Part
2
“Beneran
mau kencan sama Alexandra ? Sama aku maksudnya ? Hehehe..” Ujar Nina terkekeh.
“Yah,
sama kamu mah udah sering, maksudnya sama Alex teman sekelas aku.” Ujar Danny
menjelaskan.
“Iya
tahu Danny, tahu… Yaudah coba aja Dan. It would be amazing thing for you, right
?” Nina tersenyum dan menaruh majalah. “Emang mau kapan kencannya ? Emang Alex
mau ? Hahaha.” Tambah Nina.
“Besok.
Besok kan sabtu malam. Mau, aku udah bilang sama dia tadi.” Ujar Danny. Nina
terdiam. Dalam hati Nina ada perasaan yang sangat tidak enak menyelekit
dihatinya. Perasaan yang biasa disebut cemburu.
“Wah,
yaudah lanjut aja, Dan. Abis itu ceritain keseruannya sama aku ya.” Ujar Nina
membetulkan posisi duduknya dan membaca majalah itu lagi. Tapi, Nina tidak
membaca majalah itu, tapi menerawang jauh ke dalam salah satu artikel yang
sedang di bacanya. “Jatuh cinta kepada sahabat ? Kenapa Tidak ?” Hati Nina
terhanyut tak memungkiri bahwa dia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, Danny.
Tapi Danny lebih memilih yang lain.
“Haduh…
Bete banget ya, ke taman aja deh.” Ujar Nina. Dia pun pamit pada Ibunya dan
keluar menaiki sepedanya yang biasa ia bawa ketika bermain bersama Danny. Nina
membayangi hubungannya dengan Danny yang berjalan baik dan membayangkan jika
mereka berdua bersatu.
***
“Thank
you..” ujar Nina setelah menerima kembalian dari tukang hot dog yang ada di
pinggir jalan taman yang ia datangi. Suasana taman saat itu tak begitu ramai.
Nina sendirian yang asyik memakan hot dog yang di pegangnya melihat ke
sekeliling taman pada saat itu. Sampai suatu pandangan berhasil membuat dia
terdiam dan menjatuhkan hot dog nya.
“A
Kiss ? Danny with Alex ? What ?” ujar Nina yang terkaget dan tak percaya apa
yang baru saja dilihatnya.
***
“Thank
you.” Ujar Danny setelah mencium Alex.
“So,
we’re together now ?” ujar Danny pada Alex. Alex mengangguk. Dalam hati Danny
dia sangat bahagia sekali tanpa tahu bahwa ada yang melihat dan ada yang
tersakiti akan kebahagiaannya itu.
****
“Kenangan
yang buruk.” Ujar Nina lirih sambil meminum kopinya di sebuah kedai kopi di
dekat kantor beritanya tempat ia bekerja. Nina sedang menunggu seseorang.
Seseorang yang lama sekali tak bertemu dengannya. Seseorang yang sekarang sudah
sukses dengan bandnya. Seseorang yang berhasil mewujudkan impiannya menjadi
musisi. Seseorang yang sampai sekarang masih dia simpan perasaan sukanya.
Seseorang yang special di hati Nina.
“Danny…
Hi…” ujar Nina sambil melambaikan tangannya. Nina terpana dengan keadaan Danny
yang sekarang. Danny terlihat lebih tampan, tinggi dan rambutnya terlihat lebih
keren, tidak seperti dulu yang bergaya belah tengah ala anak 90an.
“You
look great, Nina..” ujar Danny lalu memeluk Nina erat, Nina membalasnya dan
mencium pipi kanan kiri Danny.
“Thanks.
You, too. Apa kabar Danny ? Long .. long.. long… time no see.” Ujar Nina
sumringah.
“Mark
sama Glen mana ?” ujar Nina lagi bertanya.
“Hmm,
mereka tak bisa ikut. Jadi aku aja yang kesini. Kamu, kamu memang sudah pulang
?” ujar Danny bertanya karena tak enak jika mengganggu waktu bekerja Nina.
“Sudah,
tenang saja. I’m free already this afternoon until night. Kamu memang tidak ada
konser malam ini ?” Tanya balik Nina.
“Tidak.
Konsernya baru besok. Tadi habis soundcheck, kamu text aku jadi aku bisa dateng
deh.” Ujar Danny tersenyum.
“Ohh…”
ujar Nina lalu menyeruput kopinya lagi. Mereka terdiam cukup lama.
***
“Kamu…”
mereka berujar bersamaan, sampai mereka berhenti lagi.
“Kamu
duluan deh..” ujar Danny terkekeh.
“Kamu
aja, kayaknya mau nanya yang penting.” Senyum Nina.
“Yaudah,
emang dari dulu kamu ngalah terus. Kamu betah gak di New York ?” tanya Danny.
“Betah
kok.”
“Ohh…”
“Oh
iya kamu kan belum pesan, aku panggilin pelayannya dulu ya.” Nina pun
melambaikan tangannya pada pelayan dan pelayannya menghampiri. Danny memesan
makanan dan minuman yang ia inginkan.
“Kamu
gak mesen makanan ?” tanya Danny.
“No
thanks. I’m not hungry.” Ujar Nina lalu membuang mukanya melihat ramainya kota
New York hari itu.
“So,
how’s your band ?” tanya Nina membuka pembicaraan lagi.
