia sebenarnya ingin menjauh dari Danny.
“Yeah…
itu penting Nina. Jika perasaanmu padanya masih ada, lebih baik lagi kau
mengaku padanya tentang perasaanmu.” Ujar Lea bijak. Nina terdiam sejenak.
“Oh
Tuhan… Aku lupa sesuatu. Sore ini aku akan bertemu Danny. Sebentar Lea..” ujar
Nina kaget dan langsung memeriksa handphonenya.
“Tebakanku
benar.” Nina langsung membuka pesan dari Danny. Danny mengingatkan dirinya
untuk bertemu nanti di tempat pertama kalinya mereka bertemu lagi setelah
bertahun – tahun mereka berpisah.
“Alright,
I’ll be there. Thanks for reminding me.” Balas Nina dengan senyuman senangnya.
“Jadi,
kau akan bertemu dengannya ? Itu adalah hal yang bagus karena kau punya waktu
untuk memberitahukannya…” ujar Lea lagi. Nina hanya tersenyum menanggapi
pernyataan Lea. Dia pun bilang terima kasih entah untuk hal apa lalu dia
melanjutkan pekerjaannya lagi untuk membereskan barangnya sebelum pindah ke
Washington D.C.
“Surprise…”
ujar Nina setelah dia masuk ke restoran dan sampai di depan meja tempat Danny
duduk. Danny tersenyum padanya. Danny sangat senang dengan kedatangan Nina.
“Hey…
You look great. Apa kabar kamu ?” ujarnya sambil mencium pipi kanan dan kiri
Nina. Sebuah pelukan hangat diberikan Danny untuk Nina. Nina nyaman sekali
dengan pelukan itu. Sudah lama Nina tak merasakan pelukan hangat dari Danny, ya
itu karena mereka harus berpisah.
“Baik.
Kau sendiri bagaimana ? Maaf ya aku telat, aku harus…..” Kalimat Nina
menggantung. Sebenarnya Nina mau memberitahukan kepindahannya ke Washington
D.C, tapi niat itu ia urungkan mengingat niatnya yang tidak ingin terlalu dekat
dengan Danny lagi. Lebih baik dirinya berkomunikasi lewat email atau online
atau hanya dengan pesan singkat via sms. Atau Nina belum siap mengatakan
semuanya. Semua perasaannya.
“Aku
harus ? Kau harus apa ?” Danny penasaran sambil mengerutkan dahinya bingung.
“Ahh,
tidak.. tidak apa… Bagaimana konsermu ?” tanya Nina mengalihkan pembicaraan
“Ahh,
baiklah…. Konserku lancar. Semuanya hebat. Aku tak tahu ternyata fans kami di
New York sangat banyak…” ujar Danny tersenyum. Kemudian suasana menjadi hening.
“By
the way Nina… Surprise…” ujar Danny mengeluarkan sebuah kotak seukuran 20 x 20
berwarna biru, warna kesukaan Nina.
“What
? Memang ada apa kamu kasih surprise ke aku ?” Nina cukup tersentuh dengan
surprise itu. Danny pun menjelaskannya.
“Kamu
kan sekarang ulang tahun ? Memang kamu gak ingat sama sekali ? Happy Birthday
Nina Alexandra Anderson.” Ujar Danny lalu menyerahkan kotak itu pada Nina. Nina
menerimanya dengan perasaan sangat senang.
“Kamu
lupa sesuatu Nina ?” ujar Danny.
“Apa
?”
“Kamu
kan bilang, hadiah yang paling kamu inginkan adalah, aku. Aku yang ada di
hadapan kamu.” Jelas Danny. Hening lagi. Nina terdiam lalu meletakkan kotak
biru itu yang belum dibuka olehnya. Lupa membuat segala perasaannya hancur.
Nina lupa bahwa hadiah yang dia inginkan sekali adalah Danny, bukan isi kotak
itu. Nina menunduk, air matanya seperti ingin keluar. Yang lebih parah lagi,
Nina sendiri saja lupa kalau hari ini adalah ulang tahunnya.
“Kamu
kenapa ?” tanya Danny lembut. Lalu Danny memindahkan posisi duduknya. Dia
pindah untuk duduk tepat disamping kanan Nina.
“Nina…
Please don’t cry..” ujarnya lebih sambil merangkul pundak Nina. Nina makin
tertekan dengan apa yang dilakukan itu. Tapi, Nina cepat – cepat menghapus
imajinasinya tentang perasaan Danny yang akan membalas perasaannya.
