Skip to main content

Posts

Showing posts from 2023

Dialog Kopi #5

 -Tetap Menulis- "Menjadi tenang itu barang berharga di kala era disrupsi saat ini. Bukan perkara disrupsi saja, hal-hal sesederhana media sosial dan pengaruhnya, menjadikan orang malah semakin sulit berkomunikasi, bukan mempermudah. Sulit menjadi dekat, karena yang jauh adalah jiwa dan raga aslinya, tapi yang dekat foto jiwa dan raganya. Selain itu, ketenangan jiwa kadang terusik, dengan foto-foto yang dijajarkan di media sosial seseorang atau yang berasal dari suatu entitas, yang bisa membuat seseorang berpikir, bahwa kalau belum mencapai suatu hal yang 'wah' seperti itu, belum bisa tenang hidup. Padahal semua hal dari pencapaian sampai ketenangan diri bisa dicapai dan dilakukan oleh diri sendiri." "Glen!" Panggil seseorang kepada seorang lelaki yang memilih untuk bergaya 'gundul' alias tak ada rambutnya sama sekali. Lelaki itu sedang menulis satu paragraf penting dalam buku yang sedang digarapnya tentang pengaruh disrupsi pada psikologi seseorang....

Dialog Kopi #4

-About Meeting You-  Another day for Viona to stay in cold. It was November. It was quite cold and windy in Southampton. However, she loved it. She was there to pursue her study in Master Degree. It had been quite hard time for her, as she had to study and get along with the weather and neighborhood. "Viona. How have you been doing?" a person passed by. Viona turned her head. She was staying in a coffee shop nearby the area of her dorm. She was from Indonesia. She was now imagining and recalling her memories about her crusade of getting the scholarship in a place she had never been before. Her long black hair was tied up like a pony tail. She was wearing double jackets and a sweater. Her body was also wrapped by a navy scarf her friend gave before she left Indonesia. Her round face looked red as she was hiding from the cold. She kept drinking her hot Cafe Latte. It was her second cup since this morning she had one. "I am doing great! Oh wow, Jonas." Her friend from ...

Dialog Kopi #3

-Dua Gelas Kopi, Obrolan, dan Mimpi-  "Mau kemana lagi?" Tanyanya dengan senyum. Senyum itu membuatku membeku, padahal dia bukan siapa-siapaku. "Kita ke kedai kopi aja. Gue udah kenyang Mie Aceh, Li." Balasku padanya. Ali, seorang lelaki yang aku sudah hampir 6 bulan ini sama-sama bekerja denganku. Dia sungguh amat penuh kejutan. Seperti malam ini, seperti ia tak mau mengakhiri malam kami, untuk kesekian kali menghabiskan waktu bersama. "Dihabiskan dong." Tukasnya. Aku menggeleng. Kami membawa kendaraan masing-masing. Ini yang membuat aku belum yakin kita ini ada sesuatu atau tidak. Rambutnya yang sudah agak panjang, bahkan ia hampir punya poni, menutupi wajahnya, sesekali ia betulkan. Kulitnya hitam manis, hidungnya tak mancung, matanya tidak lebar, tapi yang membuatku terpana kala ia kalau sudah serius, ditambah hiasan kacamatanya. Duh! "Lo jangan kegeeran, Rani. Siapa tahu, ya mungkin lo pelariannya aja." Tukas satu temanku. "Ya mungkin d...

Rumah di Tanah Rempah - Nurdiyansah Dalidjo

Bicara tentang buku memoar, saya termasuk seseorang yang jarang membaca tipe buku ini. Cukup aktif rasanya, saya bisa akui bahwa saya menikmati buku jenis memoar dimulai sekitar 2 tahun lalu. Saya ingat buku memoar pertama yang saya baca ada buku memoar dari Ernest Hemingway, ketika ia tinggal di Paris.  Buku memoar ini ternyata bikin ketagihan, apalagi ceritanya tentang sebuah perjalanan, yang diisi berbagai pengetahuan. Kala itu saya sedang suka mencari buku tentang makanan dan seluk beluk bahan makanan, dan menemukan buku memoar perjalanan ini dengan judul Rumah di Tanah Rempah karya Nurdiyansah Dalidjo. Menilik isi profil penulis yang tertulis di bagian akhir buku, Nurdiyansah merupakan seorang jurnalis dan penulis aktif lepas, di berbagai media. Buku ini adalah buku non fiksi pertama saya, dengan halaman bukunya yang tebal yang bisa saya habiskan. Buku ini berhalaman sekitar 460an. Sesuai dengan sub judulnya "Penjelajahan memaknai rasa dan aroma Indonesia" tentulah bebe...

Dialog Kopi #2

-Saling Mengasihani-  "Ruwet."  Tulis Jena, teman kantorku yang sudah bekerja selama 3 tahun lebih, namun, selalu bilang bosan dan ingin resign, tapi sampai sekarang masih bertahan. Perempuan blasteran Kalimantan-Prancis ini, yang berambut panjang dengan warna rambut hitam kecoklatan dan hidung, yang menang mancungnya yang diturunkan ayahnya, sedang sibuk mengambil foto secangkir latte yang baru diantarkan oleh Barista, di cafe favorit kami, "Untung Ada Kopi." Cafe yang sudah menjadi saksi kami berdua saling berbagi cerita, dari sedih, senang, sampai khayalan anehku tentang mimpi-mimpi yang sudah kutulis dan kurapikan apik di kolom blogku. "Kenapa sih lo? Ruwet kenapa? Gue udah bilang, kalau mau resign ya resign aja." Tukasku dengan suara agak keras padanya. "Enggak ah, gak jadi. Habis kemarin ada anak baru, brondong kece itu."  Aku terdiam, mengerutkan dahi dan coba mengingat-ingat. "Oh, Raihan?" Ia mengangguk cepat. Dengan sigap dan ...