Skip to main content

Hanya Harapan Semata

Jadi, ketika itu aku sedang duduk, menunggu ketidakjelasan waktu kapan fotokopi berkas-berkasku akan selesai. Aku menunggu sekitar satu jam, ya, sudah satu jam aku menunggu, tapi hasil berkas itu belum selesai juga. Tidak heran. Karena saat itu adalah hari Rabu, hari dimana para mahasiswa sedang butuh-butuhnya mencari referensi dari buku-buku ilmiah yang berada di salah satu Perpustakaan yang cukup lengkap di kawasan Depok, Jawa Barat. Yang membuatku sadar, aku bosan, aku masih sendiri. Sendiri? Pikiran aneh itu tiba-tiba muncul.

Lihat banyak orang berlalu lalang di hadapanku, membuatku masih saja merasa sepi. Ya, hatiku yang sudah lama sepi tepatnya. Satu ketika yang membuatku makin merasa sepi adalah, sebuah percakapan yang langsung membuatku berfikir keras.
"Delia, cari pacar dong!" tukas teman satu kelasku di salah satu Sekolah Tinggi di Jakarta.
"Hah? Hahaha." Aku hanya tertawa. Aku tahu maksud dia hanyalah cuma membuat candaan saja.

Pernyataan yang dikeluarkan temanku itu membuatku berfikir. Aku memang masih sendiri, dua tahun memang waktu yang lumayan lama. Tapi, sampai sekarang aku juga berfikir, aku tidak mau menjadi perempuan yang mengejar-ngejar lelaki lagi. Aku sudah lelah. Ketika aku berusaha untuk mengungkapkan perasaanku, lelaki itu pasti langsung pergi, tak menghubungiku sama sekali lagi.

Sekarang aku sedang duduk di tempat duduk di depan salah satu minimarket. Tempat duduk itu sengaja disediakan oleh pihak minimarket untuk para pengunjungnya yang sekedar ingin menunggu, seperti aku, ataupun yang ingin bercengkrama dengan teman-temannya.

Aku menduduki satu kursi yang kosong dengan satu meja yang kosong juga. Kondisi kursi itu berantakan sekali, aku bisa menebak bahwa keadaan ini diakibatkan karena ada banyak orang yang habis menempati kursi ini. Banyak sampah pula! Aku mencoba membereskannya perlahan.

Aku menduduki kursi itu, lalu merebahkan tubuhku ke kursi itu. Lelah. Itu kata yang bisa ku keluarkan di sela-sela helaan nafasku. Sebelum mendarat di kursi kosong ini, aku membeli kopi dari salah satu coffee shop yang berada di Perpustakaan tersebut. Aku memilih kopi dengan nama coffee latte hazelnut. Dari namanya sudah gawat, tapi rasanya gawat juga. Enak! Saat satu kali aku menyesap kopi itu, aku langsung memejamkan mataku. Ya, aneh sekali. Seorang Delia jadi seseorang yang menyukai kopi. Bahkan setelah itu aku tertarik untuk membeli buku-buku tentang kopi.

Aku menunggu fotokopi berkasku dengan sabar. Pemilik toko fotokopi itu bilang bahwa masih banyak berkas lain yang harus dikopinya, jadi berkasku juga harus ikut mengantri untuk digandakan. Yasudah, aku mengiyakan saja.

Sambil menunggu, aku mencatat ide-ide yang muncul secara liar dipikiranku untuk bahan menulisku selanjutnya. Ya, aku, Delia, suka sekali menulis. Penulis amatir, penulis seenaknya apa yang aku lihat, rasa, dan aku alami sendiri. Tapi, kenapa aku sebut diriku seorang penulis amatir? Karena aku masih sering malas untuk menulis.

Saat sedang asyik menulis, aku tidak sengaja melihat lelaki yang juga tiba-tiba satu pandangan denganku. Aku rasakan ada hal aneh bergejolak di dalam perutku. Kenapa lelaki itu menatap ku seperti ingin bertanya sesuatu tapi dia malu? Aku berpura-pura membuang wajahku dan kembali fokus terhadap apa yang aku tulis di buku catatanku. Tapi, ketika aku mendongak, sudah kudapati lelaki itu berada di depanku.

Ketika aku menelaah sebentar penampilannya, aku bisa melihat bahwa dirinya adalah seorang mahasiswa yang juga datang ke Perpustakaan ini. Aku melihat ada gantungan kunci berbentuk kartu nama menggangtung di tas ranselnya yang berwarna hitam. Dia yang memiliki mata hitam cukup lebar, alis hitam yang cukup tebal, dan rambut hitam yang dipotong cepak. Badannya tidak terlalu kurus ataupun gemuk, sedang saja, tapi aku bisa melihat bahwa orang ini suka berolahraga. Ya, aku bisa melihat dari otot tangannya yang menggambarkan kalau dia suka olahraga yang bertujuan menguatkan ototnya.

"Ghana" aku menggumam pelan membaca gantungan kunci yang tertulis sebuah nama disana. Ya, Ghana, nama lelaki itu, yang sekarang masih berdiri dihadapanku. Tiba-tiba imajinasiku berjalan liar lagi. Aku membayangkan bahwa Ghana mempunyai maksud tertentu. Maksud untuk... berkenalan mungkin. Seperti yang aku lihat di beberapa film romantis luar negeri.

"Permisi, boleh aku pinjam pulpennya sebentar?" Ujarnya sambil tersenyum. Wah, senyumnya luar biasa. Senyumnya mirip salah satu member band favoritku dari Amerika. Senyumnya seperti tokoh kartun Mickey Mouse.

"Iya, boleh." Ujarku membalas senyuman manisnya itu. Oh, apakah aku jatuh hati padanya? Aku hanya tersenyum kaku. Ghana pun menggunakan pulpenku untuk menulis sesuatu. Dia juga sempat duduk di bangku kosong yang ada di hadapanku. Oh Tuhan, makhluk ini begitu indah. Aku pun dengan puasnya memandangi pria ini.

"Terima kasih ya." Senyumnya lagi. Tanpa membalas dengan kata-kata, aku hanya mengangguk cepat dan aku masih menampilkan senyumanku.

Tapi, dia pergi begitu saja. Aku menghela nafas panjang dan hanya melihat Ghana yang pergi dengan cepatnya. Dengan cepatnya, tanpa menanyakan apapun padaku. Hah! Lagi-lagi. Aku keterlaluan dalam berimajinasi. Mungkin ini karena aku juga masih sendiri. Aku berharap bahwa Ghana bisa jadi lelaki yang... Ah, sudahlah! Harapan hanya harapan. Hanya harapan semata yang aku dapatkan sore itu. Ya, aku pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu juga secepatnya.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...