Skip to main content

Bersyukur



MALAS. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku hari ini. Aku sudah memasang alarm, menaruh ponsel ku sebagai alarmnya tepat di sebelah tempatku beristirahat dan memasang nya untuk tiga kali waktu berbunyi. Tetap saja, aku merasa malas.
Hari ini adalah hari Selasa. Aku harus berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ya, karena kantorku cukup jauh, paling tidak aku harus berangkat jam 6 pagi dari rumahku. Jarak kantorku sekitar 25 km dengan bus yang harus aku naiki, yang harus transit di tiga tempat berbeda. Tapi, karena aku punya kendaraan pribadi yaitu motor, aku bisa mengirit ongkosku untuk transportasi tersebut. Aku bangun dengan susah payah ketika akhirnya Ibuku memanggilku dengan cukup keras.
“Lily!!!” Ujarnya. Ibuku sudah tahu sekali kalau aku belum turun ke lantai dua berarti aku belum bangun. Ibuku kumintai tolong untuk membangunkanku. Baiklah!
“Aku sudah bangun, Bu.” Ujarku kencang juga. Aku pun bergegas. Hah, baiklah, mau tidak mau aku harus berusaha.
Aku pun bersiap-siap. Jam masih menunjukkan pukul 05.30 pagi. Aku pun mempersiapkan diriku hanya dalam waktu 15 menit, sisanya kugunakan untuk mengisi perutku dengan sarapan yang sudah disiapkan ibuku. Sarapan sederhana, sekali lagi, aku hanya harus menikmati sarapan dengan mie instan goreng dan lima iris tempe. Sepiring nasi kusiapkan untuk diriku lalu aku menikmati dengan kedua lauk-pauk itu.  Beda sekali ketika dulu aku bisa makan dengan lauk-pauk kaya protein seperti daging sapi atau ayam dan keluarga ku bisa pergi makan di luar setiap minggunya. Roda berputar.
Ku naiki motor kesayanganku. Motor keluaran pabrik terkenal dari Negara Jepang berwarna merah yang selalu menemaniku kapanpun aku pergi. Dengan malasnya kunaiki motor tersebut. Ku lajukan perlahan sambil berpamitan dengan Ibuku yang mana selalu menemaniku untuk bersiap sampai aku pergi menghilang dari depan rumahku.
Di perjalanan, seperti biasa, macet luar biasa. Pagi hari ini aku harus bersaing dengan ribuan motor yang juga punya tujuan sama denganku. Mencari pundi-pundi kehidupan dari pagi hingga malam hari. Bersaing pula diriku dengan orang-orang yang mengantar anak-anaknya untuk menimba ilmu di beberapa sekolah dekat rumahku. Sungguh luar biasa. Sampai pada waktu dimana aku terpaku pada seorang lelaki tua yang mengangkut dua keranjang buah yang terlihat sangat berat.
Aku tertunduk malu dengan kejadian itu. Lelaki tua itu saja masih sangat bersemangat mencari nafkah dengan menganggkut beban yang sangat berat untuk pundaknya. Bukan hanya itu, aku yakin, kehidupannya pun juga sangat berat karena dia harus bekerja mencari nafkah pagi-pagi sekali. Pertanyaanku dalam hati, memangnya ada orang yang ingin membeli buah-buahan dagangannya itu di pagi hari seperti ini.
“Din… Din… Din…” bunyi klakson yang kuyakini ditujukan kepadaku berbunyi sangat keras. Aku tersadar dari lamunanku karena melihat lelaki tua tadi. Sial! Kataku dalam hati. Lelaki yang menaiki motor besar itu melengos di sampingku sambil menatap ku sebentar. Memangnya jalanan hanya milikmu saja. Dasar! Tapi, kalau dipikir, semua itu juga salahku memang, aku melamun dan tak fokus dengan jalan di depanku. Aku tertawa dalam hati.
