LOVE SICK
Brent’s
Aku tak menyangka semua itu dilakukan
oleh Rose. Apalah arti semua janji yang kami buat berdua dulu. Hubungan yang
kami jalin hanya beberapa bulan. Rose yang tak tahu penjelasan sebenarnya. Aku
yang belum memberikan penjelasan. Aku rasa Rose memang salah paham atas semua
masalah yang menimpa kami berdua.
Sekarang Rose sudah bersama Daniel. Aku
harap Daniel bisa menjaganya dengan baik. Tapi kenapa ya ketika pertama kali
aku melihat Daniel, dia bukan pria yang baik untuk Rose. Ahh, mungkin hanyalah
perasaanku saja. Lagian itu kan keputusan Rose. Rose tak mungkin salah. Rose
perempuan yang sangat baik. Sekarang waktunya aku untuk melupakannya perlahan.
Aku tak mungkin langsung melupakannya. Tak mungkin.
“Brent..” ada yang memanggilku. Aku pun
menengok. Ternyata Ryan. “Ada apa ?” ujarku padanya. “Bagaimana kanada ?”
ujarnya sambil duduk disebelahku. “Bagus. Seperti Denver. Tak jauh beda.”
Ujarku singkat. “Hmm, bagaimana kau dengan Rose ?” tanyanya. Aku tersentuh.
Hatiku tak wajar. “Kita sudah putus.” Ujarku singkat. “Hmm, bagaimana bisa ?”
ujarnya datar. Ryan santai sekali menanyakan hal ini. Padahal kan aku sakitnya
bukan main. “Ada masalah besar yang membuat dia salah paham.” Ujarku lagi. Ryan
terdiam cukup lama. “Aku tahu.” Ujarnya tiba – tiba. Aku langsung menengok
dirinya. “Bagaimana bisa kau tahu ?” tanyaku padanya. “Rebecca ?” ujarnya
seperti sebuah pertanyaan. “Dia memang begitu. Aku kenal dia cukup lama. Jadi
aku tahu antara kau, Rebecca dan Rose.” Ujarnya lagi sambil menunjuk diriku.
Aku masih terdiam dengan pernyataan Ryan. Dia memang teman lama Rebecca, tapi
dia bisa tahu seluk beluk Rebecca yang mempunyai sifat seperti itu. Aku tak
menjawab apapun atas pernyataan Ryan itu.
“Sabar saja.” Ujarnya datar lagi sambil
meminum cola yang dipegangnya. Aku tersenyum kecut. “Tapi jujur akan sulit
melupakannya. Akan sulit sekali. Sekarang saja aku merindukannya.” Ujarku jujur
pada Ryan. “iya tahu. Kau kan baru putus darinya. Tak mungkin secepat kilat
melupakannya. Tapi perasaanku, kau akan memperjuangkan cintamu ya. Perasaanku,
Rose akan kembali padamu. Ahh, mungkin hanya perasaan. Aku tak bermaksud untuk
mengingatkanmu padanya. Aku ke kamar dulu ya. Ada sedikit urusan.” Ujarnya lalu
memukul bahuku. Aku tersenyum padanya. Tapi aku memikirkan perkataan Ryan
barusan. Amin. Itulah doaku dalam hati supaya aku bisa kembali pada Rose.
Rose’s
“Kamu tidak apa sayang ?” ujar Daniel
tiba – tiba sembari memberikanku kopi yang di belinya malam ini. Kami berdua
duduk di sebuah taman menghabiskan waktu libur kerjaku. Daniel habis
menjemputku dari rumah. Dia bilang dia ingin berdua denganku di taman ini. “Aku
tidak apa kok.” Ujarku singkat setelah itu aku menyeruput kopiku.
“Ayolah Rose, jangan berlarut larut
sedih. Aku jadi bosan.” Ujarnya sedikit kesal padaku. “Aku minta maaf Dan..”
ujarku sambil mengelus punggungnya. “Aku janji perlahan aku tidak akan sedih
lagi. Selama kau bisa membuat aku senang juga.” Senyumku padanya menyembunyikan
kesedihan ini. Aku terdiam sejenak lalu dia juga diam. Di malam yang cukup
ramai itu, hanya suara orang berlalu lalang yang terdengar.
“Sebenarnya kau suka padaku tidak ?
Maksudku kau cinta padaku tidak ? Tuluskah kau berpacaran denganku ?” ujarnya
lagi membuat hatiku terhenyak. Aku terdiam cukup lama. “Rose” dia memanggilku
dan membubarkan lamunanku. Aku bingung harus menjawab apa. “Aku mencoba. Tidak
bisa langsung. Tapi aku mencoba.” Ujarku padanya. Dia terdiam. “Baiklah. Aku
tidak memaksa.” Ujarnya datar. Aku tak tahu maksud dia bilang seperti itu apa.
Tapi yang jelas mungkin dia bermaksud untuk memberiku waktu. “Terima kasih
telah mengerti diriku.” Ujarku padanya sambil tersenyum dan memegang tanganku.
Dia menengokku dan tersenyum padaku. Dia pun mencium pipi kananku cukup lama
dan lembut.
“Ayo pulang. Sudah malam. Besok aku
harus bekerja.” Ujarku padanya lembut. “Baiklah ayo sayang.” Ujarnya sambil
menggandeng tanganku. Sebenarnya aku serba salah juga menjawab seperti itu
padanya. Aku tidak merasa enak berhubungan dengan dirinya. Rasanya hatiku dan
hatinya tidak menyatu. Aku saja bingung. Apa aku harus memaksakan hatiku
untuknya ? Jujurlah, sesungguhnya aku merindukan Brent. Merindukan suara,
wajah, dan cara dia menemaniku ketika kita berdua dulu. Tapi apalah daya. Aku
harus melupakannya secara perlahan. Karena aku kurang yakin bisa bersatu
dengannya.
Comments
Post a Comment