*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com*
Malam
itu, setelah aku selesai menghapus air mata, yang lagi-lagi jatuh, aku
menghapus namanya dari buku harian yang jarang sekali aku tulis. Aku gunakan
cairan putih yang biasa orang menyebutnya dengan tip-ex, lalu menghapusnya secara sungguh-sungguh. Aku sudah tak
tahan. Aku harus segera mengakhirinya. Dia hanya mampir sebentar, memberi salam
indah yang pada akhirnya lagi-lagi membuatku mengeluarkan air mata.
***
Siang
itu aku sudah membuat janji dengan temanku yang berasal dari daerah Jakarta
Selatan. Kami sudah menyusun rencana untuk mengunjungi salah satu gedung
penting di Jakarta, Perpustakaan Nasional yang ada di daerah Jakarta Timur,
tepatnya di Jalan Salemba Raya.
Sambil
menunggu lampu merah yang tak kunjung menampakkan cahaya hijaunya, aku kembali
ke ingatanku ketika aku bisa melihat senyum indah dari seseorang yang aku
sukai. Sayangnya, lagi-lagi aku menyayanginya hanya dalam diam.
Aku
mengingat betapa baiknya dia dan betapa lucunya dia ketika mengeluarkan
berbagai bahan komedi yang bisa mencairkan suasana ketika kami duduk hanya
berdua di salah satu Café favorit
kami, yang berada di daerah Cibubur. Dia adalah yang dulu memberikan banyak
kebahagiaan sulit aku gambarkan dan senyum indah yang selalu terhias di
wajahnya.
“Brukkkkkk”
suara yang cukup keras. Seketika itu juga aku langsung melihat apa yang terjadi
dan seketika itu pula dadaku terasa sesak.
“Astagfirullah!”
teriakku kencang sambil menutup mulutku yang menganga melihat apa yang sudah
terjadi tepat di depan mataku.
Dua
motor saling mengadu. Bagian depan dan samping sebelah kanan salah satu motor
itu rusak parah.
Kejadiannya tak kulihat dengan jelas. Yang
jelas kedua pengendara motor itu telah terkapar lemas, salah satunya bersimbahan
darah yang keluar dari bagian kaki. Salah satu pengendara motor masih bisa
berusaha untuk berdiri. Aku tak tahu siapa yang salah dalam kejadian ini.
Aku,
yang sebenarnya tak biasa menolong orang ketika terjadi kecelakaan, mencoba
menolong salah satu pengendara motor yang paling dekat dengan motorku. Ketika
dia berusaha membuka penutup kepalanya yang berwarna merah dan hitam, khas
lelaki yang menyukai dunia motor, terlihat kesulitan, aku langsung membantunya.
Lalu aku terkejut. Dia adalah orang yang kukenal, ya, yang kukenal sangat dekat.
***
Akhirnya
aku memutuskan diriku membantu pengendara motor yang memiliki motor bermerek Honda Beat keluaran tahun 2008 itu,
dengan membawanya kerumah sakit terdekat. Aku menemaninya dan ketika polisi
datang, aku sangat takut, pastinya diriku akan dimintai keterangan dan berbagai
macam pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya aku tak akan bisa menjawabnya. Aku
melamun tadi ketika terjadi kecelakaan. Melamuni seseorang, ya, aku biasa
berimajinasi.
“Permisi
Mbak, kalau semisal mbaknya mau melihat pacarnya di dalam, diperbolehkan mbak.”
Seorang
suster menghampiriku. Aku langsung mengerutkan dahiku. Enak saja, mbak ini suka
sembarang bicara!
“Bukan,
suster. Dia bukan pacar saya. Dia teman saya.”
“Oh
begitu. Maaf kalau begitu, mbak. Saya permisi dulu, harus mengurusi pasien
lagi. Permisi…” Suster itu pun pergi dan seketika berbelok kearah koridor lain.
“Ah!”
gumamku cukup keras sambil menepuk dahiku. Aku lupa memberitahu temanku akan
kejadian ini. Sepertinya aku tidak akan bisa memenuhi janji kami yang sebenarnya
sudah lama direncanakan. Tapi, apa daya, Tuhan pencipta belum mengizinkanku
berkunjung ke Perpustakaan Nasional. Padahal, aku ingin mencari
referensi-referensi untuk bahan tugas akhirku.
Aku
membuka pintu pasien di bagian unit gawat darurat itu secara perlahan agar tak
mengganggu ketenangan pasien. Tiba ketika aku harus berdiri tepat di
sampingnya. Tuhan… Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi, dengan cara seperti
ini pula.
Ketika
aku melihat sekilas, dia bernafas pelan. Entah karena ada trauma sehabis
kecelakaan atau tidak. Bukan urusanku. Yang jelas aku ingin mengakhiri semua
ini segera.
“Hola!” aku melambaikan tangan. Sengaja
kulakukan ini karena aku ingin membangunkannya.
Dia
hanya menyunggingkan senyumnya. Tuhan! Senyum itu.
“Makasih
ya.”
“Eh,
hmm, buat apa?”
“Udah
nolong saya.” Ya, dia menjawab datar. Memang selalu begitu. Kebiasannya itu
yang membuatku jatuh cinta dan jatuh ke jurang setelahnya. Dia sekalipun tak
mengucap kata-kata anak gaul, untuk memanggil seseorang. ‘Saya dan Kamu’ adalah
pengucapannya yang khas menurutku. Padahal, anak sebesar kami ini sudah biasa
menggunakan kata ‘Gue dan Elo’ untuk kata sapaan kala berbincang.
“Sudah
lama sekali. Kamu kenapa tak pernah mampir ke Café tempat biasa kita bertemu?” Hah? Sempat-sempatnya dia menanyakan
hal ini.
“Sudah
banyak restoran yang bernuansa asyik di luar sana. Maka dari itu, aku pindah
dan mencari suasana baru.” Kataku pelan. Dia tersenyum lagi. Senyum itu muncul
lagi.
Hening
menyerang kami berdua. Aku tahu, dia juga belum banyak bicara karena mungkin
trauma akibat luka yang dia rasakan. Kasihan sekali sebenarnya aku padanya.
Tapi… Ah, sudahlah!
“Semoga
kamu cepat sembuh ya. Saya mau pamit.” Ujarku lalu menundukkan kepalaku sedikit
tapi dia langsung berkata.
“Jangan.
Tinggallah dulu sebentar, kita sudah lama tak bertemu.” Ujarnya pelan yang
membuat hatiku luluh untuk menyerah pada keadaan. Keadaan yang mengharuskanku
tinggal.
***
Pagi
yang indah menurutku. Matahari bersinar cerah, burung-burung sudah mulai
berkicau, dan rutinitas kembali dimulai bagi mereka yang mempunyai tanggung
jawab. Aku sendiri sudah siap memulai aktifitasku sebagai mahasiswi tingkat
akhir di program D3 di salah satu sekolah tinggi.
Tiba
tiba ponselku berdering. Aku segera mengangkat sambungan telepon yang masuk.
“Dengan
Yanti, ini siapa ya?”
“Ah,
benar kan ini nomor yanti?” Hening, aku
belum menjawab.
“Iya…”
“Syukurlah!
Ini saya yang kemarin ketemu dengan kamu di Café
Green Light.” Lanjutnya.
“Oh
iya, saya ingat. Ini nomor kamu ya?”
“Iya
betul. Tolong disimpan ya. Haha.” Tawanya renyah. “Apakah kamu punya waktu
akhir pekan ini? Saya ingin bercerita banyak lagi dengan kamu.”
Dia
ingin bertemu denganku, lagi?
“Iya.
Mungkin aku tidak punya jadwal pada hari Sabtu. Aku akan mengabari lagi.”
“Baiklah.
Terima kasih kalau begitu. Pagi.” Ujarnya singkat lalu langsung memutuskan
hubungan telepon itu.
Sudah
delapan bulan setelah pertemuan keduaku dengannya. Hubungan kami makin dekat.
Ya, tapi masih sebatas ‘teman’. Tapi, entah kenapa, aku punya perasaan lain
dengannya. Perasaan yang seperti kata orang-orang sulit dijelaskan maksudnya.
Perasaan yang terkadang suka membuat orang lupa makan dan lupa tentang
pelajaran-pelajaran kampus yang telah dipelajari.
“Ti!”
seseorang menepuk punggungku dari belakang. Cukup keras. Laras rupanya.
“Apa?”
“Lagi
apa? Jangan suka bengong, apalagi siang bolong gini!” ujarnya dengan aksen betawi yang kental. Laras, teman satu
kelasku yang selalu duduk bersandingan denganku ketika di dalam kelas.
“Itu
siapa?” Duh! Dia melihat fotoku dengan lelaki yang sudah kukenal dekat selama
delapan bulan.
“Teman.”
Jawabku singkat.
“Bohong.
Eh, tapi kayak gue kenal ya. Dia
kayak temen SMA gue dulu.”
“Oh
ya?” Laras? Teman satu SMA laki-laki ini.
“Ya…
Dia terkenal playboy. Gue inget
mukanya dia, tapi lupa namanya.”
Aku
hanya mengangguk kecil. Sudahlah, tak perlu tahu si Laras tentang kedekatanku
dengannya.
“Dia
playboy banget. Tiga tahun di SMA,
selama itu juga dia udah punya cewek sekitar—10 cewek. Ya ampun, gue aja dapet
satu susah, yang sekarang aja diawet-awetin.” Ujar Laras sambil menghela nafas
dan memutar bola matanya. Laras terlihat kesal.
Aku
menghela nafas. Playboy? Ahh! Aku
berteriak kesal pada diriku. Lagi-lagi aku kenal dekat dengan playboy. Dunia terlalu sempit, Laras
saja sampai kenal dengan lelaki ini. Tapi, entah kenapa aku berpikiran agak
lain kali ini. Kenapa tak coba kuteruskan saja hubungan ‘yang sebenarnya tak
jelas’ ini. Aku ingin berteman dengan seorang playboy, lagi pula belum ada kemungkinan aku akan bersanding
dengannya, kan?
***
“Memang
salahku juga.” Dia menghela nafas cukup panjang. Wajahnya pucat tapi seperti
memperlihatkan kekesalan yang ada di dalam hatinya.
“Aku
yang mengantuk tadi. Aku tak melihat bahwa lampu merah yang menuju arah Pasar
Senen telah menyala, membuatku tertabrak oleh motor yang mencoba mengencangkan
laju motornya.” Jelasnya lalu ia menghela nafas lagi.
Aku
hanya mengangguk pelan sedikit-sedikit. Tak berkomentar apapun. Aku hanya
kasihan melihat keadaannya saat ini. Kaki yang dibalut dengan kain perban dan
ditambahkan dua bilah kayu seukuran kakinya. Kaki kanannya terluka cukup parah.
“Maka
dari itu, kalau kamu mengantuk, jangan memaksakan diri untuk berkendara. Cobalah
untuk menepi. Minum air putih dahulu, menenangkan pikiran, dan mencoba
menyegarkan mata.” Ujarku pelan, dia mengangguk dan tersenyum. Hening kembali
menyerang kami berdua.
Tiba-tiba
aku mendengar suara seperti pintu ruang itu dibuka oleh seseorang.
“Ya
Allah!” ujar wanita yang tiba-tiba masuk lalu langsung memeluk lelaki ini.
“Ma…”
ujar lelaki itu yang mencoba melepaskan pelukan Ibunya, yang kupikir seperti
itu, yang masih meneteskan air mata.
“Mama
jangan lebay!” ujar lelaki itu sambil terkekeh.
“Bagaimana
Mama enggak khawatir! Lihat kaki kamu, tangan kamu lecet, Mama sama Nenek sudah
bilang tak usah pergi. Kamu malah keras kepala!” ujar Mamanya yang masih
terisak-isak di tengah-tengah tangisnya.
Pemandangan
ini mengingatkanku akan cerita lelaki yang mempunyai senyum indah ini. Dia
sesekali pernah bercerita ketika kami masih dekat. Dia bercerita bahwa dia
sangat dekat dengan keluarganya. Dia bisa saja pulang tiba-tiba di tengah-tengah
mata kuliah hanya untuk menghampiri atau membantu Nenek dan Ibunya. Sayangnya, aku
baru percaya sekarang. Lihat, betapa khawatirnya sang Ibu dengan keadaan anak
lelakinya.
Tapi,
perasaan haru ini tak merubah apapun padaku. Aku sudah ingin melupakannya sejak
dua bulan lalu. Sebelum kejadian ini, kami putus kontak. Aku yang memutuskan
tepatnya. Aku tak mau lagi melihat, mencium ataupun meraba apapun yang
berkaitan dengan lelaki yang suka bermain sepak bola ini. Lelaki yang memang
benar-benar sudah kulihat jelas bahwa dia adalah seorang playboy. Tapi, apa yang membuatnya menjadi lelaki yang suka
mengganti banyak wanita? Apa dia tak percaya cinta sejati?
***
Sudah
seminggu mungkin yang aku ingat, lelaki ini telah menginap di rumah sakit ini.
Ini waktuku lagi menjenguk. Kalau tidak ia yang minta, mana mau aku datang
lagi. Dia memaksa meminta nomor teleponku lagi.
Lelaki
ini asyik sekali sebenarnya diajak berbagi, tapi sayangnya, aku harus
melupakannya. Kami suka berbincang tentang banyak hal tanpa perlu malu-malu
mengungkapkannya. Tapi jelas, aku punya privasi tersendiri yang aku tak pernah
mau bercerita padanya.
“Hmm,
jadi bagaimana kabar kekasihmu?” Ehh, orang ini. Tak tahu apa, untuk berpaling
darimu saja, berbagai cara sudah kulakukan. Bagaimana bisa secepat itu aku
mendapatkan kekasih.
“Tidak
ada.” Aku menjawab dengan nada sinis.
“Hmm…”
dia menggumam pelan. Ya, tak perlu kamu memberi tahu. Aku sudah mengerti bahwa
ternyata setelah delapan bulan kita kenal, kau mendapat wanita pujaanmu
yang—lebih cantik dariku. Karena itu aku ingin berpaling. Aku hanya dijadikan
ajang pelarianmu saja.
Sebelum
aku memutuskan kontak dengannya aku sudah berperasaan bahwa dia telah memiliki
kekasih. Dia memang tak pernah bercerita denganku, tapi aku bisa melihatnya
dari media sosial lain yang dimilikinya.
Sampai
pada ujung kisahku, yang membuatku ingin mengakhiri hubungan dengannya. Aku
melihat salah satu foto profil di media sosialnya terpasang foto seorang
wanita, yang ternyata aku dengar dari Laras bahwa dia adalah adik kelasnya
dahulu di SMA. Tidak!
“Hmm,”
dia kembali menggumam. “Ada yang ingin kubicarakan.” Gumamnya lagi. Dia kini
terlihat sudah mulai membaik keadannya. Sudah bisa duduk dengan santai. Aku
yang duduk di kursi yang telah disediakan di ruangan itu telah siap
mendengarkan apa yang ingin dia bicarakan. Ah, rindunya berbagi cerita dengannya.
“Aku
ingin kita berbincang seperti dulu. Aku ingin kita bisa menikmati menu favorit
kita di café tempat kita bertemu dulu. Aku juga ingin berbagi tentang bagaimana
trik-trik sepakbola yang telah aku coba ciptakan sendiri, denganmu.” Ujarnya disela-sela
senyum indah itu lagi.
Aku
menghela nafas panjang. Haruskah aku menerimanya? Haruskah aku mengembalikan
tawaku kembali saat aku berbincang dengannya? Kenapa dia harus memintaku
kembali?
“Aku
ingin lebih dari sekedar bercerita. Bukan lagi menjadi teman biasa.” Ujarnya
lagi. Nafasku tercekat. Maksudnya apa? Dia benar-benar ingin memutuskan
komitmenku untuk melupakannya.
Aku
menghela nafas lagi. Aku hanya diam seribu bahasa ketika dia mengungkapkan itu
semua. Sudah kuputuskan.
“Maaf,
Gerard. Aku tak bisa.”
Comments
Post a Comment