Temu Satu Hari
Matahari bersinar terik di kawasan Blok M. Daerah yang saat ini selalu menjadi trending topic dari berbagai kalangan, terutama kalangan anak muda. Sempat sepi dan hampir mati, kawasan ini kembali hidup dengan berbagai pilihan tempat bertemu, baik dalam bentuk kedai kopi atau restoran. Kawasan ini dulu pernah menjadi pusat berkumpul anak muda, rasa-rasanya, seperti mengulang masa lalu, yang berubah keadaan dan generasi yang berkumpul di sana.
Seorang perempuan berkurudung, kuning yang bercorak bunga berwarna coklat, dengan balutan blouse berwarna senada kuning sedikit tua, dan celana jeans, sedang berdiri di pinggir taman Martha Christina Tiahahu, atau biasa disebut taman literasi. Wajah tegasnya sedang memperlihatkan wajah yang kepanasan, karena dahinya juga berkerut, tangan kanannya melindungi pandangannya. Ia sedang mencari seorang sosok lelaki yang sudah ia tunggu-tunggu kehadirannya. Kehadirannya yang mungkin bisa membawa keberuntungan atau kesedihan. Kehadirannya yang membuat perempuan itu berani bertaruh dengan kedua pilihan itu.
"Randy." Panggil perempuan itu kepada seorang lelaki yang menoleh ke kanan dan ke kiri, persis di depan sebuah kedai dimsum ternama dan selalu ramai di kawasan Blok M itu.
Lelaki tinggi dengan rambut hitam, yang berkilau akibat cahaya matahari yang menyinari itu, akhirnya temu pandang dengan sang perempuan. Lelaki itu menghampiri sang perempuan.
"Fina." Tukasnya, "Udah lama nunggu?"
Perempuan berkerudung itu menggeleng. Senyum tak lepas dari wajahnya.
"Baru lima menitan si." Jawab Fina. Randy juga tersenyum sesekali.
"Kita mau ke mana?" Tanya Randy.
"Gue belum tahu si. Gue mau ke tempat yang lebih teduh aja. Lo ngopi?" Tanya Fina. Mereka berdua masih berdiri di tengah kerumunan taman literasi.
"Iya."
"Okay, mau ke kedai kopi yang ada di dalam Mall aja?" Tanya Fina.
"Boleh." Setelah Randy menjawab mereka bergegas berjalan bersama.
"Sorry ya, kalau tadi nunggu. Agak macet di daerah gue. Lo naik apa, Fin?"
"Oh, gue si no worries. Gue naik MRT tadi." Mereka sampai di dalam Mall Blok M Square. Mereka pun bergegas menuju kedai kopi pilihan Fina, karena hari itu Randy hanya mengiyakan ajakan Fina.
Fina memilih kedai kopi dengan logo angsa berwarna oranye dan putih. Fina mengajak Randy untuk memesan terlebih dahulu.
"Ramai banget ya. Kita dapat tempat gak ya?" Tukas Fina. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Gue carikan tempat dulu. Lo pesan duluan aja Fin." Tukas Randy.
"Oh, okay." Balas Fina, Randy pun bergegas mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Di sela-sela Fina memandang Randy, ia tersenyum. Sudah lama ia tak menghabiskan waktu dengan teman lawan jenis. Yang mungkin ia harapkan bisa menjadi satu tujuan yang pasti. Walaupun ia juga takut dengan resiko, pertemuan hari ini, tak akan jadi apapun.
"Lo enggak pesan, Dy?" Sapa Fina, yang sudah sampai di tempat duduk mereka berdua. Randy tersenyum, mendongak melihat Fina yang akan duduk di kursinya, dan menatapnya hingga duduk. Agak sedikit terguncang hati Fina. Ia hampir melepaskan genggaman paper cup kopinya. Senyum Randy itu sangat ia rindukan sekali.
"Oh, hmm, gue bingung mau pesan apa. Lo pesan apa, Fin?"
"Gue pesan Cafe Latte aja. Biasanya enggak suka yang gimana-gimana soal kopi."
"Oh, gue pesan yang sama kalau gitu. Tunggu ya." Balas Randy diikuti anggukan Fina.
Seraya menunggu Randy memesan, Fina sedikit-sedikit mencuri pandang. Kadang ia tersenyum. Kadang ia berpikir. Buntut panjang ajakannya hari ini, diiyakan Randy atas dasar motif apa ya? Tukasnya dalam hati. Tapi sesekali ia juga melihat sekitarnya. Ramai, tapi ia merasa sepi. Sedikit-sedikit ia menyesap Cafe Latte kesukaannya dari cafe chain yang cukup jadi favoritnya itu. Sesekali ia memeriksa ponselnya, barang kali ada pesan dadakan, dari sang bos, atau kantornya, yang hampir tidak libur dalam seminggu.
