Ketika itu malam begitu terang. Kita berdua sedang menikmati malam yang sulit ditemukan di musim penghujan ini. Terbiasa melihat langit yang tanpa selimut bintang dan cahaya bulan. Terbiasa menikmati dinginnya malam akibat sisa-sisa air hujan yang masih menyelimuti jalan-jalan ibukota. Sekarang kita berdua terduduk di salah satu roof top di kawasan pusat kota Jakarta. Hanya nafas yang bisa kita dengar. Deru nafas lelah yang kita rasakan.
"Santi." ujar dirimu. Aku yang masih memegang erat kedua kaki yang di satukan bersama. Menahan dinginnya malam, padahal malam ini begitu terang benderang.
"Aku mengerti. Pergilah! Itu baik untuk karirmu. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan." ujarku pelan. Sudahlah, aku sudah lelah dengan perbincangan ini. Perbincangan yang ujung-ujungnya adalah perpisahan aku dan dirinya. Bintang jatuhku.
"Bukan seperti itu. Aku juga tidak akan pergi lama."
"Macam kau tak pergi lama? Yang benar saja. Aku tahu dirimu. Jika kau sudah menikmati apa yang engkau dapat, dan itu adalah hal yang sangat kau cintai, pasti kau akan menikmati dan lupa denganku." jelasku yang masih memasang wajah penuh kecewa.
"Lihat, ada bintang jatuh!" ujarnya sambil menunjuk langit yang cerah dengan selimut bintang-bintang dan cahaya bulan yang berbentuk cembung.
Rio akan pergi. Aku masih memikirkan itu terus. Kalau dia pergi, aku harus bercerita keluh kesahku dengan siapa? Aku tak suka bercerita dengan keluargaku. Setiap hari saja, aku bahkan hanya bertemu ayahku seminggu sekali dan Ibuku pada malam hari saja. Kami tidak sempat bercengkrama bersama. Sedangkan Rio, aku iri dengannya. Dia bisa jadi seperti ini karena dukungan kedua orang tuanya. Dia akan menjadi salah satu perwakilan Indonesia untuk menjadi pemain saxophone di beberapa festival di Amerika dua hari lagi. Ya, besok dirinya sudah harus berangkat ke Amerika.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Rio. Aku tahu itu hanya pertanyaan basa-basi untuk mengalihkan pembicaraan utama kami.
"Biasa saja. Bosku baik, kami bekerja secara tim. Aku bagian design interior." kujelaskan padanya dengan suara lirih, hampir menangis. Ya, aku bekerja sebagai asisten arsitek di salah satu perusahaan baru di Jakarta.
"Wah, itu keren! Nantinya aku akan minta bantuanmu untuk menghias rumahku."
"Kau akan lama di Amerika, aku yakin itu."
"Santiii... Aku mohon berhentilah khawatir bahwa aku tak akan kembali."
"Sudahlah. Aku ingin pulang, aku lelah. Sekarang sudah tengah malam. Memangnya kau tidak bersiap - siap untuk besok?"
"Sudah selesai."
"Rio..." aku berujar, Rio pun memanggilku, "Santi..." Kami berdiri berhadapan sekarang. Aku pasti akan sangat merindukan sahabatku ini.
"Tunggulah aku untuk kembali."
Aku hanya mengangguk pelan. Masih menunduk, tak mampu menatap matanya dan wajahnya. Rio memegang pipiku. Pipi tirusku bisa merasakan sentuhan lembut tangannya. Dia mengangkat wajahku agar bisa bertatap dengannya. Aku rindu dengan wajah blasterannya. Wajah khas Inggris dan Indonesia. Perpaduan yang rupawan, dengan alis cukup tebal dan wajah yang lumayan putih. Sebenarnya beruntung sekali diriku mendapatkannya.
