Skip to main content

Teman Bincang

 


Hari Senin datang lagi. Hanya sebagian kecil orang yang menyukainya. Aku tak termasuk di dalamnya. Apa gunanya menjadi sebagian kecil orang yang menyukai hari Senin. Sebaliknya, aku memiliki sindrom Blue Monday. Entah, karena dua atau tiga tahun lalu aku ada di sebuah perusahaan yang amat sangat mengejutkanku pada cara kerja sistem di dalamnya. Setiap kali hari Senin, rasanya seperti hari yang ingin aku lewati saja.

Padahal toh, kalau melewatkan hari Senin, ya kita tetap akan menatap hari Selasa sebagai hari pertama di hari kerja.

Senin itu berjalan cepat, sudah sore, kulewati secara lancar. Lancar, karena aku tak terlalu ingin aktif dalam melakukan pekerjaan. Menjadi akuntan yang harus berdiam di kursi berbusa, warna hitam dengan tulang kursi warna senada, menatap layar monitor 8 jam, 1 jam istirahat termenung selalu mempertanyakan,

“Untuk apa semua ini?”

Apalagi kalau lelah atau pegal melanda, aku hanya diam menatap kubikel warna krim dan hitam. Kosong melompong, otak ini aku kosongkan, alias bengong sesaat.

Lima menit lagi adalah jam pulang kantor, tapi kulihat di luar sudah mendung. Tapi, aku ingin segera pulang merebahkan tubuh kecil nan gemuk ini. Tapi syukurlah, banyak orang bilang aku kecil-kecil cabe hijau, karena aku tak terlalu pedas, jadi tidak bisa dikategorikan cabe rawit.

Pedas dari segi apa entah, yang jelas, aku tak terlalu ingin memikirkan julukan ini dan itu. Toh, kadang itu bisa jadi sebuah momok, alias kamuflase. Mem-bully seseorang dengan nama yang sedikit elok, daripada dikatakan sebagai, ‘anak pendek dan bantet.’

Aku memutar bola mata.

Rambut gaya bob ku basah. Aku memaksakan diri berlari kecil, kadang cepat menuju stasiun. Stasiun kereta Gondangdia sore itu tak terlalu ramai. Karena hujan, orang-orang mungkin lebih memilih untuk tetap tinggal di dalam kantor atau tempat kerja mereka, hingga hujan benar-benar reda. Beruntungnya, aku langsung dapat kereta dan aku menuju perhentian peron tujuanku, Stasiun Lenteng Agung. Sesampainya di sana, hujan rintik, tiba-tiba menjadi deras kala aku melangkahkan kaki keluar dari kereta.

“Duh, hujan terus ya. Sudah hampir seminggu ini.” Tukas seorang wanita yang langsung ku tengok keberadaannya di sebelah kananku. Ia sedang melongok ke atas langit. Ia melihat hujan gerimis, yang langsung berubah menjadi hujan deras.

“Jadi bikin susah.” Tukasnya lagi. Aku memutar bola mata. Orang seperti ini, hanya menularkan kenegatifan hidup. Kalaupun hujan, ya sudah, nikmati saja. Toh, banyak orang bilang hujan adalah pertanda datangnya rezeki, atau ada yang bilang, kala hujan juga doa bisa terkabul.

Aku diam saja melihat tingkah Ibu yang tubuhnya lebih tinggi dari aku, pastinya, dan yang dari tadi tak hentinya mendongak ke atas, padahal ya sama saja, hujan masih turun deras.

“Mbak, duduk saja yuk! Bangkunya kebetulan kosong.” Aku langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh sang Ibu. Betul, bangku ruang tunggu kosong. Karena Pandemi, ada dua tempat yang kosong, dan di tengah kursi panjang tersebut, ada tanda silang. Aku mengiyakan ajakan Ibu itu. Aku lelah menunggu hujan, jika harus berdiri. Apalagi, hari ini aku lupa bawa flat shoes ku. Aku menggunakan sepatu hak tinggi coklat, yang untungnya berbahan plastik. Aku tak perlu khawatir air hujan akan merusaknya.

“Kerja di mana mbak?” Aku menghela nafas, padahal aku sedang tidak ingin berbincang, tapi tidak ada salahnya menyauti Ibu ini.

“Hmm, di bioskop bu.”

“Oh, sudah buka lagi ya?”

“Iya, alhamdulillah. Baru hari ini.”

“Jadi apa mbak?”

Back office bu.”

Back office?” Duh, aku harus menjelaskan.

“Maksudnya, di bagian kantornya.”

Ibu berkerudung biru dongker, yang memadukan pakaiannya dengan kemeja warna putih dan rok hitam, membulatkan mulutnya. Masker dengan warna senada roknya pun dibetulkan karena agak turun sedikit.

“Kapan ya mbak, Corona selesai. Kadang saya pikir, enggak ada kali ah ini Corona. Masa ya tetangga saya udah enggak pada pakai masker, eh tapi alm. anak saya rewel banget bilangin saya.”

“Hmm… Anak ibu?”

“Iya, dia katanya kena Corona. Meninggal. Gara-gara saya terlambat bawa ke dokter. Padahal anak saya pakai masker terus. Enggak tahu di mana kenanya.” Tambah Ibu tadi menjelaskan. Keheningan melanda kami. Aku hanya bisa mendengar suara guntur yang menggelegar. Kadang mengagetkanku.

“Ibu, rumahnya di mana?”

“Oh, saya rumah di Bogor. Saya ada kerjaan tadi di Kota.”

“Hah? Jauh banget bu.”

“Iya, ya namanya cari uang, ke mana aja asal halal.”

“Jadi apa bu?”

“Bantu kakak saya dagang di Asemka.”

Lalu sekarang aku yang membulatkan mulutku.

“Terus, Ibu mau ke mana? Kok di sini?”

“Iya, habis mau tengok anak yang sakit tulang ekor di rumahnya. Sedih Ibu tuh, dia enggak boleh punya anak abis operasi. Kita enggak tahu kelanjutannya ya. Suaminya tapi sayang banget sama dia. Ibu sampai iri, kangen sama suami Ibu jadinya.”

“Oh, hmm, mohon maaf ya Bu.”

“Enggak apa-apa.” Ibu tadi langsung menatap dan menengadah ke langit.

“Wah alhamdulillah udah agak reda. Mbak enggak bawa payung?”

Aku menggeleng.

“Mau berdua sama Ibu aja?”

“Eh, enggak bu. Enggak apa-apa. Saya santai kok, nunggu hujan sampai reda aja.”

“Yaudah.” Lalu Ibu tersebut mengeluarkan payung hijaunya. Hijau yang cukup terang sehingga membuatku terkejut karena melihat warnanya.

“Semangat ya mbak. Jangan lupa minum air putih. Alhamdulillah kalau mbak masih kerja. Itu tetangga saya pada di PHK. Sekarang pada pindah rumah, padahal rumahnya lebih besar mereka. Terpaksa jual rumah juga.”

“Eh, hmm, iya bu, terima kasih.”

“Iya. Duluan ya mbak.” Ibu itu pun menembus jalan dan hujan gerimis yang masih membasahi jalan keluar yang ramai di statiun. Kali ini aku kembali duduk termenung memandang jalan yang sudah basah, merasa malas ingin pulang.

 

Gambar: www.freepik.com

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...