Skip to main content

Menunggu Band Luar Negeri



Menunggu band luar negeri.

Random Text.
Mau share sedikit pengalaman saya aja kepada teman – teman yang membaca artikel ini. Saya waktu itu umur 16 tahun ketika saya jatuh cinta dengan hal yang berbau luar negeri. Saya suka banget yang namanya lagu, gaya, film, atau hal apapun yang berbau luar negeri sampai akhirnya saya jatuh cinta sama beberapa band luar negeri.
Saya sempat suka sama Maroon 5, Coldplay, The Fray, The Script, OneRepublic dan mungkin masih banyak lagi. Tapi suatu ketika saya memutuskan untuk suka ( sekali ) sama dua band saja yaitu The Script dan OneRepublic. Saya melihat mereka berbeda saja. Mereka mempunyai music dan lagu yang berbeda. Tapi tak tahu ya, saya yang lebay atau memang itu benar menurut beberapa kalangan. Tidak memungkiri dong, kalau suka band luar negeri pasti ingin sekali melihat langsung performance mereka di dalam negeri. Tak memungkiri juga saya adalah orang yang tinggal di Indonesia. Suatu Negara yang jauh dari Dublin tempat asal The Script dan Denver, Amerika tempat asal OneRepublic.
Berhubung yang membaca ini mungkin banyak ya (mungkin), saya ingin membicarakan band luar negeri secara umum saja.
Kita tahu bahwa mengundang band luar negeri itu tidak mudah. Ada saja halangan, kebutuhan bahkan izin untuk datang ke Indonesia itu sulit. Sampai – sampai tiket yang di putuskan untuk mendatangkan band atau artis luar negeri sekalipun itu sangatlah mahal. Makanya, kadang saya suka berpikir, kasihan sekali mereka yang tidak sanggup untuk membeli tiketnya harus rela tidak menonton mereka. Bahkan mereka harus bertengkar atau sampai menangis untuk meminta di belikan tiket konser itu. Seandainya saja saya orang berada atau punya banyak uang, suatu saat saya ingin buat konser yang murah untuk kalangan itu.
Berbagai macam masalah, alasan, tak kadang juga ya kita mendapatkan kesenangan tersendiri bisa menonton konser band luar negeri itu. Tapi, saya juga pernah merasakan menjadi orang yang tidak bisa menonton karena alasan yang menurut saya masih saya pertanyakan sampai sekarang. Yaitu masalah “umur”.  
Ada beberapa atau satu promotor pernah menggelar konser dengan syarat umurnya harus diatas berapa tahun keatas misalnya. Sedangkan fans band itu kebanyakan adalah anak “underage” yang bisa sampai gila melihat band atau artis luar negeri tersebut. Miris sekali loh rasanya tidak bisa menonton band kesukaan yang jauh – jauh datang dari luar negeri itu. Rasanya itu seperti menunggu bintang jatuh.
Band luar negeri yang datang jauh dari Negara lain itu bisa datang 2-7 tahun setelah peluncuran band mereka. Kalian tahu, menunggu beberapa tahun itu rasanya sangat – sangatlah lama. Bahkan kalaupun mereka sudah pernah sekali menggelar konser di Indonesia, mereka bisa kembali (mungkin kembali) sekitar 2 – 5 tahun lagi. Cuma beda tipis dari awal mereka pertama kali datang ke Indonesia.
Karena ini ya, saya kepikiran dengan orang – orang yang tidak bisa menonton konser band kesukaannya itu yang datang dari luar negeri. Apalagi sekarang adalah zaman globalisasi yang mana pasti semua orang punya band atau artis luar negeri favorite. Mereka ingin sekali melihat langsung penampilan band atau artis itu. Mereka pasti sangat penasaran bagaimana sih muka dan penampilan band atau artis favorite mereka yang biasanya hanya bisa dilihat oleh mereka melalui foto atau video. Rasanya “sangatlah sakit” ketika tahu tak bisa melihat mereka.
Tidak semua orang bisa pergi keluar negeri hanya untuk melihat band atau artis luar negeri dari Negara asal mereka. Apalagi sekarang biaya luar negeri gak sedikit. Tidak semua orang juga berpikir untuk menghabiskan uang hanya untuk melihat artis atau band luar negeri favorite. Terutama orang tua ya. Tidak semua orang tua berpikir akan kearah itu.
Kalau saya, saya juga pengalaman akan hal itu. Saya sempat kok sampai menangis tak bisa menonton The Script karena masalah “umur”. Hey, menangisnya hanya seminggu atau dua minggu, tapi hati saya baru sembuh setelah satu tahun, ketika semua berita tentang konser itu sudah berakhir. Tapi, ketika mengingat tanggal atau kejadian pada hari H dan asal kalian tahu, saya sempat ke venue tapi tak menonton konsernya itu. Saya sangat sedih karena saya hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat band itu berada. Miris, sangat! Ketika kalian tahu kalian gak mungkin pergi ke Dublin hanya untuk melihat konser The Script ( tanpa bertemu dengannya.) Beda hal ya sama orang yang memang benar – benar gila dengan band atau artis luar negeri lain. Mungkin mereka akan melakukan hal itu.
Ketika saya menulis ini karena saya merasa kasihan dengan anak – anak “underage” yang tak bisa menonton artis atau band kesukaan mereka. Saya tidak menyalahkan pihak promotor sepenuhnya, tapi kan anak – anak ini hanya ingin menonton konser artis atau band kesukaan mereka. Karena itu saya ingin sekali menjadi orang yang menggelar konser untuk semua orang untuk satu band atau satu artis saja.
Inti dari semua hal yang saya tulis ini adalah menunggu band luar negeri itu tidak seperti menunggu band dalam negeri yang setiap bulan bisa saja menggelar konser di daerah yang bisa kita jangkau. Menunggu band luar negeri itu seperti menunggu bintang jatuh, yang beberapa tahun sekali saja datangnya. Belum lagi kalau artis itu sudah pernah datang ke Indonesia khususnya. Mereka bisa datang lagi ke Indonesia 2-5 atau bahkan 8 tahun lagi. Itu juga kalau mereka adalah band terkenal, kalau kurang terkenal saya kurang tahu, mungkin bisa lebih lama lagi.
Semoga tulisan saya ini menjadi bahan renungan. Haha. Bercanda. Terima kasih sudah membaca J