“No,
I’m alright. Thanks, Dan. Aku hanya terharu sama kebaikan kamu yang rela nemuin
aku sesuai yang aku bilang dulu. Aku juga minta maaf ya kalau aku lupa sama
tanggal ulang tahunku.” Ujar Nina yang akhirnya membalas. Dia mengelap air
matanya yang ada di wajahnya itu.
“Yeah..
semua sudah dikasih waktunya Nina. Aku sedang di sini, dan kebetulan ini hari
ulang tahunmu.” Jelas Danny. Nina menunduk lagi. Ternyata Danny hanya
menganggap semua ini kebetulan semata. Perasaan Nina kembali dingin.
“Boleh
aku buka isinya ?” ujar Nina mengalihkan suasana agar tidak menjadi tambah
sedih. Dia membukanya. Dilihatnya tiga buku novel. Dua adalah buku novel karya
Sir Arthur dan sisanya adalah novel karya Charles Dickens.
“Nice..
Thanks Danny.. and this one. Ini kan album kamu ?” ujar Nina mengerutkan dahi
bingung.
“Ahh,
iya, itu bonus. Aku sengaja bungkusin itu buat kamu.” Senyum Danny dibalas
dengan senyuman Nina. Malam itu memang sebenarnya indah. Tapi, tidak indah
ketika Nina lagi – lagi tak bisa jujur akan perasaannya yang sudah ia simpan
lama kepada Danny.
“Makasih
banyak ya Danny atas semua ini.”
“Iya,
Nina. Aku bahagia bisa bikin kamu bahagia. Walaupun hadiahnya gak seberapa.”
“Bagiku
ini spesial. Akhirnya kamu bisa datang juga tepat di hari ulang tahunku. Sesuai
permintaanku.”
“Sssttt….
Gak Nina. Ini tanda kalau persahabatan kita gak bakal runtuh.” Ujar Danny. Hati
Nina kembali dingin dengan ucapan Danny yang masih menganggap dirinya sebagai
“Sahabat.”
“Ada
waktu untuk anter aku pulang ?” tanya Nina setelah mereka cukup lama diam.
Suasana restoran seperti sepi, padahal restoran itu ramai dengan banyak orang
yang ingin menikmati makan malam kala itu.
Nina
juga tak menyadari bahwa dirinya dirangkul oleh Danny selama dia menangis tadi.
“Danny,
maaf…” ujarnya sambil menjauhkan sedikit badannya. Danny sadar lalu melepaskan
rangkulan itu.
“Bisa.
Aku bisa antar kamu pulang… Kebetulan dari apartemen kamu, aku hanya butuh naik
bus umum satu kali. Atau nanti aku bisa kembali ke hotelku naik taksi.” Ujar
Danny tersenyum.
Nina
tersenyum lalu dia berkata. “Terima kasih atas semua waktu, tenaga dan hadiah
ini.”
“Sama
– sama..” ujar Danny singkat. Mereka pun bergegas keluar dan pergi menuju apartemen
Nina.
“Okay,
this is my final destination.” Ujar Nina. Mereka berhadapan sekarang.
“Iya,
aku…. Aku pergi dulu ya..” ujar Danny. Tapi langkahnya tak kunjung membalikkan
badannya untuk kembali ke hotelnya.
“Aku..
Aku.. Aku mau…” Danny mencium kening Nina cukup lama. Danny melepaskannya lalu
mereka berdua diam.
“Aku
mau apa Nina ?” tanya Danny. Nina bingung dan tiba – tiba dia langsung memeluk
Danny dengan sangat erat.
“Terima
kasih buat semua yang pernah kamu berikan dan pernah kamu lakukan buat aku.
Sampai ketemu lagi ya.” Ujar Nina lalu melepaskan pelukan itu. “Selamat malam
Danny.” Nina membuka pintu apartemennya dan masuk ke dalam. Danny sejenak diam
dalam dinginnya malam kota New York. Ramai lampu kelap – kelip dan klakson
mobil disana sini. Tapi yang ia rasakan hanya keheningan dan penyesalan
kembali. “Kenapa aku tidak bisa jujur lagi akan perasaanku ?” ujarnya lalu
berbalik, berusaha mencari taksi untuk dirinya yang ingin kembali ke hotel
tempat ia menginap.
Comments
Post a Comment