Segelas Kopi Tubruk dan Sepiring Nasi Goreng Kambing
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Seorang wanita sedang berjejer di barisan di depan meja kasir sebuah cafe sederhana di kawasan Selatan Jakarta. Hari ini iya coba berjalan sedikit ke arah ujung Selatan Jakarta. Ia menemukan cafe agak hidden gem itu di sebuah rententan reels, media sosial Instagram-nya. Ia asal datang saja. Malam ini, ia tak ingin langsung pulang ke rumahnya. Padahal malam itu adalah malam Rabu, di mana ia besok masih harus masuk kerja.
"Selamat datang di Cafè Sembunyi, mau pesan apa kak?" Ia tersenyum. Menarik pikirnya. Perpaduan kata, antara bahasa Inggris atau bahasa Perancis, asal kata Cafè dan kata Sembunyi, yang asli bahasa Indonesia, dipilih sang pemilik. Wanita itu tak langsung menjawab. Senyum di wajah lonjong putih kuning langsat pucatnya, masih tersungging, lalu ia lemaskan sedikit.
"Pilihan makanan beratnya apa aja ya kak?" Tanyanya dengan panggilan, yang paling aman di akhir pertanyaan, 'kak'
"Kita punya beragam pilihan nasi goreng kak, lalu makanan ringan, seperti kue jajanan pasar." Jawab sang petugas kasir yang seorang laki-laki, sekitar umur 20an, dengan rambut yang rapi, mengilap, dengan sentuhan gel rambut.
"Oh, nasi goreng kambing, dengan pedas sedang ya kak." Tukasnya mantap. Ditambah ia tersenyum lagi. Sudah lama sekali, ia tak makan nasi goreng kambing. Mencoba mengingat kapan terakhir kalinya, ah iya, bersamanya. Bersama lelaki yang sekarang entah di mana, yang tiba tiba menghilang, lalu kembali, dan tiba tiba sudah berfoto dengan istri dan anaknya.
"Lalu, untuk minumnya kak?"
"Satu botol air mineral dan..." Wanita itu menyentuh dagunya. Ia mengerutkan dahi, seraya melihat dan membaca buku menu di bagian minuman, ke kanan dan ke kiri. Sontak, ia melihat ada pilihan menu unik di sana.
"Ah, ada pilihan kopi tubruk ya kak?"
"Betul, ada kak. Kita memang punya berbagai pilihan minuman kopi dengan berbagai pilihan teknik seduhnya."
"Wah, menarik. Saya pesan satu kopi tubruk juga, dengan biji, kopi... hmmm, Mandailing." Senyum wanita itu merekah lagi.
"Baik, mau pakai gula kak?"
Wanita itu mengangguk.
"Baik, pesanannya atas nama siapa kak?"
"Lina."
**
Lina tahu, bahwa mengingat masa lalu, adalah keahliannya, tapi yang paling mengganggu dan menghantui hidupnya juga. Kadang, kiranya sudah cukup parah, masa lalunya bisa seperti menjadi sebuah film yang berputar dalam mimpinya ketika ia tidur. Hingga ia terbangun, dan keringat bercucuran. Ia ingin sekali perlahan berdamai dengan mereka, namun, masa lalunya tak benar benar hilang. Maka dari itu, kadang ia selalu ingin terjaga, kemana sajalah, asal ketika sampai tempat indekosnya, ia sudah merasa lelah, hanya perlu mandi, ibadah, lalu rebahan sejenak, dan tertidur pulas. Maka itu, ia hari ini, selain ingin merayakan, capaian kerja akhir tahunnya yang bagus, ia juga ingin menjadi lelah dan tertidur.
"Kenapa kamu datang berhari hari ini dalam mimpiku?" Bisiknya dalam hati, kala ia harus memimpikan lelaki yang, sudah entah kemana, yang awalnya peduli, jadi tak peduli, tapi masih menyangkut di hatinya.
"Pesanan atas nama Lina." Sontak, ia tersadar dari lamunannya. Segera ia berlari ke arah kasir. Mengambil pesanannya dan duduk kembali di tempat duduk pilihannya. Tak lama ia duduk, hujan turun, dan langsung deras. Namun, ia malah tersenyum.
"Syukurlah." Ujarnya. Dengan itu dia menunda lagi waktu pulangnya. Ia melihat sekeliling Cafè Sembunyi. Hanya ada ia, satu laki-laki sedang melakukan rapat daring, dan bicara cukup kencang, dan satu laki-laki hanya sibuk dengan komputer jinjingnya.
Lina berdoa sebelum memulai makan. Ia coba kopi hitamnya dulu, yang dibuat dengan teknik tubruk. "Duh!" Tukasnya, lidahnya terbakar, karena memang suhu minuman kopinya masih panas. Lalu, ia minum air putih dari botol minumnya. Ia lanjutkan malamnya dengan menyantap nasi goreng kambing, dengan level pedas sedang.
"Nice!" Tukasnya lagi. Rasa nasi gorengnya sedikit ada rasa manis gurih, dan juga daging kambing yang tidak terlalu bau prengus. Ia makan dengan seksama, tanpa asyik dengan gawainya. Kadang ia melihat sekeliling cafè. Ia merasa bahwa malamnya didukung hari ini dengan beberapa orang yang juga datang sendiri ke cafè itu.
Nasi goreng kambingnya tandas. Ia mensterilkan lidahnya dengan air putih. Duduk sejenak, memandang sekeliling lagi. Hari hari lain, ia juga masih belajar untuk live in the moment, kata beberapa buku self-healing atau kutipan-kutipan bijak yang ia temukan di laman media sosialnya. Setelah ia rasa, makanan beratnya sudah turun, ia lanjut menyesap sedikit-sedikit kopi tubruknya.
"Nikmat."
Comments
Post a Comment