Nikki bingung dengan pertanyaan-pertanyaan dari Gian yang terlalu banyak menanyakan tentang Nathan, teman sekampusnya tetapi beda jurusan dengan Gian dan Nikki, membuatnya memikirkan satu hal. Gian terlalu ingin tahu. Tapi, apakah itu karena ada sesuatu yang Nikki tak ketahui yang Gian rencanakan? Entahlah, Nikki tak mau memikirkan terlalu banyak maupun memikirkannya terlalu lama. Bagi dia, masalah yang dia punya sudah terlalu banyak. Kalau harus memikirkan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang Nathan dari Gian, beban hidup dan pikirannya akan tambah berat nantinya.
"Kau dulu begitu pemalu, Nikki." ledek Gian sambil terkekeh, "Tapi, sekarang kau terlihat lebih terbuka, terutama pada teman-teman dekatmu." lanjutnya.
"Itu sifat wajar golongan darah A. Aku pernah baca di suatu artikel di laman internet, bahwa seseorang golongan darah A, akan lama dalam beradaptasi di lingkungan yang baru. Maka dari itu, jangan heran jikalau aku begitu pendiam di enam bulan pertama." jelas Nikki, yang masih asik menikmati kentang goreng yang sudah tersisa setengah bagian dari bungkusnya.
"Oh seperti itu... Tapi, ketika aku bertemu denganmu pertama kali saat map kita saling tertukar, kau terlihat terbuka."
"Keterpaksaan. Aku juga ingin membuka diri. Suatu sifat seseorang kan bisa diubah perlahan. Walaupun perubahan itu tidak signifikan hasilnya." ujar Nikki bijak, Gian tersenyum melihat cara berbicara Nikki.
"Lantas, kenapa kau... tidak terlalu dekat dengan perempuan-perempuan di kelas kita?" tanya Gian dengan wajah penuh tanda tanya.
"Hmm, soal itu...." hening lama, Nikki sedang berpikir untuk menjawab dengan jujur pada Gian. Ya, inilah saatnya Nikki jujur pada Gian. "Aku merasa aneh jika menceritakan tentang topik-topik menurutku, sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Aku pasti selalu berhenti di tengah cerita, jika wajah-wajah mereka tidak lagi memperlihatkan wajah penuh keingintahuan. Padahal cerita yang aku ceritakan adalah semua hal yang berasal buku yang sangat bagus dan bisa menambah ilmu pengetahuan." Lanjut Nikki panjang lebar dengan mimik wajah sedikit kecewa.
"Hanya karena itu?"
"Satu dan lain hal, terkadang aku merasa aneh dekat dengan mereka. Jikalau aku tak mengikuti tren pakaian, tidak berdandan, tidak terlalu suka untuk berbicara macam-macam. Betul memang, aku memang orang yang sedang mengurangi pembicaraan yang tak penting." Jujur Nikki lagi. Gian tersenyum. "Hanya kamu, di kampus itu, yang mengerti aku. Mengerti tentang cerita-ceritaku, mengerti tentang keluh kesah. Sedikit aneh memang."
"Dan Nathan? Dan memangnya kau tak punya teman perempuan yang bisa kau ceritakan apapun?"
"Nathan lagi. Gian cukup dengan Nathan. Teman perempuan? Sayangnya, dia tinggal di Malang, dia harus kuliah disana. Kami jarang bertemu. Orang tuanya tidak terlalu mampu jika harus membayarkan, Citra, temanku itu untuk pulang pergi Jakarta-Malang. Terlalu boros dan memakan waktu." jelas Nikki lagi.
Hanya kamu, kata yang membuat Gian begitu yakin bahwa Nikki memang punya perasaan yang sama padanya. Gian senang, jika dirinya dianggap teman yang bisa membuka diri Nikki dan bisa mendengarkan keluh kesah Nikki.
Ketika mereka sedang asyik berbincang dan menceritakan kehidupan mereka, tiba-tiba ponsel Gian berbunyi. Nomor yang tak dikenal. Gian mengerutkan dahinya lalu segera mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Gian? Hah, syukurlah. Ini Shely."
Jantung Gian berdegub. Shely.
"Kau dulu begitu pemalu, Nikki." ledek Gian sambil terkekeh, "Tapi, sekarang kau terlihat lebih terbuka, terutama pada teman-teman dekatmu." lanjutnya.
"Itu sifat wajar golongan darah A. Aku pernah baca di suatu artikel di laman internet, bahwa seseorang golongan darah A, akan lama dalam beradaptasi di lingkungan yang baru. Maka dari itu, jangan heran jikalau aku begitu pendiam di enam bulan pertama." jelas Nikki, yang masih asik menikmati kentang goreng yang sudah tersisa setengah bagian dari bungkusnya.
"Oh seperti itu... Tapi, ketika aku bertemu denganmu pertama kali saat map kita saling tertukar, kau terlihat terbuka."
"Keterpaksaan. Aku juga ingin membuka diri. Suatu sifat seseorang kan bisa diubah perlahan. Walaupun perubahan itu tidak signifikan hasilnya." ujar Nikki bijak, Gian tersenyum melihat cara berbicara Nikki.
"Lantas, kenapa kau... tidak terlalu dekat dengan perempuan-perempuan di kelas kita?" tanya Gian dengan wajah penuh tanda tanya.
"Hmm, soal itu...." hening lama, Nikki sedang berpikir untuk menjawab dengan jujur pada Gian. Ya, inilah saatnya Nikki jujur pada Gian. "Aku merasa aneh jika menceritakan tentang topik-topik menurutku, sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Aku pasti selalu berhenti di tengah cerita, jika wajah-wajah mereka tidak lagi memperlihatkan wajah penuh keingintahuan. Padahal cerita yang aku ceritakan adalah semua hal yang berasal buku yang sangat bagus dan bisa menambah ilmu pengetahuan." Lanjut Nikki panjang lebar dengan mimik wajah sedikit kecewa.
"Hanya karena itu?"
"Satu dan lain hal, terkadang aku merasa aneh dekat dengan mereka. Jikalau aku tak mengikuti tren pakaian, tidak berdandan, tidak terlalu suka untuk berbicara macam-macam. Betul memang, aku memang orang yang sedang mengurangi pembicaraan yang tak penting." Jujur Nikki lagi. Gian tersenyum. "Hanya kamu, di kampus itu, yang mengerti aku. Mengerti tentang cerita-ceritaku, mengerti tentang keluh kesah. Sedikit aneh memang."
"Dan Nathan? Dan memangnya kau tak punya teman perempuan yang bisa kau ceritakan apapun?"
"Nathan lagi. Gian cukup dengan Nathan. Teman perempuan? Sayangnya, dia tinggal di Malang, dia harus kuliah disana. Kami jarang bertemu. Orang tuanya tidak terlalu mampu jika harus membayarkan, Citra, temanku itu untuk pulang pergi Jakarta-Malang. Terlalu boros dan memakan waktu." jelas Nikki lagi.
Hanya kamu, kata yang membuat Gian begitu yakin bahwa Nikki memang punya perasaan yang sama padanya. Gian senang, jika dirinya dianggap teman yang bisa membuka diri Nikki dan bisa mendengarkan keluh kesah Nikki.
Ketika mereka sedang asyik berbincang dan menceritakan kehidupan mereka, tiba-tiba ponsel Gian berbunyi. Nomor yang tak dikenal. Gian mengerutkan dahinya lalu segera mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Gian? Hah, syukurlah. Ini Shely."
Jantung Gian berdegub. Shely.
Comments
Post a Comment