Inspired by If You Ever Come Back the song from The Script.
Aku lemas tak berdaya. Aku tidak kuat lagi menahan ini
semua. “Dita, lo kenapa ?” ujar temanku disampingku. “Gue agak pusing, terus
badan gue pada sakit semua…” ujarku padanya. “Duduk yuk sini..” ujarnya sambil
menahan diriku dengan kedua tangannya. “Lo sering banget kayak gini, gak coba
periksa ke dokter ? Badan lo juga keliatan tambah kurus Ta.” Ujarnya khawatir.
Sahabatku yang bernama Dian ini sangatlah baik padaku. “Mungkin apa kata kamu
aku harus lakukan Dian. Aku udah merasakan ini setahun belakangan. Tapi….”
Ujarku menggantung kalimat. “Tapi apa ? Udah setahun sakit tapi belum di
periksa juga ?” ujarnya kaget. “Iya. Tapi ibuku gak akan mau tahu Di.. Ibuku
hanya ngasih aku obat penghilang rasa sakit terus. Malahan, aku dimarahin
terus.” Ujarku lemas. “Kamu kenapa baru bicara sama aku sekarang. Udah yuk, aku
anterin, aku yang bayarin dulu. Masalah kamu ganti uang aku, itu nanti deh.”
Ujarnya khawatir. “Makasih ya..” ujarku singkat. Karena memang hanya kata itu
yang bisa aku lontarkan saat itu.
“Mohon maaf sebelumnya, saya harus memberitahukan kabar
buruk ini.” Ujar Dokter yang memeriksaku tadi. “Kenapa dok ? Parah sekali ya
sakitnya teman saya ini.” Tanya Dian penasaran. Dian adalah anak yang sangat
baik. Aku sampai bingung membalas kebaikannya. Ibunya pun juga baik, hanya
Ibunya sangat protektif terhadap anaknya ini. Kalau belum kenal betul dengan
temannya, Ibunya agak khawatir terhadap Dian. “Dita, kamu… Kamu.. Ini saya
berikan saja amplop hasil pemeriksaan kamu.” Ujar Dokter itu dengan muka yang
sangat tidak enak. Aku mengambil amplop itu. Dian mempersilahkan aku membaca
isi amplop itu. Kubuka perlahan amplop itu dan aku membaca perlahan. Aku
tersentak dengan tulisan. “Anda terkena penyakit HIV/AIDS” dengan sangat
menyesal kami harus menganjurkan anda untuk tinggal di rehabilitasi yang sudah
kami sediakan. Biaya semua ditanggung oleh yayasan. Aku membuang kertas itu
lalu keluar dari ruangan dokter yang memeriksaku. “Dosa apa aku Tuhan..” ujarku
pada diri ini. Aku meninggalkan Dian dan Dokter yang ada di dalam ruangan itu.
Aku berlari kea rah toilet yang ada di rumah sakit itu.
“Kamu tuh jangan sok lemes begitu Dita. Kalau sakit ya minum
obat. Mama kan udah bilang sama kamu.” Ujar Ibuku tiba – tiba ketika aku sedang
asyik menonton tv untuk melupakan masalah besar dalam hidupku. “hmmm.” Ujarku
hanya mendeham. “Ma, Kalo misalkan penyakitku parah, apa yang mama lakukan ?” ujarku
bertanya. “Kamu ngomong apa sih ?” ujar mamaku ikut menonton tv denganku. Dia
tak menjawab lagi. Kami berdua terdiam. “Mau kemana ?” ujar mamaku ketika aku
ingin meninggalkan ruang tv. “Mau merenung di kamar.” Ujarku membalas. Mamaku
tak menjawab. Aku masuk kamar. Aku duduk di sudut kamarku. Memikirkan apa yang
semua ini terjadi. Aku jadi ingat ayahku yang meninggal karena penyakit yang
sama yang aku derita saat ini yang mamaku belum mengetahuinya. Rumah ini akan
sangat sepi ketika aku tinggalkan lagi. Aku juga tidak akan sering – sering
ketemu Dian untuk bermain bersama, sharing bersama. Semua akan berubah.
Seminggu Kemudian.
