Bicara tentang buku memoar, saya termasuk seseorang yang jarang membaca tipe buku ini. Cukup aktif rasanya, saya bisa akui bahwa saya menikmati buku jenis memoar dimulai sekitar 2 tahun lalu. Saya ingat buku memoar pertama yang saya baca ada buku memoar dari Ernest Hemingway, ketika ia tinggal di Paris.
Buku memoar ini ternyata bikin ketagihan, apalagi ceritanya tentang sebuah perjalanan, yang diisi berbagai pengetahuan. Kala itu saya sedang suka mencari buku tentang makanan dan seluk beluk bahan makanan, dan menemukan buku memoar perjalanan ini dengan judul Rumah di Tanah Rempah karya Nurdiyansah Dalidjo. Menilik isi profil penulis yang tertulis di bagian akhir buku, Nurdiyansah merupakan seorang jurnalis dan penulis aktif lepas, di berbagai media. Buku ini adalah buku non fiksi pertama saya, dengan halaman bukunya yang tebal yang bisa saya habiskan. Buku ini berhalaman sekitar 460an.
Sesuai dengan sub judulnya "Penjelajahan memaknai rasa dan aroma Indonesia" tentulah beberapa atau banyak orang pasti bisa menebak isi buku ini adalah perjalanan tentang berbagai macam cerita makanan dan bahan makanan di Indonesia. Betul, namun tidak semua. Dikemas dengan cerita perjalanan dari Sumatera hingga Papua, dimulai dengan gambar peta zaman penjajahan dulu, hingga diakhiri dengan refleksi tentang perjalanan itu sendiri.
Nurdiyansah memulai perjalanan dari pulau Sumatera dan diakhiri dengan perjalanan di pulau Maluku. Seperti yang saya bilang tadi bahwa ceritanya, tidak menyeluruh tentang makanan dan bahan makanan yang berkaitan dengan rempah, tapi cerita sejarah Indonesia, bagaimana rempah itu sendiri dijadikan sebagai harta benda berharga, yang bisa meletupkan perang daerah, bahkan dunia. Buku ini kaya akan pembahasan asal rempah, seperti cengkih, biji pala, dan merica. Buku ini juga sebagian mengandung bahasan bahasan Ironi yang bisa dikaitkan dengan zaman kolonial dan pengaruhnya untuk bangsa Indonesia saat ini. Mengutip satu kalimat dari sebuah pidato yang dihadiri oleh sang penulis sendiri di sebuah kawasan penggusuran di Jakarta,
Kita kehilangan kemajemukan membaca Indonesia yang beragam. Bukan hanya keragaman buday, tapi teritori organik yang tumbuh dengan habitatnya masing-masing. Ketika tergusur, kemajemukan ikut tergusur. Maka, kerugiannya adalah memperpanjang efek kolonial itu. Semacam efek yang bergerak secara otomatis.
Banyak catatan sejarah yang penting sekali diketahui. Bahkan, buku ini tidak hanya cocok untuk dibaca para penggemar memoar dan buku non fiksi dan sejarah, tetapi juga dibaca oleh semua kalangan, bahkan saya bisa bilang, penting dibaca oleh seluruh orang Indonesia. Buku yang merangkum sejarah Indonesia yang dibahas secara detil namun cukup mudah dimengerti. Bagian yang saya sukai adalah seberapa detilnya sang penulis menuliskan keterlibatan VOC, yang tidak hanya memperebutkan dan menjual belikan rempah yang mereka temukan, namun juga bagaimana semua hal itu mempengaruhi sejarah Indonesia hingga masa kini. Seperti satu kutipan lain tentang pembahasan rempah dan VOC,
.... Mungkin saja ada andil rempah dari kemegahan dan kecantikan kota-kota kuno di Eropa dan Konstantinopel.
Tetapi, adalah juga rempah telah memberikan rakyat di Nusantara serta bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika, dan Amerika, suatu kesadaran akan penindasan dan penghisapan yang berujung pada serangkaian perang dan pemberontakan untuk kemerdekaan.
Tak hanya tentang sejarah rempah, sang penulis juga cukup detil menjelaskan tentang sejarah setiap tempat yang ia datangi, baik sumbernya berasal dari penduduk setempat ataupun dari sumber bacaan lain, yang mumpuni. Jujur saja, terlalu banyak bahan yang saya serap dari buku ini. Saya selalu terkesima dengan penulis laki-laki yang bisa menulis sedetil dan seinformatif, contohnya seperti buku ini. Namun, ada beberapa bagian yang menurut saya cukup subjektif dibahas dari sisi penulis. Yang menurut saya juga mungkin mengundang kontroversi dan opini pembacanya.
Memang benar apa kata sebuah kata mutiara yang saya ingat yang bisa mendefinisikan saya setelah membaca buku ini,
“Reading is like travel, allowing you to exit your own life for a bit, and to come back with a renewed, even inspired, perspective.” - Laurie Helgoe


Comments
Post a Comment