"Percayalah aku akan kembali." ujar Rio mantap. Aku mengangguk dan masih menatap matanya. Keheningan menyeruak, kami masih berdiri dan bertatap sampai kurasakan bibirnya menyentuh lembut bibirku meninggalkan jejak rasa yang tak diungkapkan, Bintang Jatuhku pergi untuk mengejar cita-citanya.
"Santi." ujar dirimu. Aku yang masih memegang erat kedua kaki yang di satukan bersama. Menahan dinginnya malam, padahal malam ini begitu terang benderang.
"Aku mengerti. Pergilah! Itu baik untuk karirmu. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan." ujarku pelan. Sudahlah, aku sudah lelah dengan perbincangan ini. Perbincangan yang ujung-ujungnya adalah perpisahan aku dan dirinya. Bintang jatuhku.
"Bukan seperti itu. Aku juga tidak akan pergi lama."
"Macam kau tak pergi lama? Yang benar saja. Aku tahu dirimu. Jika kau sudah menikmati apa yang engkau dapat, dan itu adalah hal yang sangat kau cintai, pasti kau akan menikmati dan lupa denganku." jelasku yang masih memasang wajah penuh kecewa.
"Lihat, ada bintang jatuh!" ujarnya sambil menunjuk langit yang cerah dengan selimut bintang-bintang dan cahaya bulan yang berbentuk cembung.
Rio akan pergi. Aku masih memikirkan itu terus. Kalau dia pergi, aku harus bercerita keluh kesahku dengan siapa? Aku tak suka bercerita dengan keluargaku. Setiap hari saja, aku bahkan hanya bertemu ayahku seminggu sekali dan Ibuku pada malam hari saja. Kami tidak sempat bercengkrama bersama. Sedangkan Rio, aku iri dengannya. Dia bisa jadi seperti ini karena dukungan kedua orang tuanya. Dia akan menjadi salah satu perwakilan Indonesia untuk menjadi pemain saxophone di beberapa festival di Amerika dua hari lagi. Ya, besok dirinya sudah harus berangkat ke Amerika.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Rio. Aku tahu itu hanya pertanyaan basa-basi untuk mengalihkan pembicaraan utama kami.
"Biasa saja. Bosku baik, kami bekerja secara tim. Aku bagian design interior." kujelaskan padanya dengan suara lirih, hampir menangis. Ya, aku bekerja sebagai asisten arsitek di salah satu perusahaan baru di Jakarta.
"Wah, itu keren! Nantinya aku akan minta bantuanmu untuk menghias rumahku."
"Kau akan lama di Amerika, aku yakin itu."
"Santiii... Aku mohon berhentilah khawatir bahwa aku tak akan kembali."
"Sudahlah. Aku ingin pulang, aku lelah. Sekarang sudah tengah malam. Memangnya kau tidak bersiap - siap untuk besok?"
"Sudah selesai."
"Rio..." aku berujar, Rio pun memanggilku, "Santi..." Kami berdiri berhadapan sekarang. Aku pasti akan sangat merindukan sahabatku ini.
"Tunggulah aku untuk kembali."
Aku hanya mengangguk pelan. Masih menunduk, tak mampu menatap matanya dan wajahnya. Rio memegang pipiku. Pipi tirusku bisa merasakan sentuhan lembut tangannya. Dia mengangkat wajahku agar bisa bertatap dengannya. Aku rindu dengan wajah blasterannya. Wajah khas Inggris dan Indonesia. Perpaduan yang rupawan, dengan alis cukup tebal dan wajah yang lumayan putih. Sebenarnya beruntung sekali diriku mendapatkannya.
"Percayalah aku akan kembali." ujar Rio mantap. Aku mengangguk dan masih menatap matanya. Keheningan menyeruak, kami masih berdiri dan bertatap sampai kurasakan bibirnya menyentuh lembut bibirku meninggalkan jejak rasa yang tak diungkapkan, Bintang Jatuhku pergi untuk mengejar cita-citanya.
Comments
Post a Comment