Skip to main content

Bersembunyi dan Tahu Diri



Ini mungkin yang terbaik. Sampai jumpa, jika memang diizinkan berjumpa.
***
Jalan Surabaya di kawasan Jakarta Pusat cukup ramai kala itu, Yuli sedang menemani teman dekatnya yang ia kenal dari suatu komunitas penggiat kopi. Ia baru mengenal Lisa, nama temannya itu sejak enam bulan silam. Entah kenapa, bukan hanya karena kopi, keduanya dekat dan saling merasa terkoneksi tiap kali mereka berdua bercerita.
Yuli adalah perempuan berambut panjang hitam sedikit kecoklatan akibat pekerjaannya yang sering bekerja di lapangan, terutama di kawasan pembangunan rumah atau gedung. Yuli berumur 26 tahun ia juga adalah lulusan S1 Teknik Sipil yang sudah bekerja di sebuah perusahaan kontruksi dan sudah mempunyai pekerjaan lepas sedari ia belum lulus dari kuliahnya. Pipi tirus dan bibir tipis serta mata bulatnya menjadi sentuhan apik di wajahnya. Tubuhnya tak terlalu gemuk, tapi ia hampir seperti model, tapi sayangnya, ia tak merasa seperti itu.
Lisa adalah teman Yuli, bertubuh pendek namun tetap dalam ukuran proporsional. Rambutnya hitam, tapi karena Lisa yang berumur 28 tahun terlalu gaul, ia mencoba warna rambut hijau kebiruan. Pipinya tembam, namun bibir tipisanya hampir menyamai Yuli, serta mata sedang namun kecoklatannya membuat wajah yang berwarna kuning langsat itu terlihat menggoda. Lisa bekerja di salah satu perusahaan kosmetik di bagian marketing daring. Lisa jarang mendapat waktu libur di akhir pekan, tapi hari Sabtu siang ini adalah keberuntungannya dan meminta Yuli menemaninya untuk berbelanja pernak-pernik zaman dulu di Jalan Surabaya, dan nantinya akan menghabiskan waktu untuk sekedar berbincang di salah satu kedai kopi di daerah yang sama.
“Jadi, bagaimana kerja di tempat baru?” Tanya Lisa membuka pembicaraan seraya memilah milih telepon antik. Harga yang ditawarkan cukup mahal, tapi Lisa tetap berusaha menawar atau mencari di tempat lain.
Very nice.” Ujar Yuli seraya tersenyum cukup lebar. Ia sudah cukup bangga karena bisa melepas beban sedikit di dadanya. “Tapi masih sering mimpi.” Tambahnya.
“Serius lo?”
“Iya. Rasanya itu masih tertinggal, mau sudah satu setengah tahun berjalan.” Jawab Yuli dan ia menghela nafas. “Parahnya lagi…” tambah Yuli, dengan kalimat menggantung.
“Kenapa?” Lisa tersenyum dan mendapatkan telepon antiknya dengan harga yang diinginkan dan memperlihatkan kepada Yuli benda tersebut.
Yuli mengangguk. “Gue harus balik ke kantor dulu, untuk urus kartu BPJS lama gue, yang artinya…”
“Lo bakal ketemu Satrio lagi?”
Yuli tak menjawab.
***
Yuli menatap serius buku tes IELTS yang baru saja dibelinya. Ia sengaja membawa buku tersebut dan bertanya sedikit kepada temannya Lisa yang menjadi lulusan Sastra Inggris di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Yuli berencana untuk ambil S2 di luar negeri dengan uang tabungan yang ia punya serta dukungan kedua orang tuanya. Ini menjadi salah satu caranya untuk bisa mengembangkan diri lagi, dan… bersembunyi dari Satrio.

