Menyelami Makna "Cukup"
Seorang wanita merogoh tasnya, mencari-cari kartu uang elektroniknya. Ia sedikit pelupa, karena sehabis meletakkannya di dalam tas, setelah berhasil masuk dan menaiki MRT menuju daerah blok M, ia tak bisa menemukannya.
"Ketemu!" terkadang memang butuh waktu lama untuk mencari. Terlebih lagi wanita berambut panjang, sedikit hitam kecoklatan itu membawa barang cukup banyak. Hari ini ia berencana untuk bertemu dua orang temannya, yang ingin membahas tentang beberapa projek berkaitan dengan pendidikan di beberapa daerah di Indonesia.
"Rina." Panggil seorang lelaki. Wanita itu menoleh, mencoba mencari seseorang itu, dan berhasil. Lelaki itu berjalan bersama seorang wanita lain.
"Gary, Naila." Tukas Rina. Rina menyalami temannya yang sudah ia temui di dunia maya, lewat aplikasi telepon daring. Rina tersenyum, wajah kotaknya tegas, matanya berbinar. Ia senang, kali ini menghabiskan waktu lain bersama teman yang bisa dibilang cukup baru.
Gary merupakan lelaki tinggi, dengan tubuh cukup gemuk. Wajahnya kotak pula, dengan warna kulit agak gelap. Matanya kecil, namun alis matanya tebal. Rambutnya bergaya tight crop. Hari ini ia mengenakan kaus putih, celana denim, dan kemeja coklat sebagai outer-nya, dan dilengkapi sepatu hitam bermerk converse.
Sedang Naila merupakan wanita berkerudung. Wajahnya bulat dan ia menggunakan gaya berkerudung sederhana, dengan kombinasi warna kerudung biru pastel, baju biru tua, dan celana berwarna putih. Naila bertubuh gempal, namun ia sangat pandai memadu padankan gaya berpakaiannya yang malah membuat dirinya, terlihat sedikit langsing.
Rina, Gary dan Naila berjalan menuju sebuah cafe, di daerah Melawai. Cafe itu tidak terlalu besar maupun ramai. Tempat yang pas untuk mereka yang akan berdiskusi mengenai projek sederhana mereka.
"Kalian mau pesan apa?" Tanya Naila, sesampainya mereka di sana dan duduk di sebuah meja yang dilengkapi sofa bench dan dua kursi kayu berwarna hijau muda pastel.
Rina dan Gary lalu mengambil buku menu yang diberikan sang pramusaji. Karena buku menu yang tersedia, hanya ada dua buah, Naila pun menunggu dan memutuskan untuk melihat sekelilingnya. Cafe itu cenderung bisa dibilang agak sepi, tapi ia suka keadaan seperti itu. Satu barista sedang sibuk membersihkan mesin kopi, seorang kasir yang merapikan tempat display kue dan roti, dan pramusaji yang sedang melayani satu tamu. Hanya ada tiga orang pekerja di sana. Barista itu terlihat sibuk, sesekali melirik ponselnya. Sementara kedua pegawai lain, lurus-lurus saja, pandangan dan sikapnya.
"Naila, mau pesan apa?"
"Oh, gue kopi americano aja." Tukas Naila. Baik Gary maupun Rina mengangguk. Keduanya memesan segelas matcha latte dan ice chocolate, lalu dilengkapi dengan sepotong kue pisang dan kue coklat. Hanya Naila yang tak memesan kudapan.
Penasaran, Gary bertanya, "kamu enggak mau snack?"
"Oh enggak. Kayaknya saya mau mampir makan nanti. Jadi saya pesan kopi aja, supaya saya fokus." Senyum Naila membalas. Mereka pun memesan segera. Setelahnya Gary mengeluarkan komputer jinjingnya, dan Naila mengeluarkan tabletnya.
Mereka pun memulai diskusi proyek kecil mereka, yang mereka harapkan bisa memberikan dampak. Tak sengaja, mata Gary menangkap sebuah pemandangan yang agak menyentuh hatinya. Seorang wanita yang pakaiannya sudah lusuh, dan membawa seorang anak perempuan. Kedua orang itu menggunakan kerudung, yang juga sama lusuhnya. Keduanya terlihat sedang memilah - milah barang-barang yang ada di tempat sampah dekat cafe tempat mereka berbincang.
"Di mana mereka tinggal ya? Mereka mandi tidak ya? Lalu kalau mereka sedang datang bulan, bagaimana mereka bersih-bersihnya?" Hati Gary berbisik, karena ia teringat kekasihnya, yang kadang rewel harus mencari tempat bersih, ketika datang bulan dan harus mengganti pembalutnya, ketika mereka pergi bersama. Sementara ada orang di luar sana yang mungkin sudah hidup berdampingan dengan lingkungan yang kurang bersih.