Comments

  1. Tulisannya bagus. Btw aku juga suka sama The Script, pasti skrg udh nggak uderage dong ya.7 tahun lalu sangat miris karena ga bisa liat ts, same with me :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks for reading my story ya... Semoga kita bisa nonton The Script nantinya.. Aamiinn...

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

House of Tales Karya Jostein Gaarder: Kisah Cinta dalam Novel Tipis, Padat Isi

Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia. House of Tales  atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Rumah Dongeng, memang menggambarkan sekali isi novel karya Jostein Gaarder ini. Novelnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah hidup sang tokoh utama. Novel-novel Jostein Gaarder yang satu ini juga khas akan petualangan dan pemandangan alam dari negara kelahirannya atau dari negara-negara di Eropa. House of Tale diterbitkan pada tahun 2018, dan diterjemahkan serta diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2019. Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: "Hai kamu! Kita kenalan, yuk!" Tokoh utama, Albert, tak sangka dapat memberikan rasa pada se...

Merdeka Sejak Hati Karya Ahmad Fuadi: Menjadi Jujur dan Tak Serakah

"Perjalanan hidupku yang berliku mengajarkan kesadaran kepadaku bahwa peran dan tanggung jawab manusia itu terus dipertukarkan Allah, dari yang paling atas, bisa dilempar ke peran paling bawah." Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat dari novel berjudul Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Kalimat tersebut saya kaitkan dengan judul dari ulasan buku dari novel ini sendiri. Saya suka penggalaman tersebut karena menggambarkan sosok pemeran utama Lafran Pane yang ditulis oleh Uda Ahmad Fuadi dalam novel ini. Novel ini memberikan cerita perjalanan hidup Lafran Pane, sang pendiri organisasi besar di Indonesia bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Berlatar belakang waktu penjajahan Belanda dan Jepang, novel ini bercerita tentang kehidupan Lafran Pane sedari kecil yang sudah ditinggal sang Ibu, dan ia harus diurus dan tinggal dengan sang Nenek. Ia merasa 'agak' dikekang dan diatur hidupnya jika ia harus hidup deng...

OneRepublic FF Part 28 (Second of The Last Part)

HERE WE ARE Rose’s “Mana ya Natasha. Dia tidak mengirimkanku sms sama sekali. Ku pikir dia akan telat, sayang.” Ujarku pada Brent. Kami hari ini pulang dari Dublin sehabis liburan. Aku di Dublin sekitar 10 hari. “Mungkin saja telat dia, sabarlah sayang.” Ujarnya padaku. “Baiklah..” ujarku sambil mengecek Iphoneku. “Rose’s…” ujar seseorang berteriak dari ruang lain. Aku melihat dari kerumunan orang di Bandara ternyata itu adalah Natasha. Natasha dengan seorang lelaki. Aku seperti mengenalnya. Ahh, ternyata dia… “Natasha, aku sangat merindukanmu.” Ujarku padanya sambil memeluknya. “Hey, aku terkaget kau dengannya.” Ujarku sambil melirikkan mataku kea rah lelaki yang dibawa b bersama Nat. Ternyata Nat, membawa Gary. “Iya, kau jadi tahu sekarang.” Ujar Nat malu. “Jadi kau…” ujarku sambil menunjuk Gary. “Iya, kami sudah berpacaran.” Celetuk Gary. “Ahhh..” jawabku mengiyakan. “Bagaimana liburan kalian ?” ujar Nat mengubah pembicaraan. Dia mungkin malu menceritakannya bersama k...