“Bantu aku ya bilangin ke mama kalau aku harus ke
rehabilitasi. Aku juga udah bawa semua bajuku waktu mamaku pergi dan rumah
kosong. Aku udah siapin semua pada saat rumah sepi itu. Jadi mamaku belum
tahu.” Ujarku pada Dian. “Kenapa kamu gak ngasih tahu mama kamu ? Ini kan
penting Dita, ini menyangkut hidup kamu.” Ujar Dian kesal padaku. Aku tiba –
tiba mengeluarkan air mata. “Aku gak sanggup nyakitin Ibuku lagi. Setelah Ayah
gak ada, aku gak mau selalu nyakitin Ibu aku.” Ujarku pada Dian sambil terisak.
Seketika dia memelukku. Dian sosok yang beda. Tidak takut terhadap diriku yang
mempunyai penyakit yang sangatlah di takuti di seluruh dunia. “Kamu.. Kamu
masih mau temenan sama aku ?” ujarku padanya sambil menatap matanya. “Masih.
Emang kenapa ?” ujarnya bertanya. “Kamu gak takut sama aku yang udah kotor
dengan penyakit ini ?” ujarku padanya. “Kenapa harus takut ? Itulah gunanya
teman. Jangan hanya enak disaat senang, disaat duka harus juga ikut. Aku tahu
penyakit kamu bahaya. Aku juga harus protektif sama diri aku. Tapi kamu itu
lagi butuh sosok seorang teman.” Ujarnya yang tiba – tiba mengeluarkan air mata
juga. “Makasih ya Dian. You’re my best best friend.” Ujarku sambil memeluknya.
“Iya. Yah, bakal sepi ya, kita gak bakal jalan bareng lagi. Gak bakal cerita
bareng, makan bareng, nonton bareng lagi.” Ujarnya sambil tersenyum dan
menangis. “Suatu saat. Doain aku ya..” ujarku padanya.
Dua hari Kemudian.
“Dita…” ujar mamaku sambil memelukku. Aku hanya terdiam
ketika dia memelukku. “Kenapa ma ?” ujarku sambil melihat mamaku. “Maafin mama
ya sayang. Semua ini pasti salah mama yang cuek sama kamu..” ujar mamaku
terisak. Pasti Dian udah ngasih tahu. Dan mama pasti khawatir kenapa aku gak
pernah pulang dua hari belakangan ini. “Iya Dita udah maafin mama lama. Dita
gak mau nyakitin mama terus.” Ujarku terisak juga mendengar tangisan mamaku.
“Kamu kenapa gak ngasih tahu mama ???” ujar mamaku agak marah. “Dita Cuma gak
mau nyakitin mama terus. Mama udah sedih atas kepergian papa.” Ujarku padanya
perlahan. Mama dan aku terdiam.
Setahun Kemudian.
“Mama senang kamu udah boleh pulang. Mama gak bisa
ngebayangin kalo kamu gak akan pernah kembali karena harus di rehabilitasi
terus.” Ujar mamaku sambil memelukku. Hah… setelah setahun aku tinggal di
Rehabilitasi, akhirnya aku kembali ke rumah tercintaku ini. “Aku juga senang
ma. Aku mau ke kamarku ya ma. Aku ngantuk. Hehe.” Ujarku pada mama. “Iya
sayang. Istirahat deh, nanti kalau makanan udah jadi mama bangunin kamu ya.”
Ujar mamaku lembut. “Sip ma..” jawabku.
Sebelum aku tidur, aku mengambil air wudhu setelah itu
solat. Aku bersyukur atas hari ini. Aku bisa kembali pulang dan memeluk mamaku,
makan bersama mamaku. I love you Mom. Aku pun membereskan semua perlengkapan
itu. Aku tertidur pulas…
“Mama”
“Dita… Dita… Bangun sayang.. Makanannya udah siap..” ujarku
pada anak tercintaku ini. Aku mengetuk pintunya Dita tak juga bangun. Aku agak
khawatir terhadapnya. “Dita… Dita.. Bangun sayang, kamu emang gak nyium wangi
aroma masakan mama ?” ujarku lagi. “Dita… Dita….” Aku panggil kesekian kalinya.
Ku periksa matanya. Ku pegang tubuhnya. Dingin. Ku pegang denyut nadinya.
Seketika aku menangis sambil memanggil namanya. Dia.. Dita Ananta sudah
menyusul Ayahnya. Dan disini aku sendiri karena dua orang kesayanganku
meninggalkanku.
Comments
Post a Comment