-Dua Gelas Kopi, Obrolan, dan Mimpi-
"Mau kemana lagi?" Tanyanya dengan senyum. Senyum itu membuatku membeku, padahal dia bukan siapa-siapaku.
"Kita ke kedai kopi aja. Gue udah kenyang Mie Aceh, Li." Balasku padanya. Ali, seorang lelaki yang aku sudah hampir 6 bulan ini sama-sama bekerja denganku. Dia sungguh amat penuh kejutan. Seperti malam ini, seperti ia tak mau mengakhiri malam kami, untuk kesekian kali menghabiskan waktu bersama.
"Dihabiskan dong." Tukasnya. Aku menggeleng.
Kami membawa kendaraan masing-masing. Ini yang membuat aku belum yakin kita ini ada sesuatu atau tidak. Rambutnya yang sudah agak panjang, bahkan ia hampir punya poni, menutupi wajahnya, sesekali ia betulkan. Kulitnya hitam manis, hidungnya tak mancung, matanya tidak lebar, tapi yang membuatku terpana kala ia kalau sudah serius, ditambah hiasan kacamatanya. Duh!
"Lo jangan kegeeran, Rani. Siapa tahu, ya mungkin lo pelariannya aja." Tukas satu temanku.
"Ya mungkin dia memang kasih sinyal." Tukas temanku yang lain selepas aku menceritakan apa yang terjadi denganku dan dia.
Dari kedua pernyataan itu, entah kenapa, aku lebih suka pernyataan yang membahagiakan. Mungkin saja memang ini sinyal.
Kami sampai di salah satu kedai kopi di kawasan sekitar Ceger, Jakarta Timur. Konsep kedai kopi itu sederhana, namun berlantai dua. Kedai itu dihiasi beberapa foto pohon dan biji kopi, serta beberapa frame foto berisi kata mutiara tentang kopi. Kami memilih untuk berada di lantai dua. Ali bilang ia sedang ingin merokok. Namun, biasanya memang jarang.
Kami duduk berhadapan. Angin malam itu cukup kencang. Rambutku yang panjang, serta memiliki poni yang panjang pula, sesekali menutupi wajah tirusku. Mata kecil nan sipitku juga kadang-kadang terkena rambutku yang berhembus itu. Aku merapatkan jaket warna hitamku untuk menyelimuti tubuh gempalku.
"Dingin." Ujarku, Ali tak menanggapi. Ia menyulut sumbu rokoknya, dan menghisapnya perlahan. Sesekali menyipitkan matanya karena angin yang berhembus, dan asap rokok yang dikeluarkannya.
Kami hanya membagi hening. Mungkin kami sibuk memikirkan beban dan tuntutan kerja masing-masing. Kami sama-sama bekerja di sebuah start-up, aku administrasi operasional dan ia orang operasionalnya. Jadi kenapa kami sering kerja bersama. Hari ini memang hari Jumat. Aku memutuskan pulang larut, walaupun besok aku masih harus masuk kantor setengah hari, namun tidak perlu bangun pagi, karena di Sabtu pagi biasanya jalanan tidak terlalu liar kemacetannya.
"Besok lo gak masuk kerja juga apa?"
"Idih, cuti lah." Tukasnya. Ia memang meminta cuti beberapa waktu lalu, ia juga sempat cerita, perihal itu via aplikasi mengirim pesan. Nadanya tegas, memang ia kalau sudah punya waktu sendiri dan istirahat tak mau diganggu. Kenapa aku tahu sekali tentangnya?
Hening kembali mendera kami.
"Speaking of which, lo enggak lagi deket sama siapa gitu?" Aku yang penasaran sangat dengan ia yang tak pernah cerita tentang hubungannya dengan perempuan, melontarkan pertanyaan ini.
"Enggak." Jawabnya singkat, tapi hatiku tak puas. "Lagipula masih banyak pertimbangan," Tambahnya. Aku hanya mengangguk perlahan.
"Hmm, masa sih?" Aku coba meledeknya.
"Iya." Balasnya singkat. Ia kembali menghisap rokoknya.
"Eh iya. Kita duduk aja, enggak pesan."
"Kocak," Kami berdua terkekeh. Aku tanya padanya ingin apa. Ia membalas, "Gue pesan yang kayak lo aja." Aku pun mengangguk.
"Dua Americano ya mas. Hot Americano." Pesanku pada kasir. Kasir itu berada di lantai bawah, begitu juga meja brewing. Suasana kedai kopi malam itu agak sepi, walaupun ada tiga orang yang mengobrol di lantai bawah ketika aku memesan. Mereka asyik sekali berbincangnya, karena sesekali obrolan mereka diselingi tawa yang suaranya, "wow," membuatku terpana. Aku pun selesai melakukan pembayaran, dan pesanan Americano itu akan diantar. Barista kedai itu memberi tahu. Aku pun kembali ke lantai dua. Ali sedang asyik melihat ponselnya. Sesekali memencetnya, karena ia pernah cerita, bahwa ia suka juga bermain game online. Sekali lagi, aku tahu tentangnya.
"Pesan apa lo?"
"Americano." Balasku, ia hanya mengangguk. Malam ini tak banyak obrolan yang tercipta. Entah kenapa terasa hambar. Namun, terkadang kami cukup menikmati keberadaan dan momen yang kami habiskan bersama ini.
"Jadi, lo ada pacar enggak, Ran?" Tiba-tiba sebuah obrolan yang aku tak sangka akan keluar dari mulutnya.
"Gue? enggak." Balasku singkat juga, seraya menunjuk diriku dengan jari telunjuk. Aku tak mau membahas hal ini sebetulnya.
"Oh. Haha. Gue kira."
"Kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Tanya aja."
Americano kami pun telah sampai di meja kami. Aku berterima kasih kepada barista yang mengantar, begitupun Ali.
Suasana kembali hening, masing-masing dari kami menyesap Americano yang telah tersedia, dan Ali kembali sibuk dengan ponselnya. Aku penasaran sebetulnya dengan hubungan ia. Aku sampai tak bisa membaca, sebetulnya Ali ini memang memiliki hubungan atau tidak dengan yang lain. Walaupun terkadang ia melakukan hal-hal manis padaku, seperti menungguku pulang layaknya malam ini, atau sekedar dan sekali kali membelikanku makan siang atau makan malam ketika harus lembur, dan banyak pesan-pesan manis darinya pada laman aplikasi chat kami.
Aku menyesap lagi Americano-ku, namun rasanya hambar, tak ada rasa pahit, bahkan rasa air yang hambar pun tidak aku rasakan.
"Rani!" Panggil seseorang, dan cahaya seperti menyilaukan penglihatanku. Aku pun membuka mataku. Samar-samar kulihat seorang perempuan membangunkanku.
"Bangun, lo belum solat subuh." Tukas seseorang itu lagi dan badanku digoyang-goyangkan. Aku coba menyadarkan diri. Astaga. Tukasku berkali-kali. Aku lupa aku sedang ada di Yogyakarta hari ini, untuk dinas. Aku menemani bosku yang juga perempuan. Telah lama aku naik jabatan di kantorku, dan Ali, sudah lama juga pindah kantor. Ternyata tadi cuma mimpi. Mimpi yang cukup nyata bagiku, yang membuatku berharap bisa bertemu Ali, yang mungkin sekarang sudah bahagia di tempat kerja barunya, dengan istri juga anaknya.
Comments
Post a Comment