Skip to main content

Dialog Kopi #7

Menyelami Makna "Cukup"

Seorang wanita merogoh tasnya, mencari-cari kartu uang elektroniknya. Ia sedikit pelupa, karena sehabis meletakkannya di dalam tas, setelah berhasil masuk dan menaiki MRT menuju daerah blok M, ia tak bisa menemukannya.

"Ketemu!" terkadang memang butuh waktu lama untuk mencari. Terlebih lagi wanita berambut panjang, sedikit hitam kecoklatan itu membawa barang cukup banyak. Hari ini ia berencana untuk bertemu dua orang temannya, yang ingin membahas tentang beberapa projek berkaitan dengan pendidikan di beberapa daerah di Indonesia.

"Rina." Panggil seorang lelaki. Wanita itu menoleh, mencoba mencari seseorang itu, dan berhasil. Lelaki itu berjalan bersama seorang wanita lain. 

"Gary, Naila." Tukas Rina. Rina menyalami temannya yang sudah ia temui di dunia maya, lewat aplikasi telepon daring. Rina tersenyum, wajah kotaknya tegas, matanya berbinar. Ia senang, kali ini menghabiskan waktu lain bersama teman yang bisa dibilang cukup baru. 

Gary merupakan lelaki tinggi, dengan tubuh cukup gemuk. Wajahnya kotak pula, dengan warna kulit agak gelap. Matanya kecil, namun alis matanya tebal. Rambutnya bergaya tight crop. Hari ini ia mengenakan kaus putih, celana denim, dan kemeja coklat sebagai outer-nya, dan dilengkapi sepatu hitam bermerk converse.  

Sedang Naila merupakan wanita berkerudung. Wajahnya bulat dan ia menggunakan gaya berkerudung sederhana, dengan kombinasi warna kerudung biru pastel, baju biru tua, dan celana berwarna putih. Naila bertubuh gempal, namun ia sangat pandai memadu padankan gaya berpakaiannya yang malah membuat dirinya, terlihat sedikit langsing. 

Rina, Gary dan Naila berjalan menuju sebuah cafe, di daerah Melawai. Cafe itu tidak terlalu besar maupun ramai. Tempat yang pas untuk mereka yang akan berdiskusi mengenai projek sederhana mereka. 

"Kalian mau pesan apa?" Tanya Naila, sesampainya mereka di sana dan duduk di sebuah meja yang dilengkapi sofa bench dan dua kursi kayu berwarna hijau muda pastel. 

Rina dan Gary lalu mengambil buku menu yang diberikan sang pramusaji. Karena buku menu yang tersedia, hanya ada dua buah, Naila pun menunggu dan memutuskan untuk melihat sekelilingnya. Cafe itu cenderung bisa dibilang agak sepi, tapi ia suka keadaan seperti itu. Satu barista sedang sibuk membersihkan mesin kopi, seorang kasir yang merapikan tempat display kue dan roti, dan pramusaji yang sedang melayani satu tamu. Hanya ada tiga orang pekerja di sana. Barista itu terlihat sibuk, sesekali melirik ponselnya. Sementara kedua pegawai lain, lurus-lurus saja, pandangan dan sikapnya. 

"Naila, mau pesan apa?"

"Oh, gue kopi americano aja." Tukas Naila. Baik Gary maupun Rina mengangguk. Keduanya memesan segelas matcha latte dan ice chocolate, lalu dilengkapi dengan sepotong kue pisang dan kue coklat. Hanya Naila yang tak memesan kudapan. 

Penasaran, Gary bertanya, "kamu enggak mau snack?" 

"Oh enggak. Kayaknya saya mau mampir makan nanti. Jadi saya pesan kopi aja, supaya saya fokus." Senyum Naila membalas. Mereka pun memesan segera. Setelahnya Gary mengeluarkan komputer jinjingnya, dan Naila mengeluarkan tabletnya.

Mereka pun memulai diskusi proyek kecil mereka, yang mereka harapkan bisa memberikan dampak. Tak sengaja, mata Gary menangkap sebuah pemandangan yang agak menyentuh hatinya. Seorang wanita yang pakaiannya sudah lusuh, dan membawa seorang anak perempuan. Kedua orang itu menggunakan kerudung, yang juga sama lusuhnya. Keduanya terlihat sedang memilah - milah barang-barang yang ada di tempat sampah dekat cafe tempat mereka berbincang.

"Di mana mereka tinggal ya? Mereka mandi tidak ya? Lalu kalau mereka sedang datang bulan, bagaimana mereka bersih-bersihnya?" Hati Gary berbisik, karena ia teringat kekasihnya, yang kadang rewel harus mencari tempat bersih, ketika datang bulan dan harus mengganti pembalutnya, ketika mereka pergi bersama. Sementara ada orang di luar sana yang mungkin sudah hidup berdampingan dengan lingkungan yang kurang bersih.

"Gary, lagi liat apa?" ujar Rina, yang melihatnya sedang melamun, namun tangannya berada di atas papan ketik, namun tak mengetik apapun.

Rina dan Naila saling pandang, mereka pun melanjutkan perbincangan. Sesekali ada yang tak setuju dengan pendapat satu dan yang lainnya. Rina pun coba mencari ide-ide di laman daring, berharap mungkin ada yang bisa memberinya inspirasi. Namun, buntu sudah kepalanya, dan ia kepalang ingin ke kamar mandi. Lalu ia pun meminta izin kepada Gary dan Naila. 

Rina masuk ke dalam kamar mandi perempuan yang, sebetulnya agak kurang bersih kala itu. Namun, ia mencoba maklum, karena ketika ia tadi lihat juga, hanya ada tiga orang yang sedang bekerja di jam sekarang ini. Tiga orang itu yang mau untuk bekerja double bahkan triple jobs, harus dilakoni para pegawai di cafe tersebut. Namun, ketika melamun dan berpikir, Rina terkejut ada seorang wanita sedang mengelap wajahnya, dan tersentak dengan kedatangan Rina. Wanita itu masih terdengar sesenggukan. Rina menebak wanita itu habis menangis. Tapi, karena tidak mau sok ikut campur dengan urusan orang lain, ia pun menyegerakan diri untuk menyelesaikan urusannya. 

Cepat-cepat, ia keluar dan masih melihat wanita itu sekarang menunduk, dan masih membasuh wajahnya. Wanita itu keluar terlebih dahulu dari Rina. Rina pun berhenti sejenak menatap wajahnya di kaca. Tangannya habis kering, setelah mengelapnya dengan tisu. Ia berpikir, "Seseorang sedang dalam harinya yang tidak baik. Nelangsa." Tak mau ikut larut dalam kesedihan, karena hal itu hanya membuat ia terbawa ke keadaannya dulu yang pahit, ketika ia harus ditinggal ayahnya, entah ke mana. Kini, yang ia pedulikan hanya Ibunya semata.

Rina kembali ke tempat ia duduk dengan teman-temannya, sesama pengusung proyek pendidikan. Wajah Rina mungkin menggambarkan perbedaan dari sebelum hingga setelah ia kembali dari kamar mandi. 

"Kenapa, Rin?" Tanya Gary

"Oh enggak. Tadi baca WA kabar kurang bagus aja. Tapi saya enggak kenapa-kenapa." Jawabnya, yang sebetulnya masih menampilkan wajah gelisah. Pikiran tentang Ayahnya yang entah pergi kemana, ditambah dengan pikiran tentang ia ingin meneruskan pendidikan dan beratnya keinginannya juga membantu sang Ibu, meraba setiap saraf di otaknya.

Naila masih juga sibuk dengan laman daring, tempatnya ia mencari ide untuk projek terkait pendidikannya dengan Gary dan Rina. Tak sengaja, laman daring itu menampilkan sebuah iklan perangkat canggih baru. Ia iseng masuk di laman tersebut dan melihat spesifikasi perangkat canggih, yang sedang naik daun. Ia berpikir bahwa perangkat canggih ini, bisa membantunya selain menggunakan tabletnya saat ini. Lalu ia memandang lurus keluar.

"Bokap gue, kalau enggak rusak banget si, enggak bakal ganti handphone. Padahal layarnya udah pecah-pecah. Terus dikasih tahu untuk ganti tempered glass, bilangnya, nanti-nanti aja." Terdengar samar-samar, dua orang tamu yang sedang berbincang. Kedua tamu itu berbincang lumayan kerasa, dan duduk berbeda satu meja dengan Naila, Gary dan Rina. Sontak, pandangan Naila melihat kedua tamu tersebut yang ia yakini usia kedua perempuan itu sekitar 20an tahun. Naila melihat sekilas, sesekali, berbincangan dengan kedua temannya, dan hanya mengekor dari ekor matanya. 

Tapi, kata-kata kedua tamu cafe tadi membuatnya berpikir sejenak. Untuk apa membeli perangkat yang tadi ia lihat iklannya, sedangkan kebutuhannya masih terpenuhi dengan perangkat yang ia punya saat ini. Naila tersenyum tipis, "Mau banget handphone yang di iklan tadi, tapi kayaknya, yang dibutuhkan saat ini, lebih penting daripada cuma keingingan." Ia lalu kembali larut dalam diskusi projeknya. 


Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...