Skip to main content

Dialog Kopi #5

 -Tetap Menulis-

"Menjadi tenang itu barang berharga di kala era disrupsi saat ini. Bukan perkara disrupsi saja, hal-hal sesederhana media sosial dan pengaruhnya, menjadikan orang malah semakin sulit berkomunikasi, bukan mempermudah. Sulit menjadi dekat, karena yang jauh adalah jiwa dan raga aslinya, tapi yang dekat foto jiwa dan raganya. Selain itu, ketenangan jiwa kadang terusik, dengan foto-foto yang dijajarkan di media sosial seseorang atau yang berasal dari suatu entitas, yang bisa membuat seseorang berpikir, bahwa kalau belum mencapai suatu hal yang 'wah' seperti itu, belum bisa tenang hidup. Padahal semua hal dari pencapaian sampai ketenangan diri bisa dicapai dan dilakukan oleh diri sendiri."

"Glen!" Panggil seseorang kepada seorang lelaki yang memilih untuk bergaya 'gundul' alias tak ada rambutnya sama sekali. Lelaki itu sedang menulis satu paragraf penting dalam buku yang sedang digarapnya tentang pengaruh disrupsi pada psikologi seseorang. Wajah tegasnya menengok kanan dan kiri mencari sumber suara. Matanya bulat berwarna hitam kecoklatannya jeli melihat orang-orang yang sedang berkumpul dan berkunjung di salah satu kedai kopi di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Kedai kopi yang tadinya sepi, karena banyaknya influencer yang datang dan berita yang beredar, kedainya menjadi terkenal dan banyak orang yang datang mengunjungi.

"Hoy, Bella!" Balas lelaki itu sambil melambaikan tangan ke arah perempuan yang dipanggil Bella. Perempuan itu berambut pendek, berwajah lonjong, berkulit kuning langsat, dan bermata bulat. Ada sedikit luka di dagunya, lebih ke arah pipi kirinya, akibat tragedi kebakaran yang ia alami beberapa tahun silam. Bella adalah perempuan tinggi semampai dan bertubuh kurus.

"Glen, ya ampun. Sorry banget telat, jalan menuju ke sini tadi macet banget. Maklumlah mau tahun baru, orang-orang udah libur, dan ditambah ini hari Sabtu pula." Jelas sang perempuan lalu duduk berhadapan dengan Glen. Glen bertanya apakah Bella sudah memesan minuman, dan dijawab belum, dan Bella bergegas untuk memesan minuman dan makanan.

Glen memerhatikan gerak gerik Bella dari kursi yang ia tempati hingga meja kasir. Perempuan pintar yang sudah menjadi editornya selama dua tahun. Bella pindah dari tempat kerjanya yang dulu, bekerja menjadi Editor di salah satu start-up perusahaan self-publishing yang sudah gulung tikar. Ia kembali bekerja setelah setahunan mencari pekerjaan di ranah yang sama. Bella kembali ke bangku tempat Glen duduk dan sedang sibuk merampungkan esai mengenai psikologi dan disrupsi di era teknologi. 

"Gimana naskahnya?" Tanpa ada basa-basi, Bella langsung bertanya.

"Sulit. Apalagi di bab-bab akhir. Lagi banyak kendala hidup." Glen menjawab malu sambil terkekeh.

"Ya ampun, bujangan kayak lo tuh mikirin apa sih Glen?"

"Bujangan Sandwich Generation tuh banyak yang dipikirin."

"Tapi Bujangan yang 3 bukunya sudah diterbitkan dan jadi yang terbaik di hampir seluruh toko buku Indonesia, loh!." Balas Bella. Mereka pun terdiam. Glen menyeruput pelan gelas kedua Cafe Latte panasnya. Di sela-sela minum kopi, Glen sempat lapar dan memesan nasi goreng kambing, menu makanan yang terkenal di kedai yang ia kunjungi. Kemudian ia merasa mengantuk dan kembali memesan kopi.

Belum dimulai kembali perbincangan antara Glen dan Bella, seorang pelayan kedai menghampiri Bella. Pelayan kedai perempuan berambut panjang dan memakai masker itu meletakkan pesanan Bella, satu gelas Espresso Matcha Latte dingin dan kentang goreng. 

"Makasih ya mbak! Glen, yuk ngemil." Pelayan kedai itu mengangguk berbarengan dengan anggukan Glen.

"Iya, Bel. Terima kasih. Lo enggak makan?"

"Gue udah makan di rumah tadi. Ibu gue masak oseng paru balado. Sayang-sayang kalau di makan nanti, nikmatnya hilang. Ngomong-ngomong, ada apa memang lo stuck menulis?"

"Ada banyak sih. Terutama Ibu dan Bapak gue yang sekarang lebih silent treatment gue, karena gagal terus di dalam hubungan dan belum jadi menikah. Lo tahu sudah umur 30an gini kan, tuntutannya apa?"

"Iya, bingung gue juga. Gue malah lagi sering ditanya. Padahal dulu udah sempat enggak ada yang tanya-tanya lagi." Bella mencoba menyauti. Glen hanya mengangguk, "Terus kenapa lagi?"

"Adalah urusan keluarga yang agak rumit. Gue sempat libur dua minggu menulis kemarin, bahkan hanya baca beberapa halaman buku saja."Jelas Glen. 

"Wah, berarti lumayan berpengaruh ya." tukas Bella. Ia menikmati Espresso Matcha Latte dinginnya dan sesekali memejamkan matanya. Di luar ruangan yang sedang panas terik, minumannya sedikit menenangkan pikirannya.

"Tapi, akhirnya berlanjut?" Tanya Bella selanjutnya. Glen menghela nafas tak langsung menjawab. Ia ingat sebuah kejadian yang akhirnya membuatnya melanjutkan dirinya kembali untuk menulis. Ia coba perhatikan baik-baik apa yang terjadi selama kegiatan menulisnya ia lakukan. Ia merasa lebih tenang saat menulis, merasa lebih lepas dalam menuliskan kejadian yang terjadi atau angan-angan yang ia ingin capai. Glen juga merasa, dengan menulis ia bisa mengistirahatkan pikirannya dari media sosialnya, yang ia tak bisa pungkiri, memang keberadaannya masih penting untuk karirnya. Ia tak harus lama-lama menatap layar ponselnya, memindah-mindahkan akun,dan atau melihat kejadian atau pencapaian orang lain, yang terkadang membuatnya cemas sendiri. 

Glen kembali menghela nafas dan tersenyum, "Harus tetap dilanjut. Seru aja kalau bisa terus menulis, dan membaca. Selain gue bisa berbagi, pun gue bisa membuat diri gue lebih bersyukur dan berefleksi atas apa yang gue punya sekarang."

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...