Danny
terdiam. Danny terdiam karena melihat Nina sudah beda sekarang. Nina terlihat
lebih cantik dan lebih dewasa walaupun belum bisa melepas kebiasaannya memakai
sepatu converse. Danny tahu hal itu karena sejak dia datang, dia memperhatikan
penampilan dari Nina.
“Danny..
Kamu kenapa bengong begitu ?” tanya Nina.
“Ahh,
Sorry, aku inget sesuatu, tadi kamu tanya apa ya ?” tanya Danny sambil
menggaruk kepalanya.
“Ya
ampun Danny.. Aku tanya, bagaimana band mu sekarang ?” ujar Nina dengan suara
agak tinggi.
“Maaf
ya Nina. Band ku ? Oh Band ku sedang sibuk tour dan pembuatan album ketiga.
Minggu depan aku terbang ke LA untuk tahap rekaman. Disana ada teman kami yang
akan membantu untuk album ini.” Ujar Danny menjelaskan.
“Oh,
bagus kalau begitu. Kamu terlihat makin sukses. Aku kalah darimu.” Ujar Nina
lagi kali ini menyeruput kopi nya di seruputan yang terakhir.
Danny
tersenyum. “Aku akan bayarkan ini semua karena ini pertemuan kita lagi setelah
kita sudah lama tak bertemu.” Ujarnya setelah itu.
Nina
tersenyum. Dalam hati Nina dia bahagia sekali bisa bertemu dengan Danny lagi.
Akhirnya setelah Danny dan Nina selesai makan dia pun bergegas untuk berjalan –
jalan untuk mengelilingi kota New York.
***
“Hi
Nina, This is Eddie.” Nina membaca sms nya yang baru masuk ke handphonenya
ketika dia sampai di depan pintu apartemennya. Hari yang indah dan malam yang
indah telah ia lewati bersama sahabatnya Danny. Kali ini Nina tersenyum dengan
sms yang datang dari Eddie. Dia pun bingung kenapa dirinya tersenyum lebar
ketika dia menerima sms dari Eddie tersebut.
“I
save your number. Thanks for calling me.” Balas Nina lalu menekan tombol Sent.
“Beautiful
Day Danny. Thanks for tonight.” Nina mengirimkan sms juga kepada Danny yang
sudah menemani dia berjalan – jalan hingga larut malam. Jam menunjukkan pukul
sebelas malam. Tidak ada balasan dari Eddie maupun Danny. Nina pun hanya
tersenyum dan berpikir kalau mereka sudah terlelap tidur.
***
Danny
bersandar di tempat tidur kamar hotelnya. Glen dan Mark keluar sebentar untuk
membeli beberapa botol Guinness dan makanan untuk persediaan mereka selama di
New York. Tak lama terdengar bunyi ketukan dari luar.
“Excuse
me. Ahh, Danny. Mark dan Glen ada ?” Ujar manager Danny masuk melihat keadaan.
“Hey
you. Ahh, Umm, mereka bilang, mereka keluar untuk membeli minuman dan makanan
untuk persediaan.” Ujar Danny tersenyum. Manajernya mengangguk dan menutup
pintu kembali.
***
“Me
too. Maybe you’re tired now. Makasih juga udah ngater aku keliling kota New
York.” Ujar Danny tersenyum lalu menekan tombol Send.
Hari
dan malam yang indah juga bagi Danny. Setelah mereka berdua sudah lama tidak
bertemu, akhirnya mereka bertemu lagi. Quality time mereka berdua membuat Danny
berpikir yang tak biasa. Apa iya hatinya mempunyai perasaan pada Nina ? “Kenapa
aku baru merasakannya sekarang Nina ? Kenapa aku baru sadar ?” ujarnya lirih.
“I’m
coming..” ujar Glen yang masuk membuka pintu dan membawa beberapa kantong
belanjaan.
“Ahh,
my Guinness is coming.” Ujar Danny lalu menuju belanjaan Glen. Glen bingung
dengan Danny yang begitu bahagianya malam itu.
“Kau
terlihat senang Danny, mau berbagi ?” ujar Glen yang ingin tahu. Mark melepas
sepatunya dan berkata, “Dia habis bertemu teman lamanya.”
“Hahaha…”
Danny hanya tertawa dan menegak perlahan Guinness sampai habis.
***
“Kelihatannya
ada yang sedang jatuh cinta.” Ujar Ryan tiba – tiba kepada Eddie. Eddie masih
asik dengan handphonenya. Bermain twitternya dan mengirim sms kepada Nina.
“You
know me so well, Ryan.” Senyum Eddie menengok sebentar ke arah Ryan.
“Hahaha..
I knew it.” Ujar Ryan lalu membuka sodanya yang dia bawa.
“Hah….”
Ujar Brent lalu duduk bergabung dengan mereka semua. Brent terlihat lelah
membuat Eddie ingin bertanya.
“Kau
kenapa ? Tidak biasanya.” Tanya Eddie sambil bermain handphonenya.
“Alex
mau kembali ke Irlandia, dia bilang dia tidak tahu kapan akan kembali dan dia
minta aku….” Brent menggantung kalimatnya.
“Minta
untuk apa ?” ujar Zach yang tiba – tiba datang.
“Minta
untuk break sampai kita bertemu lagi. Sampai Alexandra kembali ke Denver.” Ujar
Brent lalu mengeluarkan handphonenya dan menatap kosong foto pacarnya itu.
“That’s
the hardest time, Brent.” Ujar Zach bijak. Mereka semua terdiam dan mengganti
arah pembicaraan mengenai projek album ketiga mereka.
Comments
Post a Comment