“Akhirnya…” Aku melepas helm ku lalu membuka jaket dan bergegas masuk ke kantorku. Kantorku tidak besar. Dengan aku yang hanya menjadi petugas administrasi dengan gaji yang tidak terlalu besar. Ya, begitulah, aku hanya lulusan SMA yang mencoba peruntungan untuk bekerja di usia muda. Terpaksa ku jalani tapi ternyata aku mendapat keuntungan itu.
***
“Aku pulang ya!” Ku berpamitan dengan yang lain. Hah, harus pulang dan harus menghadapi kemacetan lagi. Tapi, kalau dipikir, aku sudah melakukan hal ini selama hampir setahun. Masa, dengan kemacetan saja aku harus menyerah.
Aku melihat temanku Dita menangis tersengguk. Dia di rangkul oleh Laras temanku satu bagian. Aku menghampirinya dengan segera.
“Ada apa?” Aku langsung merangkulnya dengan segera. Sambil saling menatap dengan Laras yang wajahnya ikut sendu seperti Dita.
“Mamanya sudah pergi ke rahmatullah.” Ujar Laras pelan tapi aku masih bisa mendengar. Aku pun langsung memasang wajah sedih. Tak terasa aku merasakan kesedihan yang luar biasa juga. Aku menitikkan air mata. Aku dan Laras menemani Dita sampai ia dapat taksi untuk langsung pulang kerumahnya. Aku jadi teringat dengan cerita Dita bahwa Ibundanya sudah lama mengidap penyakit Kanker Payudara.
“Hati-hati ya!” aku pun berujar padanya. Laras ikut dengan Dita. Aku langsung mengikuti mereka dari belakang menggunakan motorku.
Sesampainya di rumah Dita, suasana sudah ramai. Ramai dengan orang yang melayat kerumah Dita. Ada beberapa orang yang menangis, tertunduk lesu, dan juga orang yang berlalu lalang menyiapkan peralatan ataupun tenda untuk digunakan sebagai tempat berteduh. Aku tertegun. Tertegun dengan banyaknya orang yang masih peduli dan kenal dengan Ibunda Dita. Tertegun karena aku harusnya sangat amat bersyukur, aku masih punya Ibu yang selalu menemaniku sebelum aku berangkat menuju tempat kerjaku. Aku langsung pamit dengan Dita selesai berdoa di depan mendiang Ibundanya. Aku bergegas pulang, bergegas untuk memeluk Ibuku.
Sesampainya di rumah, Ibuku ternyata sedang tidur. Terlihat tenang sekali tidur pulas Ibuku. Aku mencium pipinya cukup lama sampai membangunkannya dari tidur. Dia bingung melihatku ada di depannya.
“Ibu lelah!” ujarnya pelan. Aku tahu, Ibuku juga sekarang banting tulang kecil-kecilan untuk membantu berjalannya kehidupanku dirumah. Ayahku sudah tak bekerja lagi. Paling-paling hanya menerima tawaran dari temannya sebagai orang bantu-bantu. Kakak, Rendi, juga bekerja membantu kehidupan keluarga kami. Tapi, semuanya membuatku tersadar.
Malas yang biasa menyerangku tak ada apa-apanya. Lihat lelaki tua pagi tadi, aku merasa sangat beruntung bekerja sebagai petugas administrasi, tidak perlu mengangkut-angkut beban berat. Melihat orang tua temanku yang meninggal tadi, aku bersyukur, aku masih bisa lihat senyum Ibuku selepas tidur. Terkadang aku marah, sedih, terjatuh. Lily yang dulu suka bersenang-senang, sekarang harus mengurangi kebiasaannya menghamburkan uang. Semua roda yang sedang berputar ini menunjukkanku betapa besarnya kuasa Allah SWT yang masih aku rasakan sampai saat ini.
Terkadang kita memang jatuh, tapi hal-hal kecil akan membangkitkan semangat kita, bahwa kita ini masih mempunyai keberuntungan keberuntungan kecil yang ada di sekitar kita yang terkadang beberapa orang kurang menyadarinya.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...