-Saling Mengasihani-
"Ruwet."
Tulis Jena, teman kantorku yang sudah bekerja selama 3 tahun lebih, namun, selalu bilang bosan dan ingin resign, tapi sampai sekarang masih bertahan. Perempuan blasteran Kalimantan-Prancis ini, yang berambut panjang dengan warna rambut hitam kecoklatan dan hidung, yang menang mancungnya yang diturunkan ayahnya, sedang sibuk mengambil foto secangkir latte yang baru diantarkan oleh Barista, di cafe favorit kami, "Untung Ada Kopi."
Cafe yang sudah menjadi saksi kami berdua saling berbagi cerita, dari sedih, senang, sampai khayalan anehku tentang mimpi-mimpi yang sudah kutulis dan kurapikan apik di kolom blogku.
"Kenapa sih lo? Ruwet kenapa? Gue udah bilang, kalau mau resign ya resign aja." Tukasku dengan suara agak keras padanya.
"Enggak ah, gak jadi. Habis kemarin ada anak baru, brondong kece itu."
Aku terdiam, mengerutkan dahi dan coba mengingat-ingat.
"Oh, Raihan?"
Ia mengangguk cepat. Dengan sigap dan cekatan, ia sedang mengedit foto yang baru saja diambilnya, "Tuh gimana? Keren gak?" Tanyanya padaku, seraya menunjukkan hasil edit fotonya.
Aku mengangguk cepat. Tak usah diragukan, dengan kemahiran Jena dalam mengoperasikan media sosial. Ini sudah foto Instagram Story kelimanya. Ya, bukan karena aku rajin menghitung, tapi karena, gambar story-nya, paling terdepan dalam akun media sosialku.
"Lo posting dong, apa kek? Ini cafe bagus loh tempatnya. Gue hampir jarang lihat lo posting sesuatu." Tanyanya lagi, dengan kedua matanya yang berwarna coklat tua, masih fokus ke ponsel pintarnya. Kadang aku kasihan dengannya, hidup sehari-hari Jena hanya habis dibuang untuk bermain social media, walaupun followersnya bertambah tak terlalu signifikan. Kolom followingnya terlampau terlalu banyak dibanding angka followersnya.
Aku terdiam, "Ia juga sudah lama gue enggak posting apapun." Tanyaku dalam hati. Aku menggidikkan pundak. Tidak penting pula. Untuk apa? Hanya membuat iri saja, apa mau dicari? Dicari siapa? Daniel pun tidak akan peduli.
"Gita! Ih bengong aja loh. Itu pesanan lo dateng." Tukas Jena, yang akhirnya menaruh ponsel pintarnya lalu menyeruput secangkir latte-nya.
Di luar matahari sedang panas terik. Dahiku sudah kuusap dengan dua helai tisue. Rambut panjang hitamku segera kuikat bergaya buntut kuda. Mata sipitku serasa sedikit memanas, walaupun pendingin ruangan di kedai kopi ini sudah dinyalakan di suhu 20 derajat celcius. Namun, banyak orang yang memesan secangkir kopi hangat dibanding kopi dingin.
"Si Daniel masih hubungi lo?" Tanya Jena, yang kebetulan pula entah kenapa aku lagi memikirkannya.
"Eh, hmm..." Aku menggeleng.
"Udahlah, lupain Daniel. Lagian lo bukan siapa-siapanya dia, dia aja enggak nyariin lo, waktu udah nikah sama Vera."
Aku terdiam, tak ingin menjawab. Suaraku tercekat oleh rasa amarahku. Lagi-lagi Vera, wanita yang akhirnya memenangkan Daniel, yang menang dalam lamanya hubungan mereka berteman, dan akhirnya menikah.
"Kalau ngomong aja sih enak, Jen, kalau ngelakuinnya susah."
"Kayaknya, udah lama deh lo gak cerita lagi dekat sama siapa."
"Gue emang gak lagi dekat sama siapa-siapa. Kalau ada pun, lo orang pertama yang tahu. Bahkan nyokap gue aja, jadi orang kedua."
"Hahaha." Jena tertawa seraya menutup rapat mukanya.
Kesal tak kesal mendengarnya selalu menanyakan keadaan percintaanku, tapi ya mau bagaimana lagi, memang itu adanya. Tak ingin menutupi apapun dari teman sendiri, apalagi aku hampir setiap hari menghabiskan waktu dengan Jena. Lucunya, Jena adalah teman baru di kantorku ini, yang baru aku jejaki selama satu tahun lebih kebelakang. Entah kenapa kita cepat menyatu.
"Lo gimana Jen, sama Hari?"
"Aman dong."
"Enggak aman sih, selama ada Raihan yang tiba-tiba nyempil di hati lo."
"IH, dasar!"
**
Selepas makan siang dan sedikit waktu berbincang di cafe baru dekat kantor kami, Gita bercerita tentang keadaannya yang masih saja merindukan orang yang tidak mempunyai hubungan dengannya namun saling peduli,
"HTS, mungkin lebih tepatnya. Penjaga jodoh orang." Gita menekankan pertanyaanku yang bertanya, "Kayak apa ya kesannya?"
Kami kembali ke tempat duduk kami masing-masing di kantor. Aku kembali membuka telepon genggamku. Melihat-lihat isi media sosialku, yang aku pikir kok, hanya orang-orang itu saja yang melihat keseharianku. Hah, tapi ya sudahlah, belum saja mungkin yang lain melihatnya. Mungkin juga aku menaruh 'posting' keseharianku bukan di waktu yang tepat, sesuai waktu di media sosial Instagramku.
"Wah, Daniel repost fotonya sama Vera, duh?!?" Sontak aku langsung melihat keberadaan Gita. Aku agak sedikit kasihan padanya, yang belum bisa berpindah hati, karena katanya Daniel terlalu menanamkan rasa yang begitu mendalam, namun sang lelaki sudah berlenggang bebas tanpa beban.
Aku kembali asyik menelusuri laman media sosialku terutama Instagram. Melihat banyak sekali informasi yang kali ini banyak tentang kekerasan, banyak teman-temanku yang baru pindah rumah ke tempat yang lebih besar, dan yang baru punya mobil. Aku melepas nafasku mendalam. Memang momennya pas sekali. Lebaran baru selesai dua minggu lalu, banyak sekali pasti teman-temanku yang sudah sukses akhirnya memutuskan menghabiskan uang tunjangan hari rayanya untuk membeli kebutuhan, atau terlihat mewah. Aku pun lelah melihatnya lalu iseng aku memfoto keseharianku yang berlatar komputer jinjingku dan mouse. Terlihat juga jam meja pemberian Hari berwarna coklat.
"Disyukuri saja apa yang ada." Aku pun langsung menaruhnya pada laman Instagram Story-ku, dan segera mendapat tanda 'suka' dari Gita. Tak sangka ia memposting sebuah gambar berlatar awan senja, "Hayuk, move on." Aku pun balik memberi tanda suka.
"Hi kak, Jena." Seseorang menyapaku, aku langsung hilang fokus, dan tak membalas karena diberi senyum si Raihan.
Comments
Post a Comment