Siang hari terik, aku terduduk di lobby salah satu gedung yang setiap harinya aku datangi. Aku duduk di pelataran lobby yang berada di luar. Beralaskan lantai yang tidak tahu itu bersih atau kotor, tapi jika dilihat dari warna lantai keramiknya, itu lumayan lama tidak dibersihkan, mungkin para pekerjanya sedang sibuk, pikirku sambil sedikit tertawa dalam hati.
"Sis..." temanku menepuk punggungku. Tebakanku benar setelah mendengar suara panggilan itu. Dira, teman dekatku di kelas kampusku.
"Hi..." Sapaku padanya dengan senyuman. Buku teori yang tadi aku baca sebagai bahan tugas Bahasa Inggrisku, ku tutup rapat dan ku sampirkan di lantai yang berada di sebelah kananku.
"Kemana saja kamu? Lala nyari kamu juga."
"Sudah kubilang, ponsel pintarku rusak, terpaksa aku menggunakan ponsel yang hanya bisa mengirim sms dan telepon, untuk internet pun aku hanya bisa membuka web sebagai alat pencari bahan kampus." jelasku. Jikalau aku harus menceritakan hal ini, sedihnya bukan main.
"Kenapa memang?" sontak Dira bertanya, dia pasti belum diceritakan Lala, teman dekat kelasku juga.
"Masalah kecil, oh bukan, bukan kecil. Kecerobahan sih sebenarnya. Aku menaruh ponsel pintarku dekat sound system Ayah, setelah aku sadari, alat tersebut mengandung magnet yang sangat kuat sehingga bisa merusak layar ponsel apapun itu. Jadi, yah..." ujarku sambil menunjukkan ponsel sederhanaku yang bermerek cukup terkenal kepada Dira. Dira tersenyum nelangsa, prihati denganku. Dia tahu aku tak punya uang untuk membeli ponsel baru.
"Dena... Dena..." ujar Dira sambil menepuk-nepuk punggungku cukup keras. Aku kembali sibuk membaca buku teori yang tadi aku taruh di sampingku.
"Apa...???" ujarku sedikit kesal dengan apa yang dilakukannya. Tanpa berkata-kata, Dira langsung menunjuk kearah yang menunjukkan sesuatu yang sudah aku ketahui sebelumnya.
"Sandy?" tanyaku padanya. Sandy yang sedang membonceng teman perempuannya, atau.... entahlah mungkin pacarnya, membuat Dira membuka mulutnya. Dira terperangah dengan apa yang dilihatnya.
"Kok, kamu enggak kaget atau gimana gitu, De?" ujarnya memanggilku dengan nama panggilan yang biasa orang-orang gunakan. Aku menggeleng santai. Tersenyum kecil.
"Sudah, sudah tahu, sedari dua jam yang lalu. Sandy sempat tegur sapa denganku. Sampai akhirnya dia menghampiri perempuan cantik itu..."
"Ya ampun..." ujar Dira, kembali nelangsa. Hari ini dia penuh keprihatinan untukku. "Kamu pikir dia pacarnya?"
"I say so. Buktinya, Sandy sumringah banget jalan sama perempuan itu, berdua tadi."
"Dena, kamu tahu Sandy itu ramah sama semua orang kan, termasuk sama para perempuan yang dekat dengannya." tanya Dira, seperti mencari keyakinan pada diriku. Dira tahu, Dira tahu bagaimana aku kagum pada Sandy. Dira tahu betapa senangnya aku setelah menitip salam lewatnya kepada Sandy. Dira pun tahu, bahwa perasaanku tumbuh untuk Sandy, seiring berjalannya waktu, tapi entah kenapa, kali ini, aku merasa aku harus menyudahi perasaan itu, walaupun aku masih merasakan hal aneh terjadi dalam perutku. Menggelikan.
Aku mengangguk lagi dengan pernyataan Dena. "Dan aku percaya, senyum Sandy yang sebahagia itu, tak mungkin dia sembunyikan sama orang yang bisa buat dia bahagia."
"Jadi? Kamu kasih dia gitu aja?"
"Yang penting aku sudah dapat kontaknya, itu saja cukup. Mau mengharap bonus pun, bagi Sandy perempuan itu bisa buat dia bahagia, kenapa enggak dipertahankan..." ujarku, sok bijak, sangat amat sok bijak pada saat itu. Entahlah, mungkin bukan bijak, aku mencoba menerima. Lelaki macam Sandy, mana mungkin suka pada perempuan tomboy dan kutu buku sepertiku?
"Hah..." Aku mendengar Dira menghela nafas.
"Yasudahlah. Biarkan saja. Jodoh enggak kemana." Jawabku sok bijak lagi.
Comments
Post a Comment