"Hi." Tukas Randy, Fina langsung mendongak dan tersenyum, "Tumben lagi ramai banget ya. Gue udah lama enggak keluar rumah, dan cenderung sering keluar kota. Blok M ini berubah banget."
"Iya. Gue lumayan sering ke daerah sini. Tapi ya begitu, lebih milih cari tempat yang pasti di dalam mall, mau restoran ataupun kedai kopi. Emang lo lagi sering keluar kota ya? Atau kerjaan lo mengharuskan?" Pertanyaan bertubi dilontarkan kepada Randy. Lelaki yang hari itu mengenakan kemeja abu-abu, dan celana jeans, serta sepatu sneakers berwarna senada kemejanya, mengangguk-angguk, tak langsung menjawab. Randy bergerak ke kanan dan ke kiri, melihat ke arah keramaian dan sesekali menatap gelas kopinya. Lelaki itu kadang bicaranya cepat, lalu kadang tergagap, tapi entah kenapa Fina tak merasa terganggu. Fina pernah membaca di satu artikel, bahwa kemungkinan orang seperti itu, apa yang ia pikirkan terlalu cepat dengan proses ketika ia ingin bicara.
"Karena pekerjaan juga. Lebih sering ke luar kota. Lebih enak juga. Enggak harus sering ke Jakarta." Jawab Randy.
"Oh, tapi keluarga besar lo di Jakarta?"
Randy mengangguk. "Dulu pernah kos. Tapi, setelah pindah perusahaan, malah sering ke luar kota. Jadi gue balik ke rumah Bokap dan Nyokap." Fina mengangguk dengan jawaban Randy.
"Lo kerja di mana sekarang?" Sekarang Randy bertanya.
"Oh, kerja di agen pendidikan. Di daerah Mampang." Jawab Fina.
"Oh, no wonder ya. Lo tahu dari sini?"
"Iya. Setahu gue juga, transportasi yang ke daerah sini juga banyak." Keduanya mengangguk.
"Jadi kalau lo sering ke luar kota, sering LDR dong?" Fina melontarkan pertanyaan yang sebetulnya tak niat ingin dikeluarkan, tapi ia akan penasaran jika ia tak tanyakan.
"Oh, haha. Belum ada yang harus jadi LDR." Jawab Randy. Keduanya terdiam. Dalam hati, Fina tersenyum.
"Hmm. Okay. Sorry, Dy, kalau gue tanya gitu."
"Enggak apa-apa. Kita sudah besar juga. Oh iya, ada apa ajak gue ketemu?" Randy yang melontarkan pertanyaan ke Fina, yang membuat perempuan itu terdiam.
"Hmm..." Tak langsung menjawab. Fina menatap Randy sesaat, "Enggak si, mau ketemuan. Mau ajak ngobrol-ngobrol aja."
"Oh. Gue kira kenapa. Masih suka ketemu sama teman-teman di SMA?"
Fina menggeleng, "Udah lama enggak. Bahkan kemarin buka puasa bersama juga enggak ada. Gue kira, kita juga sudah sibuk masing-masing dengan urusan kita."
"Betul." Randy menanggapi.
Keheningan kembali mendera mereka berdua. Fina bingung harus bicara apa lagi, sedangkan Randy cenderung jadi pendiam juga, dan hampir sedikit pertanyaan yang dilontarkannya. Fina memejamkan mata sesaat. Ia merasa, pertemuan ini menjadi percuma dan hambar. Randy bukan seperti Randy yang dulu, yang lepas, yang mungkin masih bisa bercanda ketika ia menjadi teman di SMA-nya. Tapi Randy sekarang, penuh dengan sejarah yang cukup pahit, terutama, rasa ia yang tak menjadi abadi, kala perempuan yang ia pacari, harus menikah dengan orang lain.
"Lo tahu tempat lain atau tempat makan yang enak di sini?" Tanya Randy. Fina membuka matanya, dan mencoba sadar.
"Eh, sorry, gimana?"
"Ngelamun si. Gue mau cari tempat makan yang enak di sini. Lo tahu di mana?" Tanya Randy lagi, dihiasi dengan senyum di wajah tirusnya.
"Oh iya. Gue tahu. Lo suka mi?"
"Suka."
"Good then. Kita keluar sambil keliling daerah Blok M?"
"Boleh." Randy tersenyum dibalas oleh Fina. Mereka bangun dari kursi masing-masing. Agaknya baik Fina dan Randy, mencoba untuk live in the moment. Daripada memikirkan masa depan yang tak pasti. Malah nanti merusak hari mereka. Fina pun juga menyingkirkan perasaan bersalahnya, atau bingungnya, kenapa ia berani-beraninya mengajak Randy untuk bertemu dengannya. Masih menjadi hal tabu, seorang perempuan mengajak lelaki bertemu, apalagi di usia mereka yang menginjak kepala tiga.
Comments
Post a Comment