“Kenapa lo gak jawab pertanyaan gue Yul?” Tanya Lisa yang menyeruput sedikit kopi dengan jenis minuman Latte, yang menjadi favoritnya. Lisa juga sedang menganalisa pertanyaan yang ditanyakan Yuli di dalam buku tes IELTS-nya.
“Ya iya, gue kan belum tentu ketemu sama Satrio...” Jawab Yuli santai.
“Enggak mungkin, sudah pasti ketemu, lo kan satu divisi sama dia?”
“Belum tentu. Kantor HRD (Human Resource Department) nya beda lantai sama ruangan kerja gue dan dia. Tapi, memang, kalau cinlok itu pelik ya Lis…”
“Memang siapa bilang, sesederhana lo jatuh cinta sama dia? Resiko yang ditanggung dari sebuah cinlok, apalagi lo teman dekatnya dia adalah, kalau salah satu dari elo atau dia yang enggak suka, jangan harap, atau lo hanya punya harapan kecil untuk bisa jadi teman baik lagi. Apalagi… Satrio sudah menikah kayak sekarang.” Jelas Lisa lalu memberikan jawaban tentang pertanyaan Yuli di buku IELTS nya. Yuli tertegun dan seperti kepalan tangan besar memukul dadanya. Kali ini dadanya sesak. Ia hanya memandangi gelas minuman kopinya dengan jenis Piccolo. Buku IELTS yang diberikan Lisa hanya dipandanginya saja tanpa melihat jawaban yang telah diberikan Lisa.
“Makanya, jangan terlalu berharap!” ujar Lisa lagi. Lisa pun memesan Latte gelas keduanya.
***
Senin pagi yang semu. Mendung sudah datang, tapi tak kunjung hujan. Yuli terpaku di pinggir halte bus dekat rumahnya menatap kosong aspal hitam. Ia sedang menunggu bus menuju kantor lamanya. Bus berwarna hijau putih yang menuju kawasan FX Sudirman, cukup lama datangnya. Kantor lamanya dan rumahnya tak terlalu jauh, dan ia selalu bersyukur akan hal itu, dulu, sebelum akhirnya harus menaruh hati pada Satrio.
Satrio kala itu hanya terdiam setelah melihat dan menerka pesan yang dikirim Yuli tentang rasa terhadapnya. Sebuah rasa yang lebih. Setelah selama delapan bulan mengenal Satrio. Yuli kala itu hilang arah, tapi Satrio seperti menuntun kearah yang benar, dan Yuli merasa bahwa Satrio mungkin bisa diharapkan bersanding dengannya, tapi harap hanya sekedar harap. Keesokan harinya sikap Satrio berubah dan mengubah sikap Yuli juga terhadap Satrio. Mereka tak lagi saling tegur sapa. Mereka hanya menyapa kala memang dibutuhkan, terutama dalam hal pekerjaan.
Satrio tidak tampan. Kulit coklat dan rambut hitamnya, serta alis tebal dan hidung mancungnya membuatnya ia terlihat lelaki sekali. Suaranya pun besar, kalau sudah bicara di depan klien tender perusahaannya, ia terlihat meyakinkan, dan memang banyak perusahaan lain yang bekerja sama dengan perusahaannya akan setuju dengan apa yang ditawarkan Satrio. Ia pintar bicara, tapi bukan sembarang pintar bicara. Setelah klien menyetujui apa yang dipresentasikan Satrio, lalu saatnya Yuli yang bergerak.
“Hebat lo!” ujar Yuli, lagi-lagi karena tertegun dengan sifat pintar bicara Satrio.
Thank you! Udah azan zuhur, kita solat dulu yuk! Sekalian makan bareng. Ada sop kambing enak di kantin kantor sebelah, gue cukup bosan makan nasi rames di kantin gedung kita.” Ujar Satrio yang tersenyum kepada Yuli. Yuli pun mengikuti ajakan Satrio.
Tapi, keramahan Satrio dianggap lain. Setelah Yuli sampai di kantor lamanya yang dulu ia naungi bersama Satrio, ia hanya berharap tak bertemu dirinya.
Ia sampai di lobby gedung kantor lamanya dan menukar ID card miliknya dengan kartu akses menuju kantornya. Ruangan HRD kantor lamanya ada di lantai 3 sedangkan kantornya dulu berada di lantai 4. Asal Yuli tidak ke lantai 4 saja, ia tak akan bertemu Satrio. Jam menujukkan pukul 10 pagi, waktu makan siang masih cukup lama.
Ia bergegas menuju ruang HRD kantor lamanya dan bertemu mbak Gina selaku asisten manajer HRD kantor. Ia mengetuk pintu dan mbak Gina sedang sibuk mengetik di komputer jinjing miliknya kala itu ia langsung berhenti dan terkejut dengan apa yang sedang ia lihat.
“Yuli!” ujar mbak Gina dan langsung menghampiri dan memeluk Yuli. Yuli adalah karyawan cukup ramah di kantornya, apalagi ia pernah mendapatkan penghargaan sebagai karyawan teladan selama dua bulan dan mendapatkan kenaikan gaji cukup signifikan.
“Apa kabar?” Tanya mbak Gina.
“Baik, mbak.”
“Ada apa kesini?”
“Hehe. Iya maaf, tapi aku baru ingat waktu itu aku belum sempat mengurus kartu BPJS ku, sekarang aku mau urus.”
“Loh, kantor barumu baru mengurus ya?”
“Iya mbak. Karena kebetulan kemarin aku pakai jasa asuransi lain, kurasa belum perlu buat di kantor baru. Sekarang, HRD kantor baru ku sudah mulai buka pendaftaran BPJS yang langsung dipotong dari gajiku.”
“Ah, baik kalau begitu. Tunggu sebentar ya. Kamu boleh duduk di situ. Mbak akan buatkan dulu.” Ujar Mbak Gina diikuti anggukan Yuli. Yuli dipersilahkan duduk di ruang HRD yang sepi kala itu karena ketika berbincang dengan Mbak Gina, manajer HRD kala itu sedang ada di lantai 4, di ruangannya.
Sedang asyik bermain ponsel pintarnya dan sesekali melihat mbak Gina yang sibuk mencari data, serta membuat surat bukti untuk mengurus BPJS nya, Yuli tak sengaja melihat sosok Satrio yang sedang mondar-mandir di luar ruangan HRD. Ia melihat dari kaca ruangan HRD dan ia langsung panik bukan kepalang. Mungkinkah takdir membawanya untuk bertemu Satrio kala itu, atau? Ah, tangan Yuli berkeringat, jantungnya berdegub kencang dan wajahnya ia terus arahkan kearah yang berlawanan dengan kaca di ruang tersebut agar tidak dilihat Satrio.
Di lantai 3 memang ada ruangan lain, yaitu ruangan untuk divisi logistik dan divisi legal. Yuli sempat bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Satrio, tapi ia berpikir bahwa Satrio mungkin ke divisi legal mengurus beberapa izin perusahaan. Satrio juga terkadang mengurusi hal itu karena ia harus mempresentasikannya kepada klien. Degub jantung Yuli masih berdetak hebat lalu ia melihat bahwa Satrio telah menuju pintu keluar ruangan dan mungkin menuju ruangannya.

“Yuli? Kamu kenapa?” Tanya mbak Gina dan membuat Yuli tersentak mendengarnya.
“Hm, enggak itu mbak, hm, aku lupa bawa sesuatu yang harus digunakan di kantor baruku. Titipan bos ku, urusan pekerjaan. Jadi, aku sepertinya harus balik pulang lagi.” Ujarnya berbohong, yang dilakukannya dengan berbicara terbata-bata.
“Oh… Baik, suratmu sudah jadi, kamu bisa urus minggu depan. Biasanya akan jadi 2 minggu ke depan lalu gaji di kantor barumu akan terpotong secara otomatis untuk membayar BPJS perbulannya.” Jelas mbak Gina diikuti anggukan cepat Yuli. Buru-buru Yuli pamit kepada mbak Gina dan mengucapkan salam kepada seluruh karyawannya dan mohon maaf bahwa dirinya tak bisa berlama-lama di sana. Yuli segera bergegas menuju lobby gedung, menukar ID Card-nya dan bergegas keluar gedung. Ia sangat bersyukur tidak bertemu Satrio kala itu. Ia harus melakukannya, bersembunyi, ya bersembunyi. Karena ia cukup tahu diri menjaga perasaan Satrio yang mungkin sedikit merasa bersalah, dan tak ingin menyakiti dirinya karena rasa yang ada ternyata masih tertinggal di hatinya.
***
“Selamat ya, akhirnya lo lulus untuk bisa S2. Semoga lancar segala urusan di Inggris nanti. Nyokap-bokap lo bakal rindu pasti.” Ujar Lisa ketika ia mengantar Yuli di Bandara karena ia akhirnya berhasil lulus untuk melanjutkan pendidikannya di Negara Inggris. Lisa mengusap air matanya. Rasa sedih memenuhi hatinya. Ia harus melepas teman baik yang selalu mendengarkan keluh kesah Lisa yang tak kunjung berakhir akibat pertengkaran Ayah Ibunya yang ia dengar setiap hari, tapi tak tega meninggalkan keduanya di rumah selama Lisa belum menikah.
Yuli mengangguk, “Ia, terima kasih atas nasihat yang cukup bisa menampar hati gue untuk segera bangkit dari ketidakpintaran gue membaca situasi dan untuk mencoba melepaskan.”
“Iya. Lo harus sadar diri lah, memang mau sampai kapan? Apalagi sekarang, lo bisa pergi jauh, bersembunyi semau lo dan… bersembunyi dalam arti positif. Lo bisa mengembangkan diri lo.” Ujar Lisa lagi. Yuli hanya mengangguk cepat. Ia tak bisa membantah, karena semua yang dikatakan Lisa memang benar adanya.
“Iya, mungkin ini memang yang terbaik, dan memang jalannya. Terima kasih sekali lagi. Sampai ketemu lagi, Lis. Tell me if you have any good news about coffee. I can’t wait to see you working around in your own coffee shop!” ujar Yuli memeluk sekali lagi temannya itu. Lisa tersenyum di sela pelukan hangat teman baru yang dirasa sudah berteman lama dengannya.

Comments

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...