Skip to main content

Dialog Kopi #1

Coffee To Go-

Siang itu, seorang perempuan berambut pendek tipis, dan berwarna biru dan hitam, mengibas-ibaskan tangan kanannya. Ia sedang berdiri di depan kedai kopi kecil yang baru saja aku resmikan dua hari lalu.

"Coffee To Go" gumam perempuan itu. Walaupun dari luar pintu kaca, aku bisa melihat gerakan bibirnya. Ia coba membaca plakat nama yang ku pasang di atas pintunya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, entah mencari apa. Karakter pelanggan dua hari ini memang cukup beragam. Bahkan di hari pembukaan, aku bisa cukup beruntung ada pelanggan yang langsung membeli sepuluh gelas kopi susu dinginku, hanya karena alasan, "Lagi lewat mbak, baru tahu ada kedai kopi baru di sini. Diskon pula."

Perempuan itu akhirnya masuk.

"Wah, mbak, bangkunya hanya sedikit, tempatnya kecil ya?" Tukasnya, dengan kata-kata yang diakhiri dengan pertanyaan lagi.

"Iya." Aku hanya terkekeh.

"Sinta." gumamnya, membaca lencana nama yang ada di dada sebelah kiriku. Aku mengganguk beberapa kali. 

"Iya, mbak. Selamat siang, mau pesan apa?" Aku masih bertanya seramah mungkin, walaupun di awal, sebelum aku menyapanya, ia sudah mengomentari kedai ini.

"Hmm, pilihannya juga ndak banyak ya mbak. Hanya kopi?"

"Sementara iya kak, hanya kopi." Balasku, singkat.

"Terus yang recommended yang mana ya, mbak?"

"Oh, kita ada kopi susu Santai, dan Nendang. Sesusai namanya, kalau kopi susu Santai, kopinya tidak terlalu kuat kak, kalau yang Nendang, kopinya lebih kuat. Kita pakai espresso based kak." jelasku padanya. Ia mengerutkan dahinya. Kedua mata kecilnya masih bergerak seirama, ke kanan dan ke kiri melihat menu.

Ia kembali terpaku pada papan menu yang berada tepat di atasku. Sambil menunggu perempuan ini ingin memesan apa, aku kembali tenggelam dalam lamunanku. Tak percaya hingga kini akhirnya aku berhasil membuka usaha kedai kopi. Walaupun, sudah banyak memang kedai kopi yang buka di sekitar kedaiku, namun aku hanya berusaha, dengan konsep 'to go', karenanya tempat kedai kopiku memang cenderung dibuat kecil, toh memang aku juga dapat tempat kecil ini karena berkenalan dengan seorang barista tempat langgananku minum kopi.

Lahan dan tempat yang kecil di kawasan perkantoran membuatku langsung menyewanya. Dengan dana bantuan pinjaman bank juga, aku akhirnya memberanikan diri setelah 10 tahun bekerja sebagai karyawan bank. "Sudahlah." tukasku waktu itu. Sambil menyelam minum air, walaupun sulit mencari relasi, aku coba memberanikan diri berkenalan dengan lingkaran para barista dan peminum kopi.

"Ah, mbak, kopi susu Santai yang dingin satu ya." Aku tersadar dari lamunanku ketika akhirnya perempuan di depanku ini telah memutuskan apa yang ia pesan.

"Tapi, less ice dan less sugar ya mbak." Tukasnya lagi, aku mengangguk. 

"Eh, less sugar saja mbak. Cuaca di luar lagi panas." Tukasnya lagi seraya menaruh jari telunjuknya di dagu lancipnya.

Aku kembali mengangguk.

"Indah." Panggil seseorang dari pintu masuk. Perempuan yang ternyata bernama Indah itu menoleh cepat.

"Ari?" Balasnya. Ia tak bicara apa-apa lagi. Lelaki tinggi dengan tubuh tak terlalu kurus dengan rambut hitam yang diikat seperti buntut kuda menghampiri Indah.

"Iya. Lo ke sini juga. Mau coba cafe baru ini ya?"

Indah tersenyum lalu menunduk. Kembali ia menatap Ari dan mengangguk.

"Hmm, lo juga?" Balasnya, seraya membetulkan rambutnya, yang sebetulnya rapi, menurutku. Ia seperti tersipu malu, dan melirik sedikit-sedikit ke arah lelaki itu. Ia kembali merapikan rambutnya, dan meletakkan beberapa rambutnya ke belakang telinganya.

"Di sini apa ya rekomendasinya?" Tanya lelaki yang bernama Ari itu. Di luar matahari memang cukup terik, sebetulnya aku harus bersyukur akan hal itu. Walaupun mbak Indah dan mas Ari ini pelanggan pertama, tak sangka aku lihat ada dua orang lagi masuk ke dalam kedaiku. Kedua orang ini seperti magnet kedaiku hari ini.

"Itu Ri, kopi susu Santai aja. Lo enggak terlalu suka kopi kan ya? Hmm, takutnya kalau kopi susu Nendang, sakit maag lo bisa kambuh. Lo udah makan kan sebelum ke sini?" Tukas Indah. Aku membelalakkan mata. Hampir saja ketahuan, aku langsung menunduk, berlagak melihat mesin penghitung di depanku dan pura-pura mengetik sesuatu. Aku terkejut akan ketelitian dan pengetahuan perempuan ini pada lelaki di depanku.

"Emang apa bedanya? Iya, gue makan soto tadi." Ari sedikit melirik Indah. Aku bisa melihat, Indah hanya fokus melihat menu, namun mengambar senyum di wajahnya.

"Kopi susu Santai itu kopinya enggak terlalu kuat, Ri. Kalau Nendang, pasti ya kuat, sesuai istilahnya." Tanpa menoleh ke arahku, Indah tersenyum bangga.

"Oh, menarik ya. Ok, gue pesan kayak lo aja, Ndah." Ari mengiyakan rekomendasi Indah, dan membaca dengan seksama menu yang ada.

Indah mengangguk cepat. Mereka berdua sudah memutuskan pesanan, lalu aku langsung membuatkannya.



Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...