Dedicated to Evan Corpse
“van, duduk sini aja!” Ajak Delisa. Aku
tersentak. Aku bingung seribu bahasa.
“Kenapa emang?”
“Enggak apa-apa. Lo bawa fotokopiannya
gak?” tanyanya lagi.
“Enggak.”
“Nah, yaudah, duduk sini aja.” Aku pun
langsung duduk disampingnya.
“Evan?” Dosen mata kuliahku hari Selasa
pagi memanggilku cukup keras. Tanganku sedikit bergetar. Pastinya aku mendapat
hukuman lagi.
“Kenapa terlambat?”
“I am overslept, Mam.” Jawabku
terbata-bata. Ya, kebetulan hari ini mata kuliah yang berhubungan dengan bahasa
Inggris, maka dari itu aku menjawab dengan bahasa Internasional itu.
Kembali ke Delisa. Apakah hari ini hari
keberuntunganku? Sungguh. Aku bisa pastikan hal ini. Apa yang membuatku
beruntung. Delisa. Ya, perempuan yang saat ini duduk tepat disampingku yang selama
ini aku idam-idamkan, hanya dalam imajinasiku.
***
Hanya di kampusku ini aku bisa melihat
sepuasnya. Aku bisa melihat Delisa sepuas hatiku tanpa harus memikirkan
macam-macam. Apa yang macam-macam itu? Ya, tanpa harus khawatir dengan
seseorang yang sudah ku jadikan kekasih selama hampir dua tahun. Sinta.
Tak akan pernah aku memberitahukan
perasaan sukaku pada Delisa ini pada Sinta. Pasti. Kalaupun harus, mungkin
bukan aku yang akan memberitahunya. Tapi dia sendiri yang akan melihatnya.
“Kamu udah makan?” tanya Sinta dengan
lembut padaku. Dia pun menaruh lengannya mengelilingi bahuku.
“Udah, tadi Ardan lagi dapat uang lebih,
aku dapat sedikit untuk makan siang.” Senyumku lembut pada perempuan yang
mempunyai pipi tembab ini. Rambut panjangnya yang juga membuatku jatuh cinta
padanya. Bola matanya yang cukup lebar, hidung yang tidak terlalu pesek, tapi
tidak mancung, dan juga senyumnya yang membentuk lengkungan cantik di wajahnya.
“Besok bisa jemput aku?”
“Kamu memang mau kemana?”
“Mau kerumah teman, kira-kira pulang jam
tujuh malam. Bisa?”
“Semoga ya. Aku enggak janji, aku
kabari.”
Dia menghela nafas. Aku tahu dia pasti
kecewa, kalau aku tidak bisa menjemputnya.
“Ku usahakan, asalkan Ardan dan Andi
tidak mengajakku bermain. Haha.” Candaku sambil mencubit lembut hidungnya yang
membuatnya tersipu malu.
Ketika aku melihat wajahnya, ada rasa
bersalah yang cukup menusuk hatiku. Menyadari kenyataan bahwa, aku dan Sinta
telah lama menjalin hubungan. Tapi, yang lebih menusuk hatiku lagi adalah,
ketika aku menyadari bahwa aku juga menaruh perasaan yang mendalam pada Delisa.
***
Hujan yang tidak ada habisnya. Memang,
aku sebagai lelaki jangan terus-menerus mengenai musim penghujan ini. Tapi,
lucunya, setiap musim penghujan, yang aku pikirkan adalah, aku harus selalu
membeli jas hujan yang baru untuk setiap tahun pergantian musim kemarau ke
penghujan. Aku bukan orang yang suka membeli jas hujan tahan lama dengan harga
mahal, paling tidak aku punya jas hujan, mau murah sekalipun asal tubuhku tak
kehujanan.
Karena musim penghujan ini juga
terkadang aku mendapat keberuntungan. Ya, hujan tak selalu membawa bencana.
Contohnya aku. Aku sedang menunggu hujan bersama teman satu kelasku. Tapi,
tidak semua. Hanya ada Delisa, pastinya, Fina, Hana, Luna, teman dekat Delisa,
Ardan dan Andi, juga Marwan teman mainku.
“Del, nanti bareng Evan aja. Pas kan.
Fina sama Luna, Gue sama Andi, Ardan sendiri. Haha.” Ujar Hana sambil tertawa
geli.
“Yee…” Ardan protes berat. Aku
melihatnya juga geli. Ya, Ardan memang jarang bercerita tentang hubungan cinta
pribadinya.
Aku tak menjawab apapun mengenai ajakan
Hana. Tapi, yang jelas, Delisa juga tak menolak jika aku harus pulang bersama
dengannya.
Ini ajakan ketiga kalinya. Aku sudah
pernah pulang bersamanya dua kali. Apakah Sinta tahu? Entahlah. Aku tak memikirkan
hal itu sama sekali. Seperti dari awal sudah kujelaskan juga, bahwa hanya di
tempat ini aku bisa bersama dengannya.
“Terserah…” Jawab Delisa kaku.
“Iya, sekalian pulang bareng sama kita.
Lagian kita nunggu hujan sampai malam begini. Kasian elo juga.” Fina memberi
nasihatnya.
Aku hanya mengangguk. Iya, aku iyakan
saja.
“Okay…” Jawab Delisa santai. Dia sama
sekali tak memperlihatkan wajah senang ataupun bersyukur karena ada yang
mengantarnya pulang.
Dia memang selalu begitu. Mungkin tak
selalu. Karena orang yang suka berubah-ubah suasana hatinya, dia memang suka
membingungkan. Delisa adalah sosok perempuan yang Indonesia sekali. Dengan
campuran sedikit Chinese, tapi, menurutnya dia tak pernah punya keturunan orang
Cina. Benar atau tidaknya, aku tak peduli. Kulit kuning langsat miliknya yang
menjadi salah satu alasan aku suka padanya terpancar cerah diantara sinar
matahari yang menyinarinya.
“Memangnya boleh?” tanya Delisa.
“Ya pasti lah.” Teman-temanku tertawa.
Mereka memang sudah tahu tentang hal aku suka pada Delisa.
Delisa hanya ikut tertawa. Oh, tawa itu,
makin membuatku ingin terbang tinggi.
***
Aku ingat suatu ketika kami, teman-teman
sekelasku beserta diriku, berencana untuk pergi ke suatu tempat di kawasan
Bogor. Aku sudah berjanjian dengan mereka sejak lama. Termasuk Delisa, yang
nantinya akan ikut bersama rombongan. Tapi kenyataannya, Sinta pun ikut dalam
rombongan. Jelas saja, aku tidak mungkin meninggalkan dia. Berhubung boleh
membawa serta kekasih masing-masing.
Kami berangkat pukul sembilan pagi.
Setibanya di tempat itu, sekitar pukul setengah 12 siang, kami langsung
menyantap hidangan yang kami bawa dari rumah masing-masing. Memang tidak semua
anak satu kelasku ikut dalam perjalanan ini. Tapi, yang bisa membuatku bahagia
sedikit, kedua wanita yang membuat hatiku selalu mencair ikut di dalamnya.
Memang terkadang aku berpikir. Disaat
aku bersama Delisa di kampusku, aku merasa senang, pun ketika aku bersama Sinta
yang selama ini sangat setia mendampingin dan mengayomiku. Perasaanku yang suka
pada Delisa, berbanding lurus dengan hubunganku dengan Sinta. Maksudnya adalah,
dikalah perasaanku makin tumbuh terhadap Delisa, kenyatannya, hubunganku dengan
Sinta pun makin tumbuh tinggi juga. Kami berusaha menjaga hubungan ini.
***
Suatu ketika, ketika perasaanku sedang
tinggi-tingginya dengan Delisa, aku mencoba bertanya padanya. Ya, aku memang
bukan lelaki yang bisa menjaganya setiap saat, tapi di tempat ini, aku
berusaha.
“Bagaimana kalau setiap harinya nanti
aku membantu menyebrang jalan, atau aku bisa mengantarmu kerumah?” Sadar dengan
pertanyaan yang menjurus ini Delisa tak menjawab dengan jelas. Menggantung. Dia
hanya menjawab “Abstain.” Hatiku membeku.
Delisa pun sebenarnya sudah tahu, bahwa
aku menjalin hubungan dengan Sinta. Dia pun mungkin tahu dari bisikan-bisikan
informasi yang dia dapat dari teman-teman sekelasku dan Delisa. Tapi, mungkin
dia itu ingin menguji imanku juga bahwa dia memperlihatkan tingkah laku yang
sesekali meledek perasaanku. Semisal, aku sedang menuangkan air dari botol soda
ukuran 2 liter yang kami beli. Aku haus, ingin minum, tapi ketika aku ingin
menuangnya, Delisa mengikuti nya dan ikut membantuku menuangkan air soda itu ke
dalam sebuah gelas. Tangannya tepat berada di atas tanganku yang memegang botol
soda itu. Rasanya seperti… bahkan sulit kujelaskan sendiri. Itulah hari-hari
indah yang kulewati di kampus itu, yang hanya bisa mempertemukanku dengan
Delisa.
***
Aku masih duduk sendiri, di malam yang
dingin yang gelap. Sudah tiga bungkus rokok kuhabiskan. Aku tidak tahu lagi
harus melakukan apa. Kenyatannya, Sinta dan Delisa pun sudah pergi.
Semua berawal dari lelaki yang tiba-tiba
datang di kehidupan Delisa. Lelaki itu memang tampan. Tapi, aku mengenal baik
lelaki itu. Tidak disangka, Ari, lelaki temanku di saat SMA, kenal dengan
Delisa dan ternyata sudah kenal dekat dengannya. Mereka pun ternyata sudah
menjadi suatu. Aku tahu, mungkin Delisa mencoba bersikap realistis. Memikirkan
karma jika hubunganku dengannya harus di teruskan.
Sedangkan dengan Sinta? Entah dia pergi
kemana. Tiba-tiba menghilang. Apakah dia tahu tentang hubunganku dengan Delisa?
Padahal semua itu sudah berakhir. Tapi memang, kenyatannya tak semua yang kita
inginkan, bahkan kita sudah perjuangkan sekalipun bisa hilang begitu saja. Itu
semua tergantung kehendak Tuhan. Aku berusaha menerima.
Ku minum lagi minuman alcohol yang
kubeli di dekat rumahku. Aku berusaha menikmati setiap tegukan. Hanya pandangan
aneh dari kedua temanku, Andi dan Ardan. Mereka hanya menggelengkan kepalanya.
Tak punya daya untuk menghentikanku yang saat ini sedang terbang ke bawah, menunggu diriku terbentur
lapisan tanah yang keras. Terbang kebawah ketika semua yang menghinggapiku
mencoba membawaku terbang keatas dahulunya. Aku tersungkur lemas.
Comments
Post a Comment