"Gary, lagi liat apa?" ujar Rina, yang melihatnya sedang melamun, namun tangannya berada di atas papan ketik, namun tak mengetik apapun.
Rina dan Naila saling pandang, mereka pun melanjutkan perbincangan. Sesekali ada yang tak setuju dengan pendapat satu dan yang lainnya. Rina pun coba mencari ide-ide di laman daring, berharap mungkin ada yang bisa memberinya inspirasi. Namun, buntu sudah kepalanya, dan ia kepalang ingin ke kamar mandi. Lalu ia pun meminta izin kepada Gary dan Naila.
Rina masuk ke dalam kamar mandi perempuan yang, sebetulnya agak kurang bersih kala itu. Namun, ia mencoba maklum, karena ketika ia tadi lihat juga, hanya ada tiga orang yang sedang bekerja di jam sekarang ini. Tiga orang itu yang mau untuk bekerja double bahkan triple jobs, harus dilakoni para pegawai di cafe tersebut. Namun, ketika melamun dan berpikir, Rina terkejut ada seorang wanita sedang mengelap wajahnya, dan tersentak dengan kedatangan Rina. Wanita itu masih terdengar sesenggukan. Rina menebak wanita itu habis menangis. Tapi, karena tidak mau sok ikut campur dengan urusan orang lain, ia pun menyegerakan diri untuk menyelesaikan urusannya.
Cepat-cepat, ia keluar dan masih melihat wanita itu sekarang menunduk, dan masih membasuh wajahnya. Wanita itu keluar terlebih dahulu dari Rina. Rina pun berhenti sejenak menatap wajahnya di kaca. Tangannya habis kering, setelah mengelapnya dengan tisu. Ia berpikir, "Seseorang sedang dalam harinya yang tidak baik. Nelangsa." Tak mau ikut larut dalam kesedihan, karena hal itu hanya membuat ia terbawa ke keadaannya dulu yang pahit, ketika ia harus ditinggal ayahnya, entah ke mana. Kini, yang ia pedulikan hanya Ibunya semata.
Rina kembali ke tempat ia duduk dengan teman-temannya, sesama pengusung proyek pendidikan. Wajah Rina mungkin menggambarkan perbedaan dari sebelum hingga setelah ia kembali dari kamar mandi.
"Kenapa, Rin?" Tanya Gary
"Oh enggak. Tadi baca WA kabar kurang bagus aja. Tapi saya enggak kenapa-kenapa." Jawabnya, yang sebetulnya masih menampilkan wajah gelisah. Pikiran tentang Ayahnya yang entah pergi kemana, ditambah dengan pikiran tentang ia ingin meneruskan pendidikan dan beratnya keinginannya juga membantu sang Ibu, meraba setiap saraf di otaknya.
Naila masih juga sibuk dengan laman daring, tempatnya ia mencari ide untuk projek terkait pendidikannya dengan Gary dan Rina. Tak sengaja, laman daring itu menampilkan sebuah iklan perangkat canggih baru. Ia iseng masuk di laman tersebut dan melihat spesifikasi perangkat canggih, yang sedang naik daun. Ia berpikir bahwa perangkat canggih ini, bisa membantunya selain menggunakan tabletnya saat ini. Lalu ia memandang lurus keluar.
"Bokap gue, kalau enggak rusak banget si, enggak bakal ganti handphone. Padahal layarnya udah pecah-pecah. Terus dikasih tahu untuk ganti tempered glass, bilangnya, nanti-nanti aja." Terdengar samar-samar, dua orang tamu yang sedang berbincang. Kedua tamu itu berbincang lumayan kerasa, dan duduk berbeda satu meja dengan Naila, Gary dan Rina. Sontak, pandangan Naila melihat kedua tamu tersebut yang ia yakini usia kedua perempuan itu sekitar 20an tahun. Naila melihat sekilas, sesekali, berbincangan dengan kedua temannya, dan hanya mengekor dari ekor matanya.
Tapi, kata-kata kedua tamu cafe tadi membuatnya berpikir sejenak. Untuk apa membeli perangkat yang tadi ia lihat iklannya, sedangkan kebutuhannya masih terpenuhi dengan perangkat yang ia punya saat ini. Naila tersenyum tipis, "Mau banget handphone yang di iklan tadi, tapi kayaknya, yang dibutuhkan saat ini, lebih penting daripada cuma keingingan." Ia lalu kembali larut dalam diskusi projeknya.
Comments